3 -Reyot-

54 8 0
                                    

DENNIS

Aku yakin dia bisa menepati janjinya.

Ya, dia memang menepati janjinya untuk tidak pergi kemana-mana. Namun tidak dengan nyawanya. Harapanku berbuah kenistaan yang nyata bahwa Kakakku telah tiada.

Itu terdengar sesaat setelah aku menggenggam sekantong jambu air yang jatuh. Suara mengerikan datang dari arah yang kulewati. Terlalu kencang hingga burung-burung bertebangan karenanya. Aku, yang tak mampu berkata apapun hanya bertekuk lutut dan menjatuhkan semua jambu air itu di bajuku. Menangis dalam diam adalah rasa kehilanganku yang amat sangat dalam. Janjiku, pupus begitu saja dengan mudahnya disebabkan oleh satu suara. Tidak salah lagi, suara yang kudengar lagi adalah senjata yang sudah mengakhiri ibu sebelum kakakku.

Bodoh, adalah kata yang tepat untukku. Tak seharusnya aku meninggalkannya sendirian disana. Kedinginan dan lemah. Tanpa perlindungan. Dimana saat kau terluka, huh? Anatha selalu ada disampingmu! Sekarang, saat dia berada pada jalan terakhir dalam takdirnya, aku tak bisa berada disisinya. Aku tak bisa melindunginya seperti dirinya melindungiku. Tak akan bisa dan tak akan pernah.

Aku sadar bahwa keadaanku untuk tetap disini akan terancam berakhir seperti Anatha. Kuambil kembali jambu air itu dan kembali pada tujuan utama kami, berjalan ke arah utara. Tanpa perlindungan, tanpa kasih sayang, aku menggerakkan kakiku tanpa menengok ke belakang. Dan seperti kata ibu, jangan pernah kembali jika aku sayang pada ibuku juga kakakku.

Keadaanku di dalam hutan juga tidak membaik, justru semakin memburuk. Kantung mataku terlihat ungu kehitaman saat bayanganku memantul dalam air, Gigiku bergemeletuk, darah bercucuran dari hidungku. Kurasakan Hypotermia mulai menggerogoti kehangatan dalam tubuhku. Aku hanya berani beristirahat di atas pohon sambil melawan dinginnya malam. Hal itu terus-menerus kulakukan hingga tiba pada destinasi akhir, yaitu rumah paman Beno.

Aku hanya pernah sekali ke rumahnya, itupun karena diajak oleh Ayahku beberapa tahun yang lalu. Dulu, rumahnya terlihat besar dan kokoh. Lebih tepatnya seperti rumah pohon karena letaknya yang stategis di antara pohon-pohon pinus yang menjulang disekitarnya. Rumahnya memang tak jauh dari jalan besar, namun kami harus menempuh jalan setapak sejauh beberapa meter jika ingin menuju rumahnya. Lain kata, terpencil.

Tapi sekarang, sesampainya di gerbang dengan kotak pos bertuliskan 'Beno Satrionugro', kulihat pemandangan yang sangat melenceng dari yang kuperkirakan. Yang kutemukan hanyalah rumah reyot bertingkat bercat abu-abu kusam termakan usia. Seakan-akan melihat film era kolonial Belanda, aku menyentuh pengait pagar dan membukanya perlahan-lahan. Suara dari decitan gerbang besi itu, membuat burung-burung dihutan berkoar. Sungguh, rumah ini terlihat tak layak dihuni siapapun. Dengan jendela rusak dan kaca yang masih tertancap di sekelilingnya semakin memperkeruh tampilannya.

Aku mengetuk pintu dengan tiga kali ketukan. Tidak ada yang menyahut sama sekali. Kupikir sia-sia saja aku berdiri disini karena aku yakin rumah ini sudah lama tak dihuni. Tapi, aku ingat sesuatu tentang ketukan yang diajarkan Anatha waktu itu. katanya itu semacam kode tersendiri yang biasa dipakai dalam keluarga kami. Kuketuk pintu itu sebanyak lima kali, kemudian tiga kali, disusul satu ketukan terakhir dengan keras dan tempo yang cepat.

Secepat ketukan itu pula, sesuatu mendorongku dengan cepat ke dalam kegelapan. Hal terakhir yang kuingat hanyalah suara berkeriut dari dalam pintu ketika aku melangkah.

***

Beno

Anak malang...

Setidaknya itulah yang bisa kugambarkan dengan keadaannya sekarang ini. Dengan rambut yang acak-acakan, pucat tak wajar, kotor, matanya sembab dan terdapat lingkaran kehitaman di bawah matanya, lengan bajunya pun hampir tertutup darah kering. Aku tak sanggup memikirkan beban apa yang membawanya datang kemari.

Sang PembelotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang