4 -Polos-

28 7 1
                                    


DENNIS

Anatha benar, aku tak akan pernah menang berdebat dengannya.

Kuakui itu dengan telak jika aku memang kalah untuk urusan ini. entah bagaimana caranya, ucapanku lebih menyerupai boomerang yang akan menyerang kembali setiap perkataan yang kulontarkan padanya. Perkataannya yang santai namun menusuk selalu membuat otakku gagal mencerna ucapannya.

Dengan enggan, aku mengotori gigiku dengan prisma segitiga warna-warni dalam sekali gigitan. Walaupun rasanya tidak buruk, namun si pembuat-nya lah yang membuat rasanya hambar. Sebisa mungkin, kujauhkan pandanganku menuju sudut-sudut rumah yang tak pernah kulihat saat terakhir kali kami berkunjung.

Saat itu, keluarga kami berkunjung ke rumah Paman Beno. Jangan tanya bagaimana keadaannya. Bahkan akupun sulit mempercayai bahwa aku pernah pergi kesini beberapa tahun yang lalu. Dulu, rumah ini terlihat bersih, lantainya berdecit, semua furnitur tertata dengan rapih, terlihat nyaman serta menjanjikan kehangatan setiap orang yang berada di dalamnya. Sekarang, hampir rasanya semua ini sangat-sangatlah mustahil untuk dikatakan.Tidak perlu untuk dikatakan, kalian hanya perlu berpikir kebalikan dari apa yang kukatakan barusan. Bahkan, sofa yang kududuki dua bulan yang lalu seperti sudah berumur lebih dari tiga millenium.

"Butuh berapa dekade untuk menghabiskan roti isi dari tangan kecilmu itu, nak?"

Tanpa kusadari, ia sudah bersandar pada sofa disampingku. Jarak diantara kami hampir tak ada semeter pun. Terlalu dekat, dan itu membuatku risih.

"Menjauh dariku dan berhentilah memanggilku nak!" Sahutku protes.

Ia menaikkan sebelah alisnya "Kalau begitu, berikan alasanmu datang kemari dan ceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Kupastikan aku tidak akan memanggilmu dengan sebutan itu lagi setelah semuanya jelas." katanya sambil bernegosiasi. Lalu menggeser bokongnya beberapa senti dariku, walaupun tetap tidak memberiku banyak ruang di kursi empuk ini.

Selalu saja mengelak ucapanku dengan mudahnya. Ucapannya yang terkesan to the point membuatku tersudut. Aku berdecak kesal, dia pikir aku hanya anak polos yang tak bisa menjawab otaknya yang kelewat jenius itu?

"Untuk apa aku mengumbar ribuan kata hanya untuk membungkam satu kata saja dalam mulutmu itu?" tanyaku berbelit-belit. Entah apakah dia mengerti ucapanku atau tidak, aku tak peduli.

Ia mengambil rubik berbentuk kotak dengan warna tersusun acak di meja dan memainkannya

(versi tersusun sempurna kurang lebih seperti ini.)

kemudian sambil berkata "Kamu kelewat polos, Nak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

kemudian sambil berkata "Kamu kelewat polos, Nak. Selalu ada alasan yang jelas mengapa seseorang datang kerumah orang yang bahkan sangat ia benci. Sama halnya mengapa aku menyebutmu 'nak' setiap kali kita bertemu."

"Kamu tidak bisa seenaknya menuduhku polos sementara saraf dalam otakku sama banyaknya sepertimu." Sahutku tak setuju.

"Mungkin, tapi tetap sadarlah. Kamu ini tidak lebih dari seorang anak berusia sepuluh tahun. Sudah masanya dimana kepolosan menjadi ciri khas anak-anak seperti dirimu." Ucapannya bah seorang filsuf bermuka dua.

Walaupun ia berbicara seperti itu, aku tetap tak mau mengalah.

"Keras kepala tidak selamanya membantu diri seseorang dalam memilih mana yang benar dan yang salah. Kamu harus tahu itu, nak."

Mau tidak mau, ucapannya itu ada benarnya. Oke baiklah, kuakui memang benar. Aku tetap tidak akan bisa melawan kehendak tuhan jika aku hanyalah seorang anak yang beruntung berbicara layaknya orang dewasa, namun sifatku yang egoistis tidak akan sesuai dengan pendirianku sampai umurku menginjak masa pubertas.

"Siap untuk bercerita?" tanyanya santai

Aku bersandar pada sofa dan menatap cangkir yang mengepul berisi cokelat panas sembari menceritakan semua kisah kami bermula. Mulai dari diriku yang ketakutan yang bersembunyi di dalam lemari, hingga perjalanan akhirku yang kalang kabut atas kepergian Anatha. Tepat pada akhir cerita, rubik 5x5x5 di tangannya itu kembali pada warnanya yang sesuai.

"Sebelum kami pergi, ibu menyunggingkan sesuatu." Kataku hati-hati

Ia hanya mengangkat alisnya.

"Batalkan misi, lakukan rencana M." Aku menirukan suara khas Ibu tiriku.

Raut wajahnya kembali serius "Apa kamu serius, nak?"

"Tak ada untungnya bagiku membohongi ucapanku sendiri. Kamu tahu kan, anak kecil tak pernah berbohong?"

Raut wajahnya sedikit berkerut "Jujur saja, ini pengecualian untuk anak sepertimu, nak." Singgungnya.

Ck, untung saja dia masih termasuk kategori 'sedarah' dalam silsilah keluargaku. Jika tidak, entah apa yang akan kulakukan padan mulut pedasnya itu supaya bungkam.

"Hm, ini sedikit sulit. Lebih dari satu pihak akan dikorbankan disini." Ia bergumam sedari menatap langit.

"Apa?" sungguh, ucapannya yang menggantung itu selalu saja membuatku bingung.

"Baik, nak. Sebelum aku menjelaskan sesuatu padamu, apa kamu percaya pada keabnormalanku bahwa apapun yang kulakukan pada keluargamu itu adalah rekayasa?"

Dibandingkan dengan rumahnya yang ia sebut gubuk ini, hal yang ia pertanyakan inilah yang membuatku merasa sangat-sangat mustahil akan ucapannya. Bagaimana seorang yang dianggap paman oleh Ibuku (sebenarnya, Ibu kandung Anatha. Namun, aku menganggapnya sebagai Ibu kandungku sendiri) ternyata selama ini hanyalah 'akting' di depan kami?

Sekilas, terlintas di pikiranku untuk menjawab tidak. Namun, aku juga teringat pesan ibu.

"Turuti apa yang paman katakan, percayailah dia. Dan Jangan pernah kembali jika kalian sayang pada ibu."

Dan anehnya, Anatha pun percaya pada ibu.

"Hanya dia satu-satunya keluarga yang bisa dipercaya."

Sungguh menjengkelkan pada awalnya, tapi aku tak punya banyak pilihan untuk mempercayainya tanpa ada alasan. Dengan berat hati, aku menganggukkan kepala.

Laki-laki itu memamerkan senyum misteriusnya yang ditutupi janggut tebal "Sebaiknya begitu."

Dan sudah, hanya itu kata terakhir yang dia ucapkan saat pertama kali kedatanganku ke gubuk bobrok ini.

***

Vote and Comment if you like or maybe have any question on this chapter. Terima kasih!

NERSY

Sang PembelotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang