8 -Secarik Kertas-

22 2 0
                                    

Langit temaram telah tergantikan oleh mentari yang tampak dari ufuk timur. Bermodal jam weker tua milik Ayah, aku terbangun layaknya perempuan yang patah hati. Terdengar menggelikan memang, tapi itulah kondisiku sekarang. Rambut berantakan, mata bengkak dan terdapat cekung menghitam tercetak jelas tatkala iris hitam ini mencoba fokus pada satu tujuan.

Melintasi daerah bagian yang semakin hilang rumah petaknya, tergantikan oleh pohon jati menjulang tinggi hampir menutupi sebagian cahaya yang menembus kaca mobil. Sinar yang sejatinya baik diserap oleh pori-pori kulitku, kini hanya bisa meratapi setiap kibasan cahaya remang terlewati tanpa bisa menyerapnya lebih lama.

Sebuah jembatan tua menyambut mobilku dengan suara kriat-kriut khas kayu lama. Entah sudah berapa lama jembatan ini berpijak menemani orang yang melintas pada tiap generasi dalam sungai yang mengalir tenang. Cukup janggal jika di dalam hutan belantara yang notabene terkenal angker hingga ke negeri seberang bisa membuat jembatan yang ukurannya terbilang tak kecil ini. Bahkan membayangkan umurnya saja, pasti jauh lebih tua dibandingkan benda besi seberat lima ratus kilogram yang mencoba melewatinya hingga seberang. Ingatkanku untuk bertanya pada mantan pamanku tentang yang satu ini nanti.

Aku menyusuri semakin dalam hutan itu dan bertemu dua persimpangan tanpa papan penunjuk arah. Kanan adalah tempat rumah bobrok milik pamanku itu berada, sementara kiri adalah terowongan bawah tanah yang dapat menembus ke daerah selatan.

Well, sebenarnya terowongan itu sudah lama ditutup secara resmi. Lagipula, masyarakat sudah terlanjur percaya dengan takhayul dalam sejarah bagaimana terowongan itu terbentuk. Mulai dari terowongan yang sengaja dibuat oleh penjajah melintasi laut luas menuju pulau karantina para budak berpenyakitan yang kini disebut Kota Madwolk itu, hingga arwah gentayangan budak yang tak sanggup berjalan hingga tujuan pun sering melanda lingkaran berdiameter lebih dari seratus meter ini. Ditambah desas-desus air asin yang sudah merembes masuk dalam celah-celah terowongan yang rusak sehingga merendam tempat itu hampir tiga meter sebelum bibir terowongan, masyarakat sudah tak pernah melintasinya untuk melewati perbatasan kota bahkan melihatnya secara langsung. Meski perjalanan ke kota Madwolk akan lebih menghemat waktu daripada menggunakan kapal laut, resikonya teramat besar bahkan pemerintah pun tak menggunakan palang atau apapun untuk menutupinya.

Maka dari itu, kusebut jalan terowongan ini sebagai 'jalan pintas menuju kematianmu'.

Kulajukan mobilku ke arah kiri dan memperlihatkan bangunan tua yang sudah tak layak disebut mansion. Kedatanganku yang pertama sejak aku meninggalkan rumah ini beberapa tahun lalu, kesan angker dan kumuh semakin meliputi tempat ini. Sulur-sulur akar merambat tak karuan pada dindingnya. Pohon pinus di sekelilingnya semakin meninggi dan hijau lebat. Terlihat jelas pemandangan yang jauh lebih buruk dari yang pernah kulihat pertama kali.

Ban berdecit berbelok ke halaman belakang. Terdapat gudang besar tua berwarna hijau yang hebatnya terlihat lebih tua dibandingkan bangunan bata di depannya.Menurutnya, benda mencolok bisa menjadi sesuatu yang berbahaya dan non-alami ketika di dalam hutan lebat hampir tak terjamah ini. Namun, aku harus tetap menyimpannya di gudang agar tidak terlalu menarik banyak perhatian.

Perhatian? Bahkan orang pun tak mau menginjakkan ke bibir hutan seinci pun.

Setelah selesai dengan gudang (atau dalam kasus ini, kusebut garasi keramat) kuambil semua plastik bahan makanan dari tempatnya menuju kebun belakang rumah. Dalam kebun tandus itu, terdapat sumur tua dengan batu berlumut disekitarnya. Jangan lupakan kayu dan tali-temali yang menghubungkan langsung dengan ember di tengahnya sebagai pengambil air. Aku mendekati sumur itu dan menjulurkan kepalaku ke dalam. Gelap dan lembab. Aku bahkan tak melihat air sedikitpun karena terlalu gelap.

Ah, aku pasti sudah gila!

Aku mengeluarkan semua barang-barang dalam plastik termasuk buah dan sayuran segar dan memasukkannya ke dalam ember tua itu. Sembari mengulurkan tali yang mengaitkannya dengan kayu di ujung, aku membawa barang-barang itu turun ke bawah. Ketika kutarik talinya kembali, ember itu jauh lebih ringan daripada sebelumnya. Percaya atau tidak, isi di dalamnya lenyap! Ah, pasti si jenius itu yang mengambilnya disana. Mungkin terlalu malas untuk berjalan keluar.

Sang PembelotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang