12 - Penyesalan -

25 2 0
                                    



Dengan sepatunya yang penuh lumpur, ia seakan berjalan hampir menyusuri hutan sehabis hujan lebat. Wajahnya terlihat imut yang membuatku mengerutkan kening. Ia menyapaku dengan begitu ramah, seolah kami adalah teman dekat sebelumnya. Kuambil kesimpulan dia orang yang labil rupanya.

Alih-alih menanyakan sejuta pertanyaan dalam pikiranku, aku lebih memilih kembali pada tujuan awalku. Menggerakkan kepala ke samping kiri seraya menatapnya sekilas untuk mengikutiku. Kami memasuki pendopo besar itu, melihat mereka semua latihan begitu keras untuk ujian kenaikan sabuk minggu depan. Abah Lim terlihat sibuk menyentak murid-murid mereka dengan tongkat toya pendek kesayangannya. Aku memilih berjalan menjauhi mereka, menuju tempat lebih tenang dan nyaman untuk kami latihan. Dan pilihanku jatuh kepada rumput lebat halaman belakang rumah Abah Lim. Tempat hijau terbuka yang tepat untuk berlatih. Terdapat bulir-bulir air menempel di sekeliling rumput, tak luput dedaunan yang setia menempel dengan batang dan ranting diatasku. Aku menghirup udara pedesaan sebanyak yang kubisa. Udara yang bersih, inilah yang kubutuhkan.

Langkahnya berdesir begitu halus hampir sempurna tanpa suara. Bahkan aku ragu ia sempat mengikutiku atau tidak jika aku tak berbalik ke belakang.

"Sejauh mana kemampuanmu?"

Ia hanya mengangkat bahu tak yakin.

"Sebenarnya, aku tak berniat melakukan itu. Tujuanku, berbeda..."

Tanganku terlipat dibalik punggung kemudian mengangkat alisku sebelah.

Ia menunjukkan kedua telapak tangannya yang mengepal kuat. Menunjukkan uratnya yang sedikit menonjol dari balik kulitnya yang pucat.

"Aku kesini untuk berlatih mengendalikan ini."

Kuangkat telunjukku kearahnya kemudian mengayunkannya dikedua tangannya yang hampir bergetar.

"Aku hanya tak ingin gegabah." Matanya sedikit meredup.

Aku mendengus tak percaya. Memangnya sekuat apa gadis kecil didepanku ini?

"Tunjukkan." Tantangku.

Seakan tertusuk stalaktit besar nan beku, ia tergelak seketika. Kedua tangan pucat itu diturunkannya cepat. Ia menggeleng, halus namun jelas dan tegas terpancar dalam dua gerakan.

"Meremehkan musuh artinya berani kehilangan pusaka kemenangan."

"Aku benar-benar sulit untuk dikendalikan." Ia terus mencoba meyakinkan diriku.

Aku mengangkat tangan kiriku, mengayunkan telunjukku ke depan dan ke belakang.

Seperti gelagapan dalam tudung. Terdesak oleh sang penunjuk waktu, tak lama kepalanya tertunduk. Ia menggulung sweaternya hingga sebatas sendi engselnya. Kedua tangannya terancung dan mengepal sempurna dari balik sweater abu-abunya yang kebesaran. Uratnya kini terlihat begitu jelas menjalar dari lengannya dan sedikit tak biasa untuk wanita seukurannya. Ia menatapku bimbang.

Kakiku membentuk kuda-kuda yang kokoh. Bersiap-siap untuk serangan tak terduga nantinya. Namun, kubiarkan ia menyerangku terlebih dulu.

"Kamu yakin?" alisnya yang keperakan mengerut.

Aku memutar bola mataku.

Ia mengangguk kemudian memejamkan matanya perlahan. Ia terdiam cukup lama seperti patung hingga akhirnya bola matanya yang semula abu-abu terang, kini berubah menjadi coklat gelap. Senyumannya kini berubah seiring sudut bibirnya menampilkan sederet giginya yang putih menerpa sinar matahari.

Dengan tangannya yang kecil, ia menyabetkannya tepat dibawah rahangku. Aku menepisnya dengan keras. Disaat yang bersamaan, tangan kirinya mengayun sempurna menuju ulu hati sementara tangan satunya menutup celah di perutnya. Hentakan pada tumitnya sementara kakinya mengayun kini mencoba menyerang punggung. Lagi-lagi tanganku bergerak ke samping untuk menangkisnya dengan cepat.

Sang PembelotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang