9 -Bukit Janur-

39 2 0
                                    

Sepanjang hari mengendarai mobil membuat badanku kaku. Membayangkan tubuhku berendam dalam bak penuh air hangat disinari sinar rembulan beberapa jam dari sekarang membuatku tak urung bersantai menikmati hijaunya pepohonan. Aku sudah muak melihat benda berklorofil itu hari ini. Dengan kecepatan penuh, aku mulai melintasi jalan tol yang telah tergantikan dengan lahan pertanian dan rumah penduduk disekitarnya. Setelah berhasil keluar dari tol, aku sedikit mengurangi tekanan pada pedal gas dan menuju apartemen.


Cklik!


Suara pintu bergerak halus mempersilahkanku masuk. Entah seperti apa wajahku sekarang, mungkin lusuh tak berbentuk. Kulepaskan bajuku dan langsung berendam seperti sesuatu yang kubayangkan sebelumnya. Begitu tubuhku menyatu dengan air, ototku kembali rileks dengan uap hangat yang menerpa wajahku. Kubersihkan tubuhku selayaknya orang "normal" lakukan. Namun, kubiarkan tubuhku berendam hingga akhirnya jari tanganku mulai mengeriput. Aku beranjak sebelum seluruh tubuhku sepuluh kali lebih tua daripasa seharusnya. Bermodal kaus biru navy polos berlengan panjang, kurebahkan tubuhku begitu saja pada kasur di hadapanku. Syukurlah, perutku bisa diajak kompromi juga rupanya. Meskipun hampir tak makan seharian sedikitpun.

***

Hembusa angin menyapu lembut pipiku dengan bantuan hangatnya mentari. Terbangun dengan kondisi lebih baik adalah hal yang kuharapkan setelah perjalanan panjang nan melelahkan kemarin. Setelah membersihkan diri, Lengkap dengan celana cargo panjang serta kaus putih dan jaket denim hitam menggantung di bagian bahu, aku pergi menuju tempat mulia sekaligus terlaknat untuk orang-orang sejenisku.

Kampus, ya... tempat yang penuh dengan kemuliaan akan ilmu yang dapat digali sedalam mungkin. Kau bahkan dapat menemukan sesuatu yang tak terduga dari seberapa jauh hasil galian itu sendiri.

Dilain sisi, kukatakan sebagai tempat terlaknat karena sesuatu yang hinggap dalam satu tempat yang lebih kecil volumenya dibandingkan manusia itu sendiri membuatku muak. Aku benci bertemu banyak orang dalam satu fakultas sekaligus. Namun, aku tak punya pilihan lain. Tak ada kampus yang sempurna, semua sama saja. Bahkan kampus ternama sekalipun, tak akan bisa terhindar dari beberapa mahasiswa yang mencoba menganggumu. Apalagi jika kau berhadapan dengan manusia bersuara melengking dengan make up tebal nya yang khas itu.

Kuambil tas ranselku dan kunci mobil diatas nakas. Kusempatkan diriku membuat Roti lapis sebelum tubuhku menghilang dari balik pintu.

Dalam perjalanan, ditemani sebuah kotak empuk yang terkunyah perlahan sementara tangak kirinya terfokus pada setir. Akhirnya sampai di depan gerbang kampus. Mobil melaju perahan ke arah bangunan putih bertingkat di bagian kiri. Plang batu dengan huruf kapital terpampang jelas menyambut kedatangan mahasiswa yang siap menimba ilmu.

Mobil hitam putih itu terparkir disamping pohon rindang yang menjadi tempat favorit mesin besar ini berlabuh. Botol berisi cairan bening langsung lolos begitu saja dalam tenggorokanku yang kering. Kuhabiskan isinya kemudian menaruhnya di sampingku. Belum sempat aku beranjak turun, suara riuh menyebalkan mulai terdengar sayup-sayup. Semakin jelas ketika aku keluar mengunci mobil dan mencoba menjauh dari pekikkan mahasiswi yang mulai mendekatiku.

"Aah..tampannya!"

"Pakaian apapun, dia tetap saja tampan yaa?!"

"Nikmat mana yang engkau dustakan, tuhanku!!"

"tatapannya itu, astaga, serangan jantung bisa-bisa!!"

Sialnya, aku selalu terjebak dalam masalah yang sama hampir setiap harinya. Terjepit dan baru bebas ketika seorang dosen menyuruh kami kembali ke kelas masing-masing. Berakhir dengan mengucap terima kasih sambil berlalu. Aku jadi menyesal mengapa tak menggunakan sweater dengan penutup kepala saja sekalian.

Sang PembelotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang