Chapter 2 (revisi)

72 5 2
                                    

Hening. Satu kata itulah yang selalu menyambut Aya saat memasuki rumah besarnya.

Sepi dan dingin, itu jugalah yang selalu Aya rasakan saat berada di rumah ini.

Kadang Aya berpikir, apakah tempat besar dan mewah ini adalah rumah? Bukannya rumah adalah tempat seseorang untuk pulang dan berlindung? Bahkan tempat yang Aya tinggali tidak bisa disebut rumah. Yang benar saja, tempat ini adalah pemakaman, menurut Aya. Tempat yang sepi, dan penuh dengan kesedihan. Benar bukan?

Orang-orang menangis ditempat itu, bersedih karena kehilangan dan ditinggalkan.

Rumah yang Aya tempati bukanlah tempat pulang berlindung baginya.

Bagaimana Aya bisa berlindung di tempat seperti ini, rumah yang Aya tinggali hanya bisa melindunginya dari dinginnya malam dan teriknya matahari di siang hari. Dan rumah adalah tempat pulang menurut orang lain. Memang benar penyataan yang satu itu tapi.. ah entahlah terlalu susah untuk dijabarkan secara detail. Namun yang terpenting adalah Aya kesepian di rumah besar nan mewah ini. Setiap saat dia berada di rumah hanya sepi yang temani Aya.

Lalu sebenarnya kemana ia harus pulang dan berlindung?

Semua orang bahkan sudah tahu kamana meraka akan pulang dan berlindung.

Contohnya saja seorang istri, dia akan pulang dan berlindung pada suaminya. Itulah rumah seorang istri. Begitupun seorang suami, rumah baginya adalah istrinya.
Tapi Aya bukan seorang istri, umurnya saja baru menginjak tujuh belas tahun. Massa depan Aya masih panjang, dia tidak mau menjadi seorang istri di usia muda. Itu bukan pilihan bagus menurut Aya.

Dan contoh lainya adalah seorang anak. Rumah seorang anak adalah orang tua mereka, yang akan selalu melindunginya di saat kapanpun, akan selalu menyayanginya sampai kapanpun, dan akan selalu mendukungnya di saat bagaimanapun.

Sepertinya contoh yang terakhir sedikit menyentil hati Aya. Karena Aya merasa, entahlah.. untuk alasannya Aya malas menjelaskannya. Aya tak ingin membahas tentang orang tuanya atau keluarganya, itu semua tidak akan pernah selesai jika dibahas.

Dia sedang lelah sekarang. Tadi saat disekolah entah kenapa Aya ingin cepat cepat pulang. Hatinya sedang tak enak. Apalagi saat mendengar sahabatnya hamil.
Oh, oke ralat. Maksudnya adalah mantan sahabatnya yang sedang mengandung.

Katakutannya selama ini memang benar, katakutan akan sahabat sahabatnya terjerumuh pada jurang pergaulan yang gelap. Dan lihatlah, Tiwi sekarang tangah hamil.

Apalagi yang harus disesali jika sudah seperti ini? Dan siapa yang harus disalahkan? Apakah kita harus menyalahkan pergaulan bebas yang menyebabkan orang orang terjatuh pada lubang gelap itu? Tidak. Tentu saja tidak. Bukankah kendali diri ada pada diri sendiri? Jadi di masalah seperti ini siapa yang disalahkan? Diri sendirilah yang patut disalahkan.

Karena orang orang yang terjemus pada jurang pergaulan bebas hanya mementingkan nafsu dan ego saja tanpa mau mengetahui akibatnya. Sedarlah dan bercerminlah.

Jujur saja Aya sedikit khawatir, ingat hanya sedikit khawatir pada keadaan Tiwi. Munafik jika dia tidak khawatir. Tiwi dan kedua mantan sahabatnya adalah orang yang selalu ada disamping Aya dulu, bahkan Aya sudah menganggap mereka saudara Aya sendiri. Aya dan kedua sahabatnya tidak pernah menutupi sesuatu, mereka saling terbuka satu sama lain.

Namun saat itu, lebih tepatnya saat Aya SMP. Mereka berbuat kesalahan yang membuat rasa kepercayaan Aya musnah. Saat itu mereka..

Tok.. tok.. tok..

Ketukan pada pintu kamar Aya menyentakan kembali Aya dari lamunan panjangnya.

Aya beranjak dari tempat tidurnya dan melangkah membuka pintu kayu berwarna putih itu.

Dan bisa dilihatnya seorang wanita paruh baya yang selalu menemani hari hari sepinya itu. Jangan berpikir bahwa dia adalah ibu Aya, dia bukan ibu Aya. Dia adalah mbok Siti. Asisten di rumah Aya.

Dan jangan berpikir bahwa Aya tinggal sendiri di rumah ini. Yang benar saja, rumah sebesar ini ia tinggali sendirian. Aya benci kotor dan berantakan. Bagaimana dia akan membersihkan rumah ini, sedangkan dia sekolah. Oh ayolah itu melelahkan jika dia membersihkan rumah sebesar ini setelah pulang sekolah.

"Makan dulu non" ucap mbok Siti mengingatkan.

"Iya mbok, Aya mau mandi dulu." Mbok Siti mengangguk dan berlalu pergi.

Sepeninggalan mbok Siti Aya melangkah ke kamar mandi, membersihkan badannya yang lengket akibat keringat dan debu yang menempel dikulit putih Aya.

***

Malam merangkak, suara binatang malam menyambut rembulan di malam dingin ini.

Gavin saat ini sedang terlentang di ranjang empuknya. Tangannya terangkat ke atas memegang sebuah benda penyimpanan uang pribadi. Atau orang orang mengenalnya dengan nama, dompet.

Mata Gavin meneliti setiap inci dompet itu.

Menggemaskan sekali dompet ini, bentuknya yang mungil memberi kesan imut.

Sejujurnya dompet ini Gavin temukan saat dia sedang menunggu Kiki yang akan menjemputnya.

Dompet itu tergeletak di trotoar begitu saja, saat itu tempat Gavin menunggu Kiki atau lebih tepatnya di halte depan sekolah Gavin sudah sepi, karena penasaran Gavin mengambilnya.

Gavin sempat berpikir bahwa si pemilik dompet itu adalah si penyerobot taksi Gavin. Karena jika dilihat ini adalah dompet wanita. Gavin juga belum membukanya untuk melihat apa isi dompet ini.

Karena saat Gavin tiba di rumah, Arya -ayah Gavin- menyuruhnya untuk berbicara empat mata.

Jantung Gavin seperti akan jatuh ke perut saat itu. Apa lagi melihat wajah wibawa Arya yang serius semakin menciutkan nyali Gavin. Entah apa yang dia perbuat yang membuat Arya marah.

Gavin bukanlah remaja baik dan penurut. Dia hanya seorang remaja yang ingin tahu dan ingin memcoba sesuatu yang baru. Wajarlah jika Gavin sedikit agak nakal. Itu menurut penilaian Gavin pada dirinya sendiri.

Membuat masalah setiap hari adalah hobi Gavin. Membuat wajah tampannya babak belur itu hal biasa bagi Gavin, bukan karena dipukuli, namun bukti bahwa dia mempunyai hobi bertengkar. Membuat para guru mendesah lalah itu kebiasaan Gavin.

Lalu apakah itu yang dimaksud sedikit nakal?

Bad boy, mungkin itu panggilan yang tepat bagi Gavin.

Alasan Arya marah adalah Gavin yang ketahuan merokok di sekolah.

Tapi Gavin bingung, bagaimana bisa disebut ketahuan merokok, sedangkan Gavin merokok di dalam kamar mandi yang saat itu sepi. Apa di kamar mandi sekolah terdapat cctv? Pikir Gavin. Ah, itu tidak masuk akal.

Memang saat itu kamar mandi sepi. Tapi bukan dalam artian kamar mandi itu tidak ada orang. Gavin ingat saat itu ada satu siswa laki laki yang sepertinya adik kelas Gavin.

Gavin tahu, siswa laki laki itu adalah pengurus OSIS di sekolahnya. Gavin tak peduli jika dia melaporkanya pada guru atau pada kepala sekolahnya pun Gavin tidak peduli. Namun salah, kepala sekolahnya melaporkannya pada Arya. Dan terjadilah hukuman bagi Gavin dari Arya. Hukumannya motor kesayangan Gavin harus disita satu minggu.

Arya tidak pernah melarang Gavin untuk menghisap batang candu itu, namun alasan lain yang sangat masuk akal atas hukuman yang diberikannya adalah Gavin yang terlibat dalam tauran minggu lalu. Itulah yang membuatnya geram.

Kembali lagi pada dompet wanita yang ia pegang. Rasa penasaran membuat tangan Gavin bergerak membuka dompet itu.

Dan di dalam dompet itu Gavin menemukan dua buah kartu keredit dan dua lagi buah kartu ATM. Gavin tidak menemukan sepeserpun uang di sana. Dan akhirnya benda yang di cari-cari ia temukan juga. Sebuah tanda pengenal, sebuah KTP dan sebuah kartu pelajar . Cahaya Kirana, nama yang tertera dalam kedua kartu itu. Dan SMA Kemilau Bangsa adalah nama sekolah yang tertera di sana.

"Cahaya Kirana?"

~Tbc~


Vote and comment ya..

CahayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang