Chapter #2

13 3 0
                                    

Becca POV

The wedding day~

Well, aku sungguh-sungguh tak tau harus bersikap bagaimana. Melihat wajah bahagia ibuku memang takkan bisa digadaikan oleh apapun. Hanya saja aku masih belum terima dengan keputusan ibu untuk menikah lagi.

Ayah diundang loh. Great right!.

Ayah datang bersama istri barunya, terlihat seperti keluarga bahagia dimana aku tak ada ditengah-tengah mereka. Sekarang ibu pun sudah memiliki keluarga barunya sendiri, semakin membuatku berfikir apa lagi yang menahanku sampai saat ini.

Suasana pesta disambut meriah oleh semua orang.

Aku ralat, tidak semua orang turut bahagia atas adanya pernikahan ini. Yang pertama adalah aku dan yang kedua adalah Dimitri, meski pada dasarnya aku tak pernah mengerti apa yang dirasakannya hanya saja wajahnya yang datar itu menjelaskan bahwa ia tak turut bahagia.

Ah~
Aku jadi teringat pada jiwa yang biasa ada disisi Dimitri. Kali ini jiwa itu tak ada disisi Dimi membuatku sedikit lega tak harus pura-pura tidak melihatnya. Jujur saja meski jiwa itu terlihat menakutkan, jika dalam keadaan tenang bisa dipastikan wajahnya pasti cantik sekali.

Namanya Renée, aku ingat sekarang. Dan bodohnya nama itu tak sengaja aku sebutkan meski itu sangat pelan, membuat sang jiwa kini tepat berada dihadapanku berpenampilan sepucat mayat

"Shit!." Teriakku lalu terjatuh, mengundang tatapan-tatapan heran menuju padaku.

"Sudah ku duga kau bisa melihatku." Kenapa disaat seperti ini dia malah mengajakku bicara, dasar jiwa tak tau adat.

Ku abaikan panggilan-panggilan itu, berlari menghilang dari keramaian yang hampir seluruhnya menatap ke arahku. Karena jiwa itu aku kembali dipandang aneh oleh orang lain. Dipandang berbeda dari yang lainnya.

Aku pulang lebih cepat, bukan pulang yang benar adalah melarikan diri. Karena disinilah aku sekarang, lapangan basket tempat dimana aku dan ayah sering berlatih saat kecil. Tempat dimana semua kenangan indah ku tersimpan manis.

"Males gue tiap lihat lo disini selalu dalam keadaan murung." Kenapa banyak jiwa sih yang berkeliaran tanpa tujuan.

Ku tatap kesal Rio yang mengoceh tanpa tau batasan. Mengawasi sekitar apa ada yang melihat atau tidak, Well aku telah menghabiskan masa kecilku dengan buruk akibat memiliki kemampuan ini dan tidak berminat mengulanginya lagi.

"Sepi kok. Kan lo tau lapangan ini udah jarang yang datengin gara-gara semua anak udah bisa main basket dihapenya masing-masing."

"Urusin aja urusan lo sendiri! Kenapa pake protes sama perkembangan zaman sih?." Rio itu sebenarnya tidak jelek-jelek amat, cenderung manis menurutku hanya saja dia itu jiwa yang berkeliaran tanpa arah dan aku masih tertarik dengan manusia berjenis kelamin laki-laki.

"Haha.. di zaman gue semua orang kumpul disini sampai malem buat main basket. Kalau sekarang mah ramenya cuma malam minggu dan minggu pagi aja." Aku malas mendengar Rio mengeluh tentang hal ini terus-terusan, membuatku hafal mati dengan semua pemikirannya itu.

"Lo itu baru mati tujuh tahun yang lalu, segala bilang di zaman gue. Kerasa tua banget tau gak." Dan bodohnya kenapa aku menimpali keluhannya. Aku memilih pergi daripada memperpanjang ocehan nya yang bila dilayani akan makan waktu sampai esok pagi.

Tak punya tujuan.
Sejak kapan aku menjadi tak tau arah seperti ini.
Prilaku ku semakin mirip dengan para jiwa-jiwa itu.

Langkahku tak tau arah justru mengarahkanku pada rumah yang telah lama kami tinggalkan. Rumah dimana semua kenangan manis berasal. Jika rumah ini adalah seorang pria sudah dipastikan aku akan terus-terusan gagal move on.

Aku rindu rumah ini.

Semenjak berpisah, ayah pergi kemana pun yang ia mau. Sedangkan ibu tak ingin menjadi satu-satunya orang yang menghabiskan waktunya dengan meratapi kegagalan berumah-tangga dengan memilih menjual rumah ini.

Sepertinya aku terlalu banyak menguping dan bergosip dengan para jiwa-jiwa yang ada dirumah ini. Benar saja belum lama aku melanjutkan langkahku, aku telah dihadang oleh Erina dan Erika. Mereka adalah teman sekamarku dulu.

"Hello Becca. Long time no see you."

"Hallo guys. Kalian sepertinya masih saja mati." Ucapku sambil berlalu mengabaikan dua jiwa yang masih senang mengganggu itu.

"Sarkas seperti biasanya, benar kan Erina?."
"Yes, she did." Ucap mereka bergantian.

Aku melanjutkan perjalananku pulang kerumah. Disana pasti sudah tak ada orang karena ibu dan Matthew berencana langsung terbang ke Maldives untuk bulan madu. Semoga saja mereka tak berencana punya bayi lagi, aku tak ingin berurusan dengan bayi yang sering mengundang para jiwa untuk berkumpul.

Menepikan taksi didepan gerbang rumah membuatku yakin bahwa aku salah perhitungan. Ku lihat lampu rumah menyala hampir di semua bagian. Mobil yang tak ku kenali milik siapa pun sudah bertengger manis disana.

Membuka pintu dan mendapati semua keluarga baru ibuku ada disana. Wajah khawatir ibu, serta dua wajah lainnya yang tak ku harapkan.

"Kamu darimana?."

"Ketemu Rio." Ibu mengenal Rio, dan ibu juga tau perihal kemampuanku memilih tidak melanjutkan pembicaraan kami.

"Kami berangkat esok pada penerbangan pertama, dan kami ingin selama kami pergi kau tinggal bersama Dimitri." Lanjut ibu.

"Apa aku bisa menolak?. Bercanda bu tentu aku senang menghabiskan waktu dengan kakakku."

Jelas aku mengundang kemarahan jiwa itu. Dia menatap geram padaku, sorot matanya lebih tajam dari biasa yang ia perlihatkan padaku. Masa bodoh, siapa yang menyuruhnya membuatku kesal tadi.

Meninggalkan ibu yang bercengkrama dengan papa baru ku dan calon putra kesayangannya pergi ke kamar. Mengambil beberapa baju dan keperluan lain yang ku butuhkan selama menginap dirumah Matthew dan kembali turun untuk segera pergi kerumah baru kami.

Doa ku hanya satu, semoga rumah ini tidak dijual.

Selepas meninggalkan rumah suasana di mobil sama sekali tak menyenangkan. Hening dan juga menakutkan, pasalnya yang duduk disebelahku itu adalah Renée dan dia sejak tadi terus menerus memandang minat padaku.

Lain kali aku akan menuliskan 'bukan magnet hantu' yang besar lalu menempelkannya didadaku. Agar semua hantu tak perlu mendekat padaku, atau aku jadi tak perlu berurusan dengan mereka.

Ini pertama kalinya aku kerumah Matthew, karena kami biasanya hanya bertemu saat makan siang atau makan malam dirumah kami. Suasana rumah ini terkesan sangat dingin, berbeda dengan rumahku dulu yang terasa hangat dan penuh rasa kasih.

Aku kembali rindu rumah itu.

Kami disambut oleh seorang pria paruh bayar yang memakai stelan maid. Matthew memperkenalkan kami padanya, i mean aku dan ibuku.

"Johan, perkenalkan ini Beatrix dan putrinya Rebecca. Sedangkan ini Johan, dia yang mengurus semua keperluan rumah tangga disini. Karena sekarang ada dirimu kalian bisa bekerja sama untuk itu haha."

Aku jadi ingin melakukan apa yang biasa seseorang lakukan di dalam sebuah drama. Memutar bola mataku malas, sepertinya mereka sedang menikmati second puberty mereka masing-masing.

Dimi mengantarku ke kamar yang akan ku tempati, tentunya atas permintaan papa baru ku. Aku diarahkan pada sebuah kamar yang sedikit berbeda dari kamar ku. Kamar ini sangat luas. Meski terlihat lebih bagus dari milikku, aku tetap tak suka berada disini.

Menghempaskan tubuhku kasar, dan menikmati malam menuju penderitaan.

"Hey Becca, aku butuh bantuanmu."

A/N : -

SKY OVER YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang