Chapter #1

13 3 0
                                    

Becca POV

Ibuku memang yang terbaik.

Setelah bercerai dengan ayah, kini ia memutuskan untuk menikah lagi. Mengabaikan diriku yang meronta tak suka. Kini, aku tak lagi mempermasalahkannya. Jika ibu ingin menikah lagi, tak apa! tapi biarkan aku hidup sendirian. Karena aku tak suka jika harus hidup dengan orang asing, dan aku juga tak bisa tinggal bersama ayah karena pada dasarnya ayah juga sudah menikah lagi. Maka tinggal sendirian adalah jawaban yang mampu membahagiakan semua orang.

Dan rasanya ibu tak berfikir seperti itu.

"Kau harus ikut sayang, ibu ingin kau mengenal keluarga barumu nanti." Ku tatap mata ibu yang menghindari tatapan mataku. Mulutnya juga terus mengatakan hal yang tak perlu suaranya bergetar pertanda ia tengah menahan sesuatu. Suara lembut yang kurindukan apapun ibu mengatakannya, semuanya tetap terasa menyakitkan. Aku tetap pada keputusanku, bersikukuh untuk tak ingin ikut acara makan malam dua keluarga itu.

"No! Mom. Becca kan sudah bilang tak ingin ikut, aku menghargai keputusanmu untuk menikah lagi tapi kau tak menghargai keputusanku tentang hal itu bu."

Well, sepertinya aku sudah kelewatan. Karena ibu kini telah beruraian air mata.

"Tapi kau harta ibu satu-satunya, bagaimana bisa aku membiarkanmu tinggal sendirian." Oh... Dear ibu mengungkitnya lagi. Kurasa kami akan memulai perdebatan tiada akhir ini.

Kami terus saja saling beradu pendapat. Ibu yang masih keras ingin aku tinggal bersamanya sedangkan aku yang masih ingin hidup sendirian.
Ibu masih saja menangis, ia tau bahwa dirinya tak bisa membujukku lagi hingga kini aku harus mengalah lagi demi kebahagiaan orang-tua ku yang egois itu.

"Fine mom. Aku akan ikut acara makan malam ini, aku juga akan tinggal bersama kalian setelah menikah tapi hanya sampai aku sudah cukup dewasa untuk tinggal di apartemen sendirian. We have a deal?." Dan ibu akhirnya mengangguk dengan senyuman cerahnya itu. Menarikku masuk ke dalam lemari dan mencarikan pakaian yang cocok untukku.

Kami terlambat....

Satu kalimat yang terlontar dari mulutku begitu saja. Semua karena adegan air mata ibu yang menahan kami lebih lama dirumah. Kami semua sudah duduk saling berhadapan direstauran. Ku pandangi satu-satu wajah dua orang dihadapanku

Ah..... lebih tepatnya dua manusia dan satu arwah yang menempel sekali pada orang itu. Aku berusaha mengabaikan nya,  seakan-akan tak melihat apapun disana.

"Hallo Becca. Namaku Matthew dan ini putra ku Dimitri, dia lulus kuliah tahun ini." Fasih sekali calon ayah tiriku memperkenalkan dirinya, sepertinya dia sudah sering berlatih didepan kaca hanya untuk memperkenalkan dirinya. Ku balas senyumnya karena tak ingin melihat drama air mata sepulang makan malam nanti, membalas sapaannya dengan manis pula.

"Maafkan kami datang terlambat ...."

"Panggil saja Matthew." Ayolah aku sudah sering melihat drama seperti ini ditelevisi. Calon ayah tiriku berusaha untuk membuatku suka padanya,  sedangkan pandangan ibu benar-benar berharap aku bersikap baik dihadapan calon suaminya itu. Jadi aku memilih jalan yang takkan ada beruraian airmata lagi.

"Tidak bisa. Kau akan menikah dengan ibuku jadi aku harus memanggilmu ayah. Tapi aku juga sudah punya ayah, tak keberatan aku memanggilmu papa?."

Satu tahun.
Aku harus bertahan satu tahun lagi.

Kulihat wajah Matt maupun ibu berbinar memandangi ku. Sepertinya tindakanku kali ini tepat. Takkan terjadi apa-apa bukan dengan bermain rumah-rumahan selama satu tahun.

Kami semua makan dengan tenang, sesekali diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan monoton yang tak diperlukan otak untuk menjawabnya. Matthew berusaha mencari perhatianku, sedangkan ibu tengah menarik perhatian Dimitri.

Ibu menawarkan garlic bread tambahan untuk Dimitri tapi belum sempat memindahkan roti itu ke piring Dimi, bunyi baki roti terjatuh mencuri perhatianku.

Ibu terlihat panik sedangkan Matthew berusaha menenangkannya. Sedangkan Dimi terlihat biasa saja, tak menunjukkan respon apapun. Aku bisa mendengar suara kekehan dari jiwa disamping Dimitri. Merasa senang karena telah mengusikku ibuku.

Sepertinya bermain rumah-rumahan kali ini akan lebih melelahkan.

"Dimitri, apa kau punya kekasih?." Well pertanyaan isengku menarik perhatian jiwa itu. Memandangku tak suka karena telah menanyakan hal itu pada Dimitri.

"Tidak, tapi aku sudah punya tunangan." Dimi kembali melanjutkan makan malamnya, meninggalkanku yang dalam kebingungan melihat seringaian jiwa itu padaku beralih dengan tatapan penuh cinta pada Dimitri.

"Tunangan Dimitri meninggal 5 tahun yang lalu." Oh kali ini Matthew yang menjawab, bisa ku lihat wajah Dimi mengeras tak suka beriringan tatapan benci dari sang jiwa itu.

Oh cinta beda dunia...

Meskipun jiwa itu terlihat kesal. Tapi ia tak mengganggu Matthew Seperti yang ia lakukan pada ibuku. Sedangkan Dimitri meminta izin ke kamar mandi setelah mengucapkan hal yang sedikit membuatku iba padanya.

"Renée tidak meninggal Papa, dia hanya tertidur terlalu pulas dan aku masih menunggunya sampai ia terbangun nanti."

Well... sepertinya aku takkan bisa mempunyai kakak laki-laki yang bisa menjaga ku seperti drama yang ada di televisi. Mengingat penjaganya saja seseram itu, lebih baik aku menghindari Dimitri daripada harus berhadapan dengan pacarnya itu.

Hanya saja ibu masih berusaha untuk mendekati Dimitri, dan celakanya pacar Dimitri melihatnya tak suka. Aku masih mengamati gerak-gerik disekitar ku tak suka, karena tunangan Dimi mengundang makhluk-makhluk sejenisnya untuk mendekat pada kami.

Ku putuskan untuk bertindak, sebelum ibu celaka.

"Sudahlah bu, Dimi sudah tak sanggup memasukkan makanan lagi ke dalam mulutnya." Dimi mengangguk setuju atas pernyataanku. Tunangannya pun sudah tak menunjukkan aura mengancam pada ibu. Sepertinya aku terjebak menjadi tameng ibu kali ini.

Suasana makan malam kali ini mungkin akan sangat sulit dilupakan untuk kami. Meski pendapatku dan pendapat ibu berbeda mengenai malam ini, tapi aku ikut senang bahwa ibu menikmati malamnya.

Kami berpisah diparkiran mobil, meski sebelumnya Matthew menawarkan untuk mengantar kami pulang dan setelah dipikir-pikir aku tak ingin satu mobil dengan jiwa pemarah itu. Rasanya pasti akan menakutkan ditatapnya dengan pandangan tak suka setiap saat.

Aku harus mulai membiasakan diriku....

Kami menghentikan taksi untuk perjalanan kerumah. Ku lihat ibu sangat senang dengan hari ini. Dia juga berulang kali menceritakan apa yang ia rasakan tentang malam ini, terkadang juga memberikan penjelasan tentang sikap Matthew padanya.

Aku ingin jujur bahwa aku tak peduli, tapi aku juga tak bisa melihat kekecewaan dimatanya lagi.

Sebuah perasaan yang ditorehkan oleh ayah sebegitu dalamnya.

Aku mulai teringat kembali pada jiwa yang berada disisi Dimitri. Rasanya ada yang janggal dengan jiwa itu, karena aku tak pernah melihat ada seseorang yang terikat benang suci dengan sebuah jiwa yang tersesat dan buruknya kini benang itu pun terikat lewat pada jari manisku.

Menatap pada jari manisku yang kini terikat sebuah benang berwarna perak dalam kegelisahan. Aku dikagetkan dengan keberadaan hantu dirumahku, menyambut kehadiranku dirumah.

"Oh sudah sampai?." Gumamku menatap ibu, sedangkan ibu hanya mengangguk atas pertanyaanku tadi mengabaikan Ros --si jiwa tersesat-- memanggil-manggil namaku.

Suasana mulai hening, ibu sudah berada dikamarnya dan Ros semakin menggila

"Apa?!." Pekikku

"Aku hanya ingin bertanya bagaimana makan malam mu tadi."

Ku ingin marah...
Melampiaskan, tapi ku hanyalah sendiri disini

Rasanya aku ingin bernyanyi saat berhadapan dengan jiwa yang satu ini. Bisa-bisanya ia kepo dengan urusan makhluk hidup.

"Oh! Hantu zaman sekarang." Desisku pelan tapi cukup mampu didengar oleh Ros yang kini semakin menempel padaku.

"Jangan gitu lah babe, Ros cuma mau tau kan."

"Mati aja lo sana!."

A/N : -

SKY OVER YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang