Chapter 5

5 3 0
                                    

Becca POV

Sekolah itu membosankan, jika bukan karena ibu yang memintaku sekolah tentu aku takkan melakukannya. Jemariku masih meliuk-liuk diatas sketch book, hal yang selalu aku lakukan disela jam pelajaran.

Suara gaduh kelas semakin membuatku kesal, entah apa yang terjadi tapi aku tetap menunduk melanjutkan kegiatan corat-coret hingga seseorang memanggil namaku lantang.

"Ada apa Miss?"

Ku lihat wajah Miss Maura menggeram marah, membuatku menyadari bahwa aku mungkin ketinggalan sesuatu karena hal itu diperparah dengan pandangan siswa lain menatap tajam kearah ku.

"Alejandro akan duduk denganmu, silahkan duduk dan kita akan mulai kembali pelajarannya."

Mataku membulat malas menatap pria yang kini telah duduk disebelahku. Menatapku terus-menerus seperti yang biasa ia lakukan.

"Kenapa lo ada disini?"

"Belajar Rebecca. Untuk apa lagi seorang siswa datang ke sekolah."

"Sejak kapan sekolah disini?"

"Mulai hari ini."

"Kenapa keluar dari sekolah?"

"Aku dikeluarkan. Karena memukuli para berandalan yang selalu memukulku."

"Akhirnya kau melawan juga."

"Memangnya siapa yang mengatakan aku tak bisa melawan mereka. Jika aku tidak terluka, kau takkan pernah datang menyembuhkanku."

Mengabaikan Ale aku meneruskan sketsa ku hingga bel istirahat berbunyi.

Aku berjalan ke kantin dengan Ale yang berjalan mengikutiku, duduk satu meja di kantin, begitu pula dengan menunggu ku keluar dari toilet perempuan. Ku tatap matanya letih dan dia hanya tersenyum tanpa beban, ah~ Aku benci Ale yang seperti ini.

"Bisa gak ngikutin gue terus-terusan? Gue mau pulang. Udah dijemput tuh!" Pekik ku, untuk pertama kalinya aku bersyukur karena Dimitri datang menjemputku.

"See you tomorrow honey." Akhirnya Ale pergi, mendengus lega pada kebebasanku yang sementara ini.

Di dalam mobil masih saja sepi, aku maupun Dimitri memilih untuk tidak berbicara satu sama lain. Hingga aku memilih mengeluarkan kembali sketch book ku lagi.

"Kenapa kau duduk dibelakang? Aku bukan supirmu."

"Katakan itu pada tunanganmu, dia duduk disana kau ingin aku berebut kursi dengan pacarmu ya?"

"Sorry, I'm forget about that." Aku kembali mendengus kesal menatap Dimitri yang masih sibuk menyetir disana.

Keadaan rumah masih saja sepi, sudah seminggu ibu pergi bulan madu. Tinggal 3 minggu lagi sampai ibu kembali, rasanya sebelum ibu pulang aku ingin tinggal di rumah lamaku saja.

Setidaknya disana ada Ros yang mengajakku bicara sampai aku merasa lelah. Lain halnya dengan disini, aku harus terus-menerus menundukkan kepala disetiap sudut rumah. Terlalu banyak jiwa tersesat disini, terlalu luas hanya untuk dihuni beberapa orang.

Dengan langkah lesu aku pergi ke kamar yang sudah seminggu ini ku tempati. Hanya satu hal yang ku syukuri dari kamar ini adalah aku sama sekali tak perlu membagi kamar dengan siapapun termasuk dengan jiwa-jiwa tersesat itu.

"Aku ingin bicara." Aku tersentak saat Dimi menarik tanganku, berbalik dan menatapnya bingung.

"Aku ingin meminjam tubuhmu. Aku rindu gadisku."

Well aku sedikit terkejut dengan permintaannya, setelah insiden aku terbangun di ranjangnya Renée sudah tak lagi meminjam tubuhku. Meski saat Dimi menjemputku dirumah ia menampakkan aura yang sangat gelap, hanya saja sampai saat ini dia belum melakukan hal apapun yang tidak seharusnya.

Ku pandangi wajah Dimi yang sedikit berbeda jika dibandingkan saat pertama kali bertemu. Dia lebih cerah dari saat itu, dan itu baik untuk dirinya.

Ku anggukkan tanda setuju, dengan memberikan beberapa syarat mengenai apa yang bisa ia lakukan dan apa yang tidak bisa ia lakukan. Aku juga harus bangun pukul 5 sore dan dia memiliki waktu 2 jam untuk bertemu jadi ku rasa cukup dan membiarkan Renée memasuki tubuhku.

Aku kembali terbangun di ranjang milik Dimi, memilih untuk menggeliat sebelum beranjak dan bersiap pergi karena sekarang sudah cukup sore untuk pergi ke tempat Nagisa. Tubuhku juga terasa sangat lelah, hampir semua persendian ditubuhku terasa nyeri.

Tidak ku kira rasanya akan lebih buruk dari yang terakhir ku rasakan.

Ku ingat lagi apa saja yang teringat saat tubuhku diambil alih. Saat itu aku seperti duduk disudut kesadaranku tanpa bisa berbuat apa-apa membuatku sadar apabila tubuh ini diambil alih oleh para jiwa tersesat, kesadaranku hanya akan kembali apabila sang jiwa telah memilih meninggalkan tubuh ini.

Aku tak punya kuasa untuk sadar dengan sendirinya.

Setelah mandi dan bersiap aku keluar rumah menggunakan taksi menuju apartemen Nagisa. Ini hari pertama aku mulai bekerja dengannya, semoga saja pacar Nagisa tidak terus-menerus muncul dihadapanku.

"Kau datang terlambat Becca." Tegur Nagisa sesaat aku sampai di apartemennya. Aku meminta maaf dan memberikan alasan, dan syukurlah ia menerima maafku dan mulai memberiku pekerjaan.

"Kau bisa kan?" Tanyanya lagi.

"Bisa." Ruangan ini cukup sepi, hanya tinggal aku dan Nagisa saja. Nagisa memiliki dua asisten selain diriku, dan mereka datang di pagi hari sedangkan aku datang dari sore hingga malam hari. Dengan statusku sebagai pelajar akhirnya Nagisa memberikanku keringanan.

"Oh geezz  Nagisa! Matsuyama mengerjaiku lagi." Nagisa hanya tertawa menanggapi keisengan yang tertimpa padaku. Berusaha mengabaikan Matsuyama aku terus melanjutkan pekerjaan yang sedari tadi bertambah terus.

"Kau lapar? Kita belum makan malam meski untuk makan malam sekarang pun sudah terlalu larut." Aku mengangguk, memang benar aku lapar dan butuh asupan. Hari ini aku izin menginap disini karena jarak apartemen - rumah - dan sekolah benar-benar membutuhkan banyak waktu ditambah dengan keenggannan ku bertemu dengan Renée ataupun Dimitri.

"Aku memesan makanan Jepang."

"Iya, aku ingin mandi dulu bolehkah?"

"Silahkan. Kamar mandi di pintu kedua setelah tangga." Mengikuti instruksi yang diberikan Nagisa, kini aku bisa berendam dengan tenang.

Setelah mandi ku pandangi apartemen Nagisa yang bagus dan sederhana ini. Meski besar tapi cukup untuk seorang Kartunis seperti Nagisa.

"Aku suka apartemen mu."

"Keren kan? Aku juga menyukainya. Sebelum ku jadikan studio tempat ini adalah milik Matsuyama, sedangkan aku hanya tinggal di flat biasa." Ugh topik sensitif, membuatku tak enak hati melanjutkan pembicaraan ini.

"Aku ingin punya satu yang seperti ini."

"Kau bisa minta pada keluargamu."

"Aku tak punya."

Dengan langkah gontai ku hampiri Matsuyama yang terduduk manis di meja makan, melihat ke arah kami sejak tadi.

"Senang dengan pertunjukan yang kau lihat?" Matsuyama hanya tersenyum, aku sedikit penasaran dengan kematiannya. Mungkin aku akan bertanya nanti saat Nagisa sudah tertidur, bagaimana pun juga aku tak ingin melihat Nagisa sedih.

Dilihat bagaimana pun Nagisa lebih manis dibandingkan diriku yang sejak awal memang perempuan. Dan melihat Nagisa bersedih itu seperti melihat anak kucing yang sedang mengeong meminta makanan.

Intinya aku tak tega.

Makanan sampai, dan kami makan dengan khidmat. Sudah menjadi kebiasaanku untuk makan dalam keheningan atau lebih tepatnya karena aku sering makan sendirian jadi tak perlu mengajak orang-lain bicara.

SKY OVER YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang