/a song about us/
Yogyakarta, 2020.
"Pokoknya lo harus udah siap di sana jam sebelas besok oke? Nggak ada acara terlambat. Ini gue udah siapin semua baju, make up, mobil, pokoknya semua udah beres. Tinggal lo on time, nggak ada alasan sakit perut, sakit kepala, sakit pinggang. Situ sehat walafiat, jangan bohong terus, oke?"
Perempuan yang sedang berkutat dengan setumpuk tugas itu menjauhkan ponselnya dari telinga, kemudian mendekatkan bibirnya ke layar ponsel. "Eh Gery, lo bawel banget tau gak? Gue pecat lo, ya!"
"Gura, Gery, Gura, Gery! Sembarangaaan! Gue pites kelar lo ya! Panggilnya Anya!"
"Iya, iya, terserah lo!"
"Seriusan gue, Kanaya. Kalau lo sampe telat lagi, mungkin aja peran lo udah diganti sama yang lain. Lo mau si Jenna yang jadi pengganti lo? Iya? Meskipun tugas lo segudang, lo harus profesional—"
"Iya, udah, gue tutup ya, tugas banyak. Bye!" Kanaya langsung memutuskan sambungan telepon itu dan mematikan ponselnya. Ia melepas kaca mata yang bertengger di hidungnya dan memijat pelan pangkalnya. Pikirannya terasa penuh dengan jadwal kuliah dan kerjanya yang saling bertabrakan. Ditambah lagi, deadline tugas yang sedang ia kerjakan ini besok hari.
Perempuan itu kembali menarik napas. "Sabar, Kanaya, sabar...." Ia menarik dan membuang napasnya sambil memejamkan mata. Tiga detik kemudian, Kanaya menyeruput kembali gelas kedua hot Americano favoritnya yang sudah hampir dingin itu.
Di antara belasan orang yang sedang berada di dalam coffee shop itu, meja Kanaya lah yang paling berantakan. Bahkan, ia benar-benar sudah tidak peduli dengan bisik-bisikan para waitress yang membicarakan perempuan jorok yang duduk di pojok ini.
Terserah. Intinya Kanaya bersih dan rapi!
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Kanaya selesai mengerjakan karya tulisnya. Ia mematikan laptop dan meminum kembali kopinya yang sudah benar-benar dingin. Sambil memejamkan mata, ia bisa mendengar dan merasakan lebih jelas apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Perempuan itu selalu suka momen-momen seperti ini.
"Ingat aku saat kau lewati
jalan ini setapak berbatu
kenang aku bila kau dengarkan
lagu ini terlantun perlahan..."
Kanaya membuka matanya dan mendengarkan bait lagu itu dengan jelas. Pendengarannya kini hanya berpusat dengan lantunan lagu yang diputar dari pengeras suara yang ada di dalam kedai kopi ini. Ia terhenyak, kepalanya mulai penuh dengan kenangan-kenangan masa lalunya.
Lagu ini pernah menjadi favorit Kanaya dan seseorang.
Ia kembali teringat dengan masa-masa SMA-nya. Masa-masa di mana ia tidak memiliki beban serumit ini, ia memiliki teman yang selalu ada di kondisi apapun yang terjadi, dan masa-masa di mana ia bertemu dengan laki-laki bernama Arbi.
Dadanya terasa sesak tiap bait lagu itu mengalun di telinganya dan membuat ia rindu. Karena begitu rasa rindu itu hadir, ia tahu seseorang yang ia rindukan sudah berubah. Perasaan itu hanya hadir untuk membuat Kanaya ingat kalau mereka pernah ada, kisah itu benar-benar pernah terjadi. Bukan untuk membuat mereka bertemu dan menghilangkan rindu untuk sesaat.
Rasanya menyesakkan ketika rindu itu hadir, namun tidak bisa diobati.
"Mungkin akan kau lupakan
atau untuk dikenang..."
Kanaya langsung bangkit berdiri dan merapikan semua barangnya di atas meja. Matanya sudah benar-benar memanas karena rasa dan ingatan itu kembali hadir setelah sekian lama.
"...untuk dikenang, untuk dikenang."
Dengan berakhirnya lagu itu, pintu kedai kopi itu kembali tertutup. Perempuan itu sudah melangkah, meninggalkan tempat favoritnya, dan berusaha menghilangkan rasa rindunya.
***
A/N
Hello, i am back!
Read the first chapter and you can read the next A/N.
I am sorry for the labilness and galauness in my brain, i hope you will enjoy this story.