5th

111 16 3
                                    

/pertolongan pertama/

"Tolong banget lemparin botol minum gue! Yang warna pink!"

Kanaya mencari botol minum berwarna pink di antara belasan botol minum di sebelahnya. Kemudian ia melemparkan botol minum berwarna pink yang berbentuk penguin milik Thalia. Setelah botol itu mendarat dengan mulus, ia kembali memperhatikan teman-temannya yang sedang bertanding voli.

Hari ini Kanaya izin tidak berolahraga dulu. Meskipun Pak Ben awalnya tidak mengizinkan, namun akhirnya Kanaya dibolehkan izin dengan syarat menunggu di pinggir lapangan. Rasa sakit saat hari pertama menstruasi memang benar-benar hal yang tidak bisa diabaikan.

Kalau saja Pak Ben atau teman-temannya bisa melihat wajah Kanaya yang pucat dengan keringat mengucur dari dahinya, sudah pasti Kanaya akan diizinkan ke UKS atau bahkan, bisa saja ia disuruh pulang. Namun, Kanaya tidak mau banyak orang yang mengira aneh-aneh. Meskipun sebenarnya tidak ada juga yang akan berpikir aneh-aneh tentang dirinya, tetap saja Kanaya tidak mau jadi pusat perhatian.

"Kok nggak olahraga?"

Suara dari belakang Kanaya membuat perempuan itu menoleh. Ia langsung kembali mengalihkan pandangan ke lapangan begitu tahu ternyata Arbi yang berdiri di belakangnya.

"Woi!" Arbi yang sekarang duduk di sebelah Kanaya dengan posisi menghadap perempuan itu melambaikan tangannya di depan wajah Kanaya. "Lo kenapa nggak olahraga?"

Kanaya menggeleng tanpa melirik sedikit pun. "Nggak apa-apa."

"Duh, ngomong sama siapa, mbak? Sama setan?" sahut Arbi asal. "Cowoknya di sini kok jawabnya ke sana."

Kanaya langsung menoleh dengan ekspresi jengkel. Ia menatap Arbi yang juga sedang berusaha memasang wajah paling menjengkelkan yang ia punya. "Gue nggak apa-apa."

Arbi tertawa sekilas.

"Kenapa?" tanya Kanaya dengan tidak suka.

"Nggak apa-apa," balas Arbi, masih tertawa. "Cewek banget dah jawaban lo. Nggak apa-apa," katanya seolah meniru suara Kanaya.

Kanaya tidak berniat membalas lagi dan kembali menatap teman-temannya. Namun, ia sadar beberapa temannya sudah mulai memperhatikannya. Kanaya yang merasa tidak enak langsung menatap Arbi lagi. "Lo ngapain, sih, di sini? Emang nggak ada kelas?"

Arbi menoleh. "Ya ada."

"Ya terus?"

"Cabut lah, gue juga mau ke warjok kok," kata Arbi lagi, lalu ia menambahkan, "Kalau lo mau tau aja, hehe. Atau lo mau ikut?"

"Ih?" Kanaya langsung menghernyit. "Gila apa lo?"

Alih-alih membalas perkataan Kanaya, Arbi menaruh handuk kecil di atas kepala Kanaya sampai wajah perempuan itu tertutupi. Kanaya mengamuk, namun Arbi menahan kepalanya agar diam.

"Nih, handuk bersih, pake buat lap keringet lo ya, hati-hati tuh alisnya luntur. Balikinnya nanti abis dicuci, oke?"

Begitu Arbi melepas tangannya, Kanaya langsung menarik handuk berwarna biru muda itu dari wajahnya. Napasnya tersenggal-senggal karena tadi tertahan tangan Arbi, rambutnya juga sudah berantakan. "Ish! Rese lo!" teriaknya pada punggung anak laki-laki yang sudah mulai menghilang ke bagian belakang sekolah.

Kanaya menatap lagi handuk biru itu di tangannya. Kemudian ia menghela napas dan bangkit berdiri dari kursi panjang di pinggir lapangan, berjalan menuju kamar mandi perempuan sambil menyeka keringat di wajahnya dengan punggung tangan.

***

"Tadi dia ngomong apa?"

Begitu Thalia dan Andrea selesai mengganti baju mereka di bagian belakang kelas. Mereka langsung menghampiri Kanaya yang sedang tidur-tiduran sambil menempel dengan tembok. Kanaya hanya menggeleng sebagai respons.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Time to RememberTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang