Hari telah malam ketika ia sampai di kediamannya. Terlihat cahaya rembulan yang menembus jendela kamarnya yang masih belum tertutup tirai kain yang tak begitu tebal. Sejenak ia pandangi benda langit yang serupa dengan matanya itu. Memilih untuk duduk, ia kembali melanjutkan kegiatannya. Dipandanginya bulan dan jutaan bintang yang tampak berkelip menghiasi langit malam itu. Seketika, ia tersadar akan sesuatu, mengapa hanya ada satu bintang yang selalu terlihat paling dekat dengan bulan?
Ia tersenyum dengan pertanyaan yang menurutnya konyol itu. Ia merasa kalah dari sang bulan yang ditemani ribuan bintang dan satu bintang yang didekatnya. Ia sendirian sekarang, sedangkan bulan itu ditemani ribuan bahkan jutaan bintang. Seandainya bisa, ia ingin meminta satu bintang itu. Dan lagi-lagi ia tersenyum dengan pemikirannya.
"Nee-chan?"
Sebuah suara yang cukup keras datang dari pintu yang belum tertutup sepenuhnya, membuyarkan lamunannya. Rupanya Hanabi, satu-satunya adik perempuan yang ia punya. Menolehkan kepalanya, Hinata tersenyum saat adiknya itu berjalan mendekat.
"Kenapa tidak bilang kalau sudah pulang?" tanya sang adik dengan wajah yang terlihat setengah marah dan setengah khawatir. Gadis 16 tahun itu sudah seperti ibu-ibu yang sedang memarahi anaknya karena pulang malam.
"A-ah, aku hanya tidak ingin menggangumu, Hanabi-chan," jawabnya dengan tersenyum, tak mau ia dimarahi oleh sang adik yang faktanya lebih galak meskipun usianya lebih muda darinya. Adiknya itu paling anti kalau ia pulang malam.
Makanya setelah pamit pada Kushina, buru-buru ia pulang. Ia hanya menggumamkan kata maaf ketika calon mertuanya itu bertanya mengapa ia menangis. Ia memilih untuk tidak berpamitan pada Naruto, ia sudah tidak mau lagi merepotkan pemuda itu. Tidak mau membuat pemuda itu menderita lagi.
"Tadi Naruto-nii menelpon kesini," ujar Hanabi menyadarkan Hinata yang sejak tadi terdiam.
"Dia menanyakan apakah nee-chan sudah sampai di rumah, memangnya Nee-chan tidak pamit padanya?"
Sepertinya Hanabi punya bakat membaca pikiran orang. Hinata yang sudah berkeringat dingin pun masih terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan adiknya. Dan dengan setia memberi kesempatan bagi sang adik yang masih ingin berbicara lebih banyak lagi.
"Naruto-nii sangat mengkhawatirkanmu, Nee-chan."
Dan kali ini berhasil membuat Hinata memfokuskan atensinya. Apa dia tidak salah dengar? Naruto mengkhawatirkannya? Pemuda itu masih peduli pada Hinata yang sudah menyakiti dan membuatnya menderita? Hinata kembali memandangi rembulan dari jendela kamarnya, ia tak ingin Hanabi melihatnya menangis. Ternyata tunangannya itu benar, tunangannya itu tidak membencinya. Dan bolehkah ia bersyukur hanya karena hal itu?
~Heart and Love~
"Kalian sudah membicarakannya?"
Kushina merasa perlu ikut campur dalam masalah ini. Wanita setengah baya itu sadar bahwa pertunangan anak semata wayangnya tidak dalam keadaan baik-baik saja meskipun Naruto selalu mengatakan 'tidak perlu khawatir Kaa-san' ketika ditanya perihal pertunangannya. Melihat Hinata menangis kemarin, sudah cukup membuktikan kekhawatirannya. Pertunangan anaknya sedang ada masalah.
Dan sekarang ketika pertunangan itu akan berakhir dan akan berubah menjadi pernikahan, ia sudah tidak bisa diam lagi. Pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah dan tidak bisa dibuat main-main.
"Membicarakan apa, Kaa-san?" Naruto balik bertanya seolah tak tahu arah pembicaraan Kushina. Ia menatap sang ibu yang tengah khawatir. Padahal ia sudah susah payah memperlihatkan wajah tenang, tapi ibunya itu tetap saja tau. Tangannya meraih gelas yang berisi teh hangat yang baru saja dibuatkan ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart and Love
FanfictionHukum kekekalan juga berlaku untuk cinta. Seperti cinta Naruto pada Hinata yang tidak dapat diciptakan dan seperti cinta Hinata pada Naruto yang tidak dapat dimusnahkan. Bagaimana perjalanan hidup mereka yang penuh dengan tangisan, air mata, dan...