Bagian 3: Penderitaan
"Jika sampai saat itu Naruto-kun masih tetap tidak mencintaiku, Naruto-kun boleh... menceraikanku."
Bodoh. Ini bahkan belum genap satu hari mereka menyandang status suami istri, ia sudah membuat gadis itu menangis lagi. Ini baru awal kan? Akankah seterusnya lebih sakit dari ini? Akankah ia melukai Hinata_ dan dirinya sendiri_ lebih dari ini? Sejak ia keluar dari kamar pengantin mereka dan berakhir disini, ia belum bisa menghapus isak tangis Hinata yang terekam di otaknya. Terlebih pernyataan gadis itu untuk siap diceraikan olehnya. Bagaimana bisa gadis itu menganggap pernikahan mereka seperti permainan? Hanya satu tahun mereka akan hidup berumah tangga dan setelah itu penderitaan mereka akan hilang, seharusnya ia senang 'kan? Tapi kenapa hatinya terasa lebih... sakit?
"Maafkan aku, Hinata," gumamnya dengan tetap memejamkan mata. Lengan kanannya terangkat menutupi wajah lelah karena seharian ini belum istirahat barang sebentar. Badannya sungguh letih tapi masih belum bisa terlelap padahal sudah 2 jam ia berbaring di sofa itu. Menghela napas pelan, pemuda itu memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Sudah sedikit gelap. Sepertinya istrinya telah tidur, dan benar saja ketika kakinya sampai di dekat tempat tidur, istrinya sedang tertidur disana. Di sisi kanan tempat tidur, berbaring miring memunggungi sisi tempat tidur Naruto. Bahkan tubuh kecil itu tak menghabiskan seperempat bagian dari ranjang besarnya. Naruto menundukkan tubuhnya, mengulurkan tangan perlahan memperbaiki selimut sang istri. Setidakcintanya ia pada gadis itu, ia tetaplah manusia yang punya hati. "Gomen," bisiknya pelan saat melihat mata sembab istrinya yang tengah terpejam.
.
.
"Bagaimana malammu, sayang?" Senyum manis Hinata dapatkan ketika ia sampai di dapur. Ibu mertuanya tengah memandang ke arahnya, dengan senyum tak kalah manis ia melangkah mendekati wanita yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. "Kaa-san." Ia memeluk erat wanita itu dengan tersenyum. Akhirnya ia kembali merasakan hangatnya pelukan seorang ibu. Punggungnya merasakannya sekarang, usapan kasih sayang.
"Terima kasih," ucapnya setelah melepaskan pelukannya. Menatap Kushina tanpa melepas senyumnya. Sosok ibu mertua yang ceria, sangat mirip dengan orang yang sangat dicintainya. Seketika, senyum wanita itu membawa Hinata kembali pada percakapannya dengan Naruto malam tadi. Satu tahun. Bisakah dalam satu tahun ini ia melihat senyum itu di bibir suaminya? Bisakah dalam satu tahun ini pemuda itu membuka hati untuknya? Bisakah ia dan suaminya itu bertahan dalam kesakitan lagi. Bisakah ia tahan setiap hari melihat suaminya menderita?
"Hinata-chan? Kau baik-baik saja?" Suara Kushina menghentikan lamunannya. Senyum itu terganti dengan raut kekhawatiran dan genggaman tangan dirasakan oleh tangannya. Tak ada jawaban, ia justru memilih memeluk kembali wanita itu-
"Kaa-san menyayangimu dan terimakasih sudah mencintai putra kaa-san dengan sebesar itu."
-mengundang senyum haru ibu mertuanya.
"Maafkan aku, Kaa-san. Secara tidak langsung, aku telah menyakiti putramu."
.
.
"Hinata-chan, biar kaa-san saja yang menyelesaikan sisanya, bangunkan suamimu karena hari ini Jiraiya-jiisan akan kemari," ucap Kushina dengan halus. Hinata sebelum ini memang bersikeras ingin membantu mertuanya memasak, selain ia memang senang memasak ia juga tak mau merepotkan wanita yang usianya sudah bisa dibilang tidak muda lagi. Ia tak mau dianggap sebagai menantu yang kurang ajar karena memang sudah seharusnya Hinata mengerjakan pekerjaan rumah yang ia tinggali setelah menikah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heart and Love
FanfictionHukum kekekalan juga berlaku untuk cinta. Seperti cinta Naruto pada Hinata yang tidak dapat diciptakan dan seperti cinta Hinata pada Naruto yang tidak dapat dimusnahkan. Bagaimana perjalanan hidup mereka yang penuh dengan tangisan, air mata, dan...