4. Menyerah

362 38 11
                                    

Februari, bulan cinta.
Banyak orang berkata Februari adalah bulan kasih sayang dan cinta.

Cinta.

Cinta.

Ya, sesuatu yang sangat diharapkan oleh seorang gadis yang telah menikah.
Heran? Sudah menikah tapi masih mengharapkan cinta? Benar, pernikahan yang dijalaninya selama 5 bulan lalu itu memang tanpa didasari cinta, dari suaminya.

Hinata tersenyum miris setelah apa yang baru saja ia pikirkan. Haruskah ia menyerah? Haruskah ia menyerah bahkan sebelum genap 1 tahun seperti yang ia ucapkan pada Naruto dulu? Haruskah ia mengubur harapan yang ia bisikkan saat hari ulang tahunnya? Karena sampai sekarang harapan itu belum juga terwujud.

Tes!
Tes!
Akhirnya gadis itu menangis.
Kenapa nasibnya bisa semenyedihkan ini? Tak dicintai oleh orang yang sangat ia cintai. Ia dinikahi, ditemani, diramahi, tapi tak dicintai. Kenapa Naruto bisa baik padanya tapi tidak bisa mencintainya? Kenapa suaminya masih bisa bertahan menemaninya tapi belum juga bisa mencintainya?

Hinata mengingat semua interaksi mereka di rumah ini. Bagaimana baiknya Naruto padanya. Ia mengingat semua hal yang telah ia jalani dengan Naruto di dalam rumah tangganya. Mereka suami istri, tapi rumah tangga mereka berbeda dari yang lain. Seperti tidak ada kehidupan, hanya menjalankan skenario. Tidur, bangun, makan, bekerja. Terus begitu. Hanya sedikit tegur sapa yang mereka lakukan.

"Hinata, maaf aku terlambat," ucap Naruto sembari menyerahkan sesuatu untuknya.
Ia tersentak kaget dengan kehadiran tiba-tiba sang suami ditambah lagi dengan bungkusan yang disodorkan padanya.

"A-apa ini, Naruto-kun?" tanyanya sembari mengulurkan tangan untuk menerima bungkusan itu.

"Selamat ulang tahun," kata suaminya lagi dengan menatap matanya.

"Aku tidak tau mau memberimu apa," tambah suaminya itu.

Hinata tertegun, bingung harus berkata apa. Ia senang Naruto peduli padanya. Peduli, ya hanya sebatas peduli.
Tangannya kemudian membuka bungkusan itu. Sebuah kotak kecil. Matanya terbelalak tak percaya ketika melihat isi dalam kotak tersebut. Sebuah gelang kaki. Gelang kaki yang dulu sempat ia pandangi lama-lama ketika Naruto mengajaknya membeli cincin pernikahan. Kenapa Naruto bisa memilih gelang kaki itu? Apakah suaminya itu tau ia menyukai gelang kaki? Matanya perih, berair.

"N-Naruto-kun ini-" kata-katanya tak sempat ia lanjutkan karena Naruto tak lagi berada di hadapannya ketika ia mendongakkan kepala.
Suaminya itu ternyata telah menghilang saat ia sibuk memandangi gelang kaki yang baru saja ia terima.
Ia kembali menangis,
"a-ri-ga-tou, Naruto-kun." Ia mengucapkannya dengan lirih dan terbata-bata. Susah payah ia mengucapkan itu.

Tangisannya semakin menjadi saat gelang kaki itu kini berada di genggamannya. Menyentuh untaian emas putih pemberian sang suami. Bentuk kepedulian sang suami padanya. Hanya kepedulian yang ia dapatkan dari Naruto. Ia bahagia dengan itu. Kepedulian Naruto adalah salah satu hal yang membuatnya bahagia. Seharusnya ia bersyukur. Seharusnya ia juga memberikan kebahagiaan untuk Naruto. Tapi apa yang ia beri? Apa yang telah ia berikan pada lelaki itu? Apakah kebahagiaan? Apakah ia pernah melihat Naruto tersenyum bahagia selama ini?
Jawabannya adalah tidak.

Naruto-kun tidak bahagia. Aku tidak pernah bisa membuatnya bahagia.

Itulah yang kini tergiang di kepalanya. Terus tergiang hingga membuat hatinya sakit. Sebagaimana sakit yang ia rasakan saat ia melihat Naruto menangis karena dirinya. Sesakit saat tau Naruto tak pernah bahagia atas cinta yang ia berikan. Cinta yang ia paksakan. Cinta yang tak pernah Naruto harapkan.

Heart and LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang