Chapter 11, J atau Neng

16 2 0
                                    

J atau Neng

Sial, tak sengaja terlalu lama aku meninggalkan seduhan kopiku tiga belas menit yang lalu. Yah, rasanya pasti akan berbeda, bukannya malah menjadi kelat, gurih, dan membuat ketagihan, namun malah menjadi pahit, sedikit hambar dan memuakkan. Terpaksa kuseduh lagi cairan kelat berkafein tinggi itu untuk yang kedua kalinya. Namun untuk menyajikan secangkir Ristretto tidaklah mudah, butuh waktu yang tak sebentar agar pria berkulit pucat lagi bertubuh jangkung itu merasa puas akan hasil kerjaku.

Tetapi ternyata aku tidak sendiri saja disini. Kehadiran makhluk lain dapat kurasakan dengan jelas meski aku tak melihatnya dengan pasti. Hebat, kini bahkan ia bernapas di permukaan kulit leherku. Terpaksa aku sedikit menolehkan kepalaku dan berkata, "Ini masih jam kerjaku, J." Namun ia tidak peduli, seakan ia tuli. Ia tetap saja melakukan apa yang ingin ia lakukan, mewujudkan apa yang ingin ia wujudkan, dan menuntaskan apa yang ingin ia tuntaskan. Ia malah berbisik penuh kehangatan tepat di antara leher dan telingaku, sengaja membuatku mabuk.

Aku tak bisa menolak, lantaran aku memang tak ingin bermunafik diri, aku pun menuruti permintaannya yang tak tertulis, tak terujar, dan hanya bisa ia salurkan melalui gerak tubuhnya terhadapku. Aku berbalik, tak lagi memikirkan kenapa J bisa sampai ke dapur seorang barista tanpa seorangpun yang sanggup menegurnya. Entah ia telah menyuap semua pelayan atau bagaimana, aku juga tidak mengerti. Yang jelas sekarang yang ada di hadapanku hanya J. Aku tersenyum penuh arti, terlebih ia. Pria itu menarik kerah bajuku, aku pasrah saja. Sesaat setelah itu ia berhasil membuatku kesulitan bernapas, bertengkar dengan paru-parunya, berebut oksigen, sampai jantungku mulai bekerja ekstra daripada yang biasanya, sampai sesuatu di suatu tempat sana mulai melesak, aku mendorong pelan dadanya. Aku mencoba menghirup udara banyak-banyak, sedikit tersengal-sengal. Namun ia meminta lebih, ia tak ingin waktu yang ia miliki denganku terbuang sia-sia. Aku mencoba menolak. Mungkin aku takut ketahuan karyawan lain. Mungkin juga, aku takut akan lebih banyak mengotori diriku sendiri yang mulai tak pantas untuk Neng. Mungkin juga, aku takut akan ketagihan dirinya.

J mengulum pelan bibir bawahnya, kemudian sedikit menunduk. Ia menyibakkan poninya, berkeringat. Tak sengaja aku melihat ada darah di bibirnya, sial.. apa tadi aku menggigitnya terlalu keras? Kulihat mata sayunya yang sepertinya memancarkan semburat yang lain. Oh, dia menangis. Aku terkejut, ingin bertanya. Namun tanyaku sontak terhentikan oleh ujarannya yang tiba-tiba muncul.

"Besok aku akan pergi. Ke tempat yang jauh sekali, kau mungkin tak akan percaya. Sebenarnya aku ingin kau menemaniku tidur untuk malam ini, tapi.. itu tidak akan mungkin, kan?" Ia tersenyum pahit, namun sejurus kemudian ia kembali mengecup bibirku, tapi kali ini tanpa nafsu, tulus dari hatinya, sepertinya.

Tiba-tiba aku teringat akan seduhan kopiku. Sial. Seduhanku overcook lagi. Sudah tiga puluh menit berlalu. Sekali lagi, aku, harus, menyeduhya, lagi. Namun kurasa tidak perlu. Lantaran J tak lagi membutuhkan seduhan kafeinku, karena ia telah menyeruput kafeinnya sendiri, tadi.

***

"Mas," samar-samar, terdengar suara Neng yang mencoba membangunkanku di pagi hari. Kalau boleh aku mengira-ngira, mungkin baru sekitar pukul lima dini hari. Aku menggumam tak jelas, sedikit merasa malas untuk terjaga di jam ini. Namun dari nada-nada Neng, kutemukan suatu hal bahagia yang terselip disana. Seperti, Neng baru saja menemukan sebuah tambang emas di sumur kami, atau tiba-tiba saja setelah sekian lama Neng berhasil untuk menangkap tikus-tikus yang sering berlalu lalang di bagian-bagian tertentu rumah kami, atau yang lain.

Aku mencoba membalikkan badanku, berusaha keras memaksa mataku untuk terbuka. Oh, ternyata liurku masih belum kering di sekitar pipi kananku, kuputuskan untuk mengelapnya sekilas saja.

"Ada apa, Neng? Ini masih pagi sekali, lho." Aku menguap, spontan saja. Karena memang semalam aku cukup lelah menghadapi J hanya dalam posisi berdiri saja. Yah, itu lebih kurang delapan puluh tujuh menit? Namun kulihat Neng semakin tidak sabaran. Kalau penglihatanku benar, ia sedang berkaca-kaca. Ia memegang sesuatu di belakang sana, namun tangannya lain meraih tanganku, berusaha mengujarkan kata demi kata yang siap ia lontarkan.

"Neng rasa, semua kesabaran dan usaha Neng selama ini benar-benar berbuah hasil, Mas." Bagus, kini ia tak lagi memegangi tanganku, namun menutup mulutnya dan menatapku dalam, namun dengan sorot mata penuh haru. Aku semakin terheran-heran. Ia berhasil membuat mataku terbuka sempurna, dan nyawaku kembali dengan baik ke dalam raga.

"Memangnya, ada apa? Neng mimpi buruk yah barusan?" Aku menebak asal, masih terlalu ekstrim untuk mencoba berpikir jernih di pukul ini. Ah, ia malah mengulum senyum. Kini malah semakin menjadi-jadi. Sepersekian detik kemudian Neng menggeleng kuat-kuat, ia semakin sumringah saja. Aku, yang berada di depannya, yang menjadi lawan bicaranya, juga semakin menjadi-jadi pulalah mengerutkan keningku yang memang alaminya sudah dihinggapi beberapa kerutan.

"Bukan, Mas. Ini tuh ga mimpi, Neng bener-bener... ah! Neng harus mulai dari mana??"

Hebat, bukannya malah mendekati titik terang, aku malah semakin jauh dari jawaban atas teka-teki mendadak yang Neng sodorkan. Aku mencoba mengintip benda apa yang ada di balik tangan Neng itu, namun Neng menggenggamnya dengan baik, sehingga tak ada celah bagiku untuk melihatnya.

"Bilang deh, ada apa?" Aku mencoba menenangkan diri, dan kembali bertanya kepada Neng. Namun Neng malah menarik napas panjang, dan mengeluarkannya dengan amat tenang. Terakhir kali aku melihatnya melakukan hal itu, ketika lima belas menit sebelum pernikahan kami terlaksana, kurang lebih dua tahun yang lalu. Pelan, ia coba untuk menarik tangan kirinya yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang sana. Ia menggigit-gigit kecil bibirnya, lucu sekali. Namun perhatianku kini terpusat pada sosok benda yang siap muncul dari balik telapak tangan Neng. Aku mewanti-wantinya saat ini.

"Mas, sudah dua bulan belakangan ini, Neng tidak pernah datang bulan." Baik, ia semakin antusias. "Pada awalnya Neng ga percaya, tapi pas kemarin cek, dan baru ingat kalau hasilnya sudah keluar, Neng tiba-tiba bangun dari tidur, dan langsung lihat hasilnya barusan." Lalu? "Lalu, inilah hasilnya, Mas. Neng dan Mas sudah resmi menjadi Ayah dan Ibu, untuk dia..." Neng mengelus perutnya, aku pun ber-oh-ria, mengangguk saja. Namun sejenak kemudian aku kembali menoleh pada Neng,

"APA???"

GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang