Chapter 4, Boo

16 2 0
                                    

Boo

Sudah lima belas menit gadis itu menangis. Aku hanya membiarkannya saja. Sesekali ia menggumam tak jelas, sesekali ia tertawa seperti orang gila. Aku ingin menghampirinya dan menenangkan bahunya yang bergetar, namun Gun menahanku. Tak apa, kali ini aku mengalah dari Gun. Biasanya Gun yang mengalah dariku. Kulihat rambut Boo yang terurai panjang dari belakang sini. Cantik, pikirku. Semakin larut ia menangis, sepertinya semakin cantik. Tidak, jangan sangka aku menyukai Boo seperti adanya seorang Butchi menyukai Femme-nya. Aku hanya, merasa perlu untuk terus melindunginya.

Boo dan aku bertemu pada sebuah perkumpulan lesbian lokal empat bulan yang lalu. Awalnya aku sama sekali tak tertarik untuk mengenalnya apalagi berhubungan dengannya. Alasan mengapa aku bisa sampai ke perkumpulan ini pun hanya karena aku penasaran. Tidak lebih. Sebelum ini Boo tidak pernah mau melekatkan statusnya sebagai Butchi atau Femme, ia lebih senang menjadi NLL (No Label Lesbian). Namun semenjak kedatanganku, semua sepakat bahwa akulah orang pertama yang mampu membuat Boo terus-terusan meraung sendu. Lantaran keperawakanku yang lebih tergolong kepada seorang Butchi, ia bersikeras menjadi seorang Femme untukku. Mereka bilang, Boo terlalu 'addicted' terhadapku.

Boo dan aku terpaut usia dua tahun dengan kondisi aku yang lebih muda. Heran, baik ketika menjadi Gun maupun Gunna, aku selalu berhubungan dengan orang-orang yang lebih tua dariku. Boo adalah seorang lesbian, sementara aku tidak. Mungkin, tidak juga. Tapi yang kutahu, Boo begitu menginginkan aku seutuhnya, hanya untuk dirinya seorang. Bahkan ketika saat jam-jam berkumpul, Boo tak mengizinkan Femme maupun Butchi lainnya untuk berinteraksi denganku. Mereka bilang, cemburu. Namun tidak. Ia seperti sedang mabuk sabu, kataku.

Boo dan aku dapat bertemu hanya pada hari-hari tertentu. Senin, Rabu, dan Minggu. Pun, hanya sekitar tiga sampai empat jam saja. Ketika hari akan sore, Boo sering memintaku untuk menemaninya semalaman dan mengajakku bercinta. Dan aku selalu menolak, lantaran aku harus melanjutkan aktivitasku lainnya yaitu menjadi Gun, menjadi seorang barista, dan menjadi seorang suami untuk Neng di rumah. Namun Boo tetap saja bersikeras agar permintaannya kukabuli, dan saat itu aku tahu akan ada lagi air mata. Boo terus merengek manja, seperti anak bawah lima tahun yang akan menggeliat liar di permukaan lantai jika permintaannya tak dipenuhi. Namun aku pun juga tetap pada pendirianku. Menurut pengalaman, orang-orang seperti Boo jika keinginannya terpenuhi sekali, maka ia akan menagih hal yang lebih di kemudian kali, dan lebih lagi, dan lebih lagi, sampai mati. Aku masih memandangi punggungnya dari belakang sini. Pelan, kuhampiri Boo yang isakannya sudah mulai mereda di sana. Dalam diam, kudekap lembut sosok cengeng menyebalkan itu. Lalu kubisikkan padanya, "diamlah, Boo" seperti biasa.

GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang