Chapter 1, Gun

51 4 0
                                    

Gun

Malam ini terasa sedikit membosankan. Tak terlalu banyak orang yang datang atau sekedar memesan. Sudah tiga cangkir cairan kelat yang kuseduh sendiri ini kuhabiskan. Namun tampaknya tak memberi pengaruh pada kekuatan otot mataku yang kerap melawan.

Menjadi seorang Barista, entahlah. Membayangkannya saja aku tak pernah. Tapi inilah adanya, hasil coba-coba melamar pekerjaan. Ketika diwawancara, kukira aku akan ditempatkan sebagai cleaning service yang kurasa lebih cocok dengan keadaanku. Mengapa harus Barista? Mengapa yang tidak lebih simpel saja? Seperti penyambut pelanggan yang selalu setia di depan pintu yang bahkan kehadirannya cenderung terabaikan, atau seperti penjaga kasir yang senantiasa memasang wajah cerah maksimal meski keadaan batinnya sedang robek koyak mengerikan? Entahlah, terlalu banyak keajaiban di sini.

Ruang kerjaku berada pada sudut kiri dapur. Tempat di mana aku menyeduh cairan berkafein tersebut. Menjadi seorang Barista itu sulit, namun mudah. Sulit karena ia terlihat mudah, dan mudah karena ia sesungguhnya sulit. Barista tak hanya menuntut ketangguhan ragamu, namun juga kelincahan batinmu, yang sepertinya jauh lebih mendominasi ketika kau bekerja. Tapi ternyata batinku sedikit berbeda dari yang lainnya. Aku memiliki kelebihan yang tak dimiliki orang lain. Ada saat ketika batinku dan batinku yang lainnya bertengkar dan salah satu dari mereka harus mengalah. Ada saat ketika batinku maupun batinku yang lainnya tak lagi bertengkar namun ragaku dan ragaku yang lainnyalah yang bertengkar, dan salah satu dari mereka juga harus mengalah. Heran? Jangankan kamu, aku pun juga.

Aku Gun, pria 26 tahun yang telah beristri satu. Namun aku tak hanya Gun, aku juga Gunna. Yaitu batin dan ragaku yang lainnya. Gun dan Gunna adalah aku, namun aku tak selalu Gun, dan aku tak selalu Gunna, sebab itulah kami selalu bertengkar. Biasanya jadwalku menjadi Gun mulai pukul 07.00 malam sampai pukul 07.00 pagi. Itu adalah saat di mana aku menjadi seorang Barista sekaligus menjadi seorang suami. Bagaimana dengan Gunna? Berharaplah kau akan menemukan jawabannya nanti.

Pencahayaan yang kudapati pada tempatku bekerja ini terasa amat klasik. Terkadang memiliki sisi hangat tersendiri. Suasana agak remang namun menimbulkan kesan nyaman terkadang memancing birahiku untuk berkembang. Ada satu sosok, ada satu makhluk yang mampu menarik sorotan mataku meski dalam keadaan separuh remang ini. Sebutlah dia J, marijuanaku. Keberadaan J di rumah kopi ini jauh lebih tua dariku. Aku baru resmi bekerja sebagai barista sejak 8 bulan yang lalu. Namun J, ia telah menjadi pelanggan tetap di rumah kopi ini sejak 4 tahun belakangan.

Iseng, kulirik jam dinding yang berada di ujung sana. Pukul setengah sebelas malam. Kurang lebih tiga puluh menit lagi aku sudah resmi meninggalkan tempat ini lantaran jam kerjaku sudah habis. Sosok itu belum kunjung muncul, sosok yang mungkin selalu aku tunggu. Mungkin aku berdusta pada awal cerita tadi, mungkin aku bukan merasa bosan lantaran rumah kopi sepi, mungkin karena aku belum menemukan sosok yang aku cari. J, brengsek manis yang ingin sekali kumiliki.

***

GandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang