Masih seperti biasanya, matahari memercikan cahayanya dengan penuh kepercayaan untuk menerangi dunia, bahkan bunga-bunga didepan rumah ikut menari tertiup angin segar diiringi burung-burung bernyanyi.
Masih pukul 06:00 pagi, sinar matahari sudah menembus kaca kamar ku seakan menyuruh ku untuk bangun, Gibran Sena itu nama ku, si tinggi kurus dengan rambut jambulnya, penggemar baca komik dan melukis, dan tiap hari kebiasaan dari kecil yang ditularkan nenek yaitu aku tidak pernah telewati untuk pergi kemesjid hanya untuk memasukan uang kedalam kotak amal, kata nenek itu sebagai tabungan yang nantinya bisa ku ambil diakhirat kelak. Meski disadari ini hari libur tapi tetap rutinitas pagi harus tetap dilakukan yaitu bangun pagi, mandi, berpakaian yang rapih dan langsung menuju tempat pengisian bahan bakar alias ruang makan dan setelah itu ke mesjid, sebelum Ibu gedor-gedor pintu dan mengeluarkan kata-kata andalannya "Gibran... Bangun masa kalah sama Ayam." Ya itulah Ibu tersayang ku Ibu Sri, teman rumpinya sih biasa manggil ibu "Buser" karena kalau ibu udah ngobrol walah-walah udah kaya mobil patroli gak ada hentinya dibahas abis sampai akar-akarnya. tapi apapun itu, dia adalah Ibu terbaik ku.
Lahir menjadi anak pertama dari 3 bersaudara (bisa nambah juga sih, karena ibu masih muda juga. hehe) ada untung ruginya sih, tahu sendiri anak pertama harus jadi contoh untuk adiknya, meski jujur jadi kaka dari Azam (Adik ke-1 kelas 2 SMP) dan Alif (Adik ke-2 kelas 2 SD) adalah hal yang tidak pernah ku sangka-sangka, bahkan dari muka pun tak ada kemiripan diantara kami bertiga, tapi mereka berdua sangat penurut dan pintar hampir dikelasnya Azam dan Alif terus memegang peringkat pertama, mungkin itu karena titisan dari Ayah kami, Ayah yang penuh kasirmatik, pintar, penuh kesabaran, dan satu lagi Ayah Ibnu adalah seorang Hafizul Quran, itulah kenapa Aku dan adik-adiku dididik dengan ketelatenan, meski terkadang ada sedikit kejailan kecil yang kadang dilakukan, maklum saja masih ABG alias Anak Baru Gede.
Tok... tok.. tok...Ckettt.... (Suara mengetuk pintu dan membukanya)
"Gibran.... masih aja kamu berselok dikamar, cepat keruang makan! Ayah dan adik-adikmu sudah pada menunggumu. Jangan kelamaan kalau berkaca apalagi sambil bicara-bicara sendiri lagi kaya reporter saja ngenalin ini itu." Ibu Negara sudah mengeluarkan alarmnya
"Baik Bu... bentar lagi Gibran turun." Sambut ku
"Karena alarm sudah menyala aku harus segera turun, kelamaan ngenalin sih. Hehehe" ujar dalam hati
Selang beberapa menit aku menemui mereka yang sudah menunggu ku di ruang makan.
"Kaka lama banget sih, kebiasaan buruk itu." Ucap sibungsu dengan bibir cemberut
"Ka.. lain kali jangan dibiasain berlama-lama berselok." Sambung Ayah
"Iya Yah, maaf tadi bukan lama berselok kok, Cuma iseng-iseng jadi pembawa acara." Jawab ku sambil menggaruk kepala
"Ya sudah, ayo kita sarapan, Ibu mau keburu beres-beres hari ini kan agenda pengajian mingguan dirumah kita." Sambut ibu
"Ayo Kita berdoa dulu, sekarang siapa yang bertugas memimpin doa?" Tanya Ayah
"Azam tuh Yah, Zam kamu yang bertugas pimpin doa sekarang kan?" Jawab ku
"Iya yah, sekarang giliran Azam. Ayo kita berdoa, sebelum kita sarapan mari kita berdoa. Beroda mulai....." Jawab Azam
"Selesai.. Selamat Sarapan." Sambung Azam
Kebersamaan ini masih terasa kental, penuh dengan kasih sayang dan kebahagiaan, ku sadari semua yang Allah berikan adalah hal terindah yang telah direncakan untuk ku dan keluarga ku. Sampai detik ini aku percaya Allah menyayangi diriku dan selalu ada disetiap langkah ku.
****
Setelah sarapan aku menuju mesjid untuk melakukan rutinitas ku. Jalan masih sepi karena hari ini adalah hari libur, mungkin orang-orang lebih memilih berdiam didalam rumah bersama keluarga dari pada harus memilih jalan-jalan, mengingat meski perumahan kami dekat dengan jalan raya inti, tapi perumahan kami sering dikatakan titik kemacetan terparah, bagaimana tidak hampir semua penghuni perumahan ini adalah pegawai karyawan yang tiap rumahnya memiliki mobil, tidak siang tidak malam pasti selalu ada mobil yang keluar masuk.
Sesudah sampai mesjid, ku menuju tempat wudhu dahulu untuk berwudhu, selain rutinitas biasa, sekalian ku lakukan sholat dhuha, mumpung sedang berada di mesjid.
"Wah ada Satria juga." Ujar dalam hati ku
Satria adalah temanku sejak kecil, sampai saat ini meski kami sudah kelas 3 SMK kami tetap menjaga hubungan baik, karena rumah kami hanya dipisahkan oleh 2 rumah, ayah ibu Satria sering berkunjung kerumah ku hanya meminta ayah untuk dapat mengajari Satria mengaji. Dia anak yang baik dan sholeh, anak satu-satunya yang penurut dan kutu buku. Tiada hari tanpa buku ditangan nya, sampai kaca matanya sudah sangat tebal, sempet ku bertanya tentang hobi membaca bukunya, yang selalu ku ingat jawabannya adalah "Bran kalau Mata adalah Jendela Hati, maka Bukulah Jendela Ilmu." Mantap sekali kata-katanya memang. Sampai aku sering iri dengan dia tatkala dia terus meraih kejuaraan disekolah.
"Eh.. ada Gibran, rutinitas biasa Bran?" Sapa Satria
"Eh.. Iya Tri rutinitas pagi. Hehe.. sudah selesai Dhuhanya?" Jawab ku
"Alhamdulillah sudah.. kamu sudah juga? Mau pulang bareng?" tanya Satria
"Iya sudah. Boleh, ayo kita pulang." Ajak ku
Diperjalanan banyak hal yang kita bicarakan terlebih tentang pendidikan kedepannya, Satria berkeinginan untuk melanjutkan kuliah diluar negeri, namun menggunakan jalur beasiswa. Tapi dia masih kepikiran tentang orang tuanya nanti jika tak ada dia dirumah selama proses belajar, ibunya tak mau ditinggal pergi oleh satria. Ya maklum lah anak satu-satunya dan anak yang paling dicintai oleh orang tuanya.
Aku sendiri belum ada pikiran kesana, dalam benak ku hanya ingin lulus dan bisa bekerja untuk membantu ekonomi Ayah, karena ayah sekarang hanya bekerja dirumah berjualan bunga dan hiasan taman dengan ibu. Meski ada keinginan untuk kuliah, rasanya lebih baik untuk meredam mimpi ku dan lebih membantu ayah dan ibu untuk bekerja.
Yang pasti dan selalu harus diingat pesan dari tiap kata-kata yang ayah ucapkan adalah dalam setiap hidup akan adanya pilihan, setiap hasil yang dicapai adalah buah dari pilihan yang kita ambil, kita hanya perlu meyakini bahwa ridho Allah selalu ada didalam setiap pilihan yang kita ambil, dan lakukan yang terbaik atas apa yang menjadi amanah mu, dan jangan pernah lupa untuk bersyukur. Itulah pesan ayah yang masih ku ingat sampai saat ini.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Cinta Harus Berlabuh
Fiksi RemajaKu tak pernah tahu Allah melabuhkan cinta ini pada siapa, namun yang perlu ku tahu bahwa Allah maha tahu pelabuhan cinta mana yang pantas untuk ku. Karena bukan cinta yang memilih mu, tapi Allah yang memilih mu untuk ku cintai.