Bab ini menceritakan tentang saya. Berawal dari nama lengkap saya, Dalila Addama. Secara keseluruhan, nama saya berarti 'hati yang lembut dan cantik'. Semoga saja itu benar sebuah do'a dari Ibu saya. Saya lahir di Jakarta, 23 Februari 2000 di R.S Marinir Cilandak, Jakarta Selatan. Awalnya, hampir saja saya konama Marinir oleh Ayah saya. Dikarenakan, nama rumah sakit yang bisa-bisa melahirkan sebuah nama. Untungnya, Ibu saya cekatan dan segera memberi saya nama Dalila, nama yang saya senang mendengarnya jikalau ada yang memanggilnya. Saya dilahirkan dengan operasi sesar yang hasilnya menjanjikan. Ibu melahirkan saya di usianya yang tidak lagi muda, usia 42 tahun. Dia menunggu sekitar 19 tahun, dan barulah dikaruniai saya. Alasannya bukan karena mereka mendirikan pernikahan yang terlambat, bukan. Tapi karena memang Ibu saya lambat dalam mempunyai momongan. Seperti kakak dari Ayah saya, bahkan dia menunggu 24 tahun untuk seorang putri kecil jelita. Sungguh kasian.
Di usia 4 tahun, saya bersekolah di TK yang tidak jauh dari rumah, TQIT Ar-Royyan. Saya berteman dengan banyak orang, karena memang belum terpikir untuk memilah-milih teman. Tapi, saya mempunyai sahabat karena kedekatan kita dan sering kali bermain bersama. Mira namanya. Rumah Mira sangat dekat dengan sekolah, dan tidak terhitung berapa kali saya masuk pintu rumahnya. 2 tahun bersama, saya akhirnya pisah sekolah dengan Mira. Sedih sekali rasanya.
Saya melanjutkan sekolah di SDIT Taman Ilmu, masih dekat dengan rumah. Saya menemukan sahabat baru, bahkan keluarga baru. Sahabat saya yang dapat dikatakan senasib dengan saya, sama-sama anak dari keluarga yang tidak harmonis. Dan ketika saya masih tergolong anak kecil, saya tidak tahu apa penyebab Ayah dan Ibu bertengkar. Ditambah, akhirnya Ayah tidak seatap lagi dengan kami. Sungguh menyedihkan. Tapi saya bertemu dengan para guru yang rasanya benar-benar seperti orang tua di rumah. Sangat perhatian juga sangat mendidik. Namun, ada masalah yang menyebabkan guru-guru pindah mengajar bahkan berhenti mengajar. Lalu saya terpaksa dipindahkan ke sekolah lain. 4 tahun saya belajar di sana dan 4 tahun saya mendapat peringkat pertama di kelas.
Di tahun ke-5 saya sekolah dasar, saya melanjutkan sekolah di MIT Nurul Iman yang cukup dekat dari rumah. Bertemu dengan semua wajah baru. Dan saya berteman baik dengan perempuan berwajah cantik namanya Azzahra. Kalau boleh jujur, waktu itu saya memang sengaja mendekati dia karena dia sangatlah cantik, juga putih. Ya seperti barbie sekali. Kami pun saling mengerti dan mengisi hari-hari satu sama lain. Dan ketika saya telah saling kenal dengan kepala sekolah di sini, beliau memberikan perhatiannya ke saya seperti anak kandungnya. Bayangkan saja, beliau menanyakan saya apakah saya sudah sarapan, dan akhirnya saya dibelikan berbagai macam roti dan air mineral. Hanya untuk saya. Padahal saya sedang bersama teman-teman saya yang mereka pun ada beberapa yang belum juga sarapan. Ya teman-teman yang sudah lebih dulu kenal dengan kepala sekolah. Aneh sekali ya, saya sih heran tapi senang hahaha.
Jangan mengira saya sekolah di sini tidak ada sedihnya. Banyak sekali. Dulu, teman saya menyebarkan gosip kalau saya memakai pelet hanya untuk disukai teman laki-laki saya. Kenyataannya memang banyak yang mulai mendekati saya, sampai yang bersahabatan pun memperebutkan saya yang dulu masih memakai pin bunga untuk menghiasi kerudung oranye yang polos. Kejadian itu ya tentu membuat teman saya panas, dia sangat tidak menyukai saya. Mula-mula dia teriak untuk menunjukkan kalau dia dan 1 angkatan membenci saya. Untungnya, saya punya kumpulan kecil para sahabat yang jagoan ini. Jadi saya tidak perlu khawatir dan cemas karena kehabisan teman. Beberapa teman laki-laki saya juga ada yang diam-diam tidak ikut-ikutan aksi unjuk rasa benci kepada saya. Mereka hanya tertawa melihat tingkah bodoh sang pentolan itu. Sangat lucu jika diingat-ingat. Karena sekarang saya pun berteman baik dengan dia. Teman-teman saya juga justru repot-repot memikirkan kalau kepala sekolah akan dukung saya atau sang pentolan itu ya? Karena kami sama-sama anak kesayangannya, walaupun saya baru saja masuk ke sekolah ini. Entahlah, ikut memikirkannya membuat saya terdengar bodoh.
Dan pada usia yang sekarang, saya mulai mengerti apa yang terjadi antara Ayah dan Ibu. Tapi alasan-alasan itu tidak membuat saya mengingkari perasaan ini. Tentu saja saya sangat menyayangi Ayah dan juga Ibu. Saya selalu mengharapkan kebersamaan keluarga yang tidak akan tercipta di keluarga saya. Tidak akan. Dan akhirnya, Ayah kembali lagi tidur di rumah yang sama dengan saya, pertengkaran tidak jarang terjadi. Membuat saya semakin hari semakin terganggu dengan kebisingan yang timbul di rumah. Saya memang tidak mempunyai adik kecil yang membuat rumah ramai, tapi dentuman barang-barang membuat rumah saya ramai secara alami. Teringat pernah sesekali saya tidur dengan memeluk tongkat baseball hanya karena tidak ingin melihat Ayah dipukuli oleh Ibu yang sedang terbawa emosi karena teringat masa lalu yang amat suram dan menyedihkan.