LANA keluar dari minimarket, tangannya dibebani oleh sebuah kantong plastik berisi bahan makanan untuk malam ini. Dia menikmati langkah ringannya, santai menikmati es krim pada genggaman. Sesekali berbisik, mengalun, menyanyikan lagu yang terputar pada handsfree-nya.
Langkah ringan itu berhenti tatkala seorang laki-laki menghadang, berdiri di hadapannya yang belum mengangkat wajah. Laki-laki itu tanpa persetujuannya menghujani pelukan. Kedua netra Lana sontak membulat sempurna. Es krim yang ada di tangan ikut luruh karena lepas dari genggaman. Lana kemudian hendak menjerit, tetapi ketika baru ingin mengambil napas panjang, suara laki-laki itu terdengar.
“Jangan teriak, Lana. Ini gue. Gue cuman butuh sepuluh detik pelukan lo. Tolong.”
Lana memberontak. Berusaha bebas dari pelukan itu dengan berbagai cara. Tidak peduli jika dia harus bertindak kasar, seperti memukul dada Sena dengan kepalan tangan. Tidak berhasil karena meskipun sedang lemah, Sena tetap jauh lebih kuat. Dia berhasil terus mendekap Lana dipelukan.
“Tolong, La.”
Kalimat terus meminta tolong itu menyentuh hati Lana. Dia mengurungkan niatnya untuk pergi. Sempat ingin membalas pelukan Sena karena rindunya, tetapi tangan itu berhenti di udara. Lana kembali dengan tangan kosong.
“Sena.” Lana merasa ada hawa panas menguap. Kedua keningnya berkerut-merut, sepertinya panas itu bukan dari tubuhnya. Lana mengangkat lengannya yang tak tergepit, mengawang di punggung Sena.
“Hm?” Sena melepas dekapan, memandang intens mata Lana dengan senyum pucat di bibirnya.
“Lo sakit?”
Sena terkekeh. “Cuman demam.”
“Terus ngapain di sini? Udah tau sakit malah jalan-jalan. Meluk-meluk gue lagi! Lo mau nularin demam lo ke gue?!” Tidak sampai hati sebenarnya menghardik, Lana hanya ingin menyamarkan kecanggungan.
“Tadi lagi keliling-keliling aja, tiba-tiba lihat lo. Gue lagi nggak betah di rumah.”
Lana hanya menanggapinya dalam diam. Ia sedikit berjinjit untuk meraba dahi Sena. Ketika tersentuh, ia tersentak dan menatap lekat mata yang jaraknya tidak terlalu jauh darinya. “Suhu badan lo tinggi banget. Cari mati keluar dari rumah dalam keadaan kayak gini?!” Tidak bisa Lana bayangkan Sena berkeliaran dengan nyeri di sekujur tubuh.
Sementara Sena malah mengikik. “Khawatir, La?”
Lana berdecak, membuang mata ke segala arah, mencari tempat untuk Sena beristirahat. Dia yakin, Sena bisa kehilangan kesadaran kapan saja. Sebab, berbicara sembari berdiri seperti ini bukan pilihan tepat.
“Gue bawa mobil,” cicit Sena.
“Kalau gitu masuk dan jangan ke mana-mana!”
Lana kembali ke Minimarket ‘tuk mencari segala yang mumpuni untuk mengatasi demam Sena. Awalnya Lana menyeduh teh hangat kemudian menitipnya sesaat di meja kasir lalu berjalan cepat ke rak obat, mengambil plester penurun panas dan obatnya.
Setelah bertransaksi, Lana keluar dari
minimarket berlari kecil menghampiri mobil Sena. Dari kaca transparan itu, terlihat Sena bersandar lemas di kepala kursi kemudi dan memejamkan mata erat seolah menahan sakit. Jelas saja, suhu badan yang tinggi pasti menimbulkan pening yang luar biasa. Peka akan hal itu, Lana membiarkan Sena sesaat dan dia tetap di posisinya—di luar mobil tepat depan pintu penumpang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Silence ✔ [TELAH TERBIT]
RomanceSena terseret menjadi korban dari perceraian orang tuanya. Dipaksa bertanggung jawab atas sikap pecundang yang lemah dalam berkomitmen. Sebuah prasangka di masa lalu yang belum tuntas di antara orang dewasa itu menjeratnya secara fisik dan mental. ...