|VI|

8K 554 9
                                    

KANTIN masih kosong, meskipun beberapa lapak sudah tampak dihuni pemiliknya. Sarapan yang dipilih Sena adalah mie goreng. Sejujurnya, dia tidak ingin memakan apa pun pagi ini. Tidak nafsu lebih tepatnya. Alasan ini semata-mata hanya untuk menarik Lana bersamanya.

Sementara itu, Lana tidak sudi hanya menjadi penonton bayaran. Dia juga membeli jus stroberi, ditemani novel tebal yang sudah dibaca sekian kali. Memang terkesan seperti asyik sendiri, tetapi bola mata cokelatnya tak luput melirik Sena yang tak menyadari.

"Emang di makanan lo ada apaan, sih? Serius banget."

Sena tertawa samar. Ia meletakkan sendok, mencondongkan tubuh hingga dada bidangnya tepat berbenturan dengan meja. Mata elangnya memandang dalam mata Lana. "Lagi nikmatin makan berdua sama bidadari, makanya setiap detiknya gue hitungin."

Mulut kecil Lana sontak menganga. Bukan karena tersentuh, tetapi prihatin dengan kenorakan Sena walaupun sekarang perutnya merasakan sengatan-sengatan menggelikan setengah mati karena terbawa perasaan.

Sena menatap Lana sendu, pura-pura tersakiti. Dia terdiam karena benar-benar sedang menikmati setiap detiknya dengan Lana. Di samping perasaan berbunga-bunganya, Sena juga sedang menahan rasa yang sangat tidak nyaman di perutnya.

"Lo kenapa harus jadi nakal, sih?"

Kening Sena menyatu, lantas mengangkat pandangan lurus pada lawan bicara. "Lo nanya?"

Lana letakan bukunya di atas meja sedikit menyentak. "Menurut lo?"

"Pertahanan diri," jawab Sena atas pertanyaan yang diajukan.

Lana memperbaiki posisi duduknya bak anak kecil yang siap mendengarkan dongeng sebelum tidur. Jujur dia senang karena menjadi salah satu orang yang menampung cerita dan pemikiran baik dari seorang makhluk yang diberi nama Sena. Sebab, ternyatan banyak hal menarik dari laki-laki itu.

"Nakal itu kebutuhan dan pertahanan diri. Kalau bunglon mempertahankan diri dengan cara mengubah warna kulit, gue mempertahankan diri dengan jadi nakal. Jadi, lo itu bunglon atau manusia sebenarnya?" tanyanya yang masih sedikit bingung dengan jawaban Sena.

Tawa renyah dari suara tenor itu keluar. Menjadikan sunyi kantin terisi dengan suara Sena yang menggelegar. Lana secara tidak langsung ikut tertawa sebab baru sadar akan pertanyaan konyolnya.

Sena menggeleng. Benar-benar merasa lucu, bahkan dia tidak bisa menghentikan tawanya. Hal itu membuat Lana salah tingkah, merutuk bibirnya yang berani melontarkan pertanyaan bodoh macam itu.

"Udah, sih, nggak usah ketawa mulu! Keselek baru tau rasa!" Lana menghardik karena malu.

"Gue bisa berubah jadi bunglon, kalau lo mau gue berubah jadi bunglon," tutur Sena yang kembali memicu tawa.

Lana memukul lengan Sena menggunakan buku dengan lumayan keras. "Masih dibahas aja," rutuknya.

Jari Sena melayang memberikan simbol 'peace' sebagai arti dia akan berhenti bercanda. "Tapi, gue siap jadi bunglon atau apa pun itu. Terserah lo aja anggapnya gimana."

Kalimat Sena yang terdengar serius, sejenak membuat mereka terdiam. Masing-masing menahan perasaan yang bergejolak. Terutama Lana yang diberikan kode. Sementara itu Sena mengalihkan perhatian dengan sibuk memutar-mutar mie gorengnya menggunakan garpu hingga tak lama kemudian Lana kembali membuka suara.

Your Silence ✔  [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang