[I]

22.8K 854 45
                                    

SENA menurunkan kecepatan motor yang ditunggangi begitu gerbang  sekolah terlihat telah menutup dengan sempurna. Sena menggerutu sambil memastikan jam melalui ponselnya yang tadi disimpan dalam kantong celana.

Sadar diri, dia menelan pahit saliva ketika jam ponselnya menunjukan angka delapan. Memang sudah terlalu siang, tidak salah jika gerbang sudah tertutup.  Meratapi nasib, Sena meringis saat luka di sudut bibir kembali nyeri. Dia berkaca pada spion.

"Sobek lagi, sobek lagi," ucapnya pada diri sendiri.

Luka itu didapatkan dari sang ayah karena semalam pulang dengan aroma alkohol yang kuat. Pagi tadi, alih-alih berhasil kabur, begitu kakinya menginjak
lantai luar kamar sebuah pukulan telak menghantam pipi dan bibirnya.

"Mau jadi apa kalau bisanya membangkang?! Nggak ada untungnya jadi  anak!" cerca ayahnya pagi tadi.
Senyum tipis tampak di bibir Sena yang berdarah. Dia berencana enyah,  tetapi perkataan yang keluar selanjutnya menghentikan langkahnya. "Lebih baik mati daripada merepotkan!"

Sena kemudian mengkhianati inginnya. Dia menghampiri sang ayah dan berkata, "Itu salah satu keinginan saya. Terima kasih karena Papa turut  mendoakan."

Disumpahi? Biasa. Sena gila? Jelas. Semenjak orang tuanya bercerai, hidupnya berantakan. Anak mana yang tidak hancur di tengah keluarga yang  berantakan? Sena hanya berusaha berdamai dengan kehancuran itu. Seolah tidak ada apa-apa, hidupnya baik-baik saja.

Kembali pada Sena yang sedang meratapi nasib. Mau pulang, enggan. Sekolah satu-satunya tempat untuk melarikan diri, tetapi menyelinap masuk  ke gedung sekolah dengan cara yang wajar tidak akan mungkin. Pada akhirnya Sena memutuskan untuk mengambil aksi nekat dengan memanjat pagar
setinggi dua meter itu.

Tinggi juga cuy, bisiknya dalam hati.

Meksipun begitu, Sena tetap mengambil resiko. Tidak mungkin baginya untuk melangkah mundur atau menyerah bahkan teriak meminta pertolongan. Lagi pula, memanjat gerbang adalah pengalaman baru untuknya, dan dia bersumpah bahwa ini akan menjadi pengalaman pertama dan terakhir. Tidak akan diulangi kecuali ingin mati dengan cara yang konyol.

Begitu kakinya mendarat, Sena langsung mengelus dada penuh syukur. Berusaha mengontrol lutut yang bergetar untuk berjalan santai tanpa rasa bersalah. Dia memakai ransel di pundak dan mencari permen karet favoritnya di kantong celana.

"Arsena Wikara! Masuk dari mana kamu?!"

Suara dari wali kelasnya terdengar menggelar di koridor. Bergegas Sena kabur, tidak mau lagi dibebani seratus soal matematika yang dibuat sangat niat oleh wali kelas, guru bahkan pengurus kesiswaan yang satu itu. Sialnya, dia harus mendapat wali kelas yang merangkap jabatan sebagai kesiswaan yang terkenal dengan kekejamannya dalam memberikan hukuman.

Sena menyeriangai jail melihat Pak Taufik kepayahan dalam menyamakan langkah karena postur tubuh pria itu besarnya tiga kali lipat dari tubuh Sena. Sena pun manfaatkan momentum untuk bersembunyi di tikungan, sementara Pak Taufik terus berlari lurus tanpa menengok kiri-kanan.

"Anak baru, kah?" lirih Sena saat keluar dari persembunyian. Netranya menangkap sosok perempuan asing dengan surai cokelat madu berjalan sambil sibuk membaca buku tebal.

Tiba-tiba saja sekelebat ide jail muncul di otaknya. Sen lantas mengeluarkan permen karet dari mulutnya ke tangan, lalu menyembunyikannya di balik punggung. Pura-pura memainkan ponsel sembari bersiul dengan tangannya yang lain. Begitu jarak mereka semakin terkikis, Sena beraksi.

Your Silence ✔  [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang