1

29 4 0
                                    

.
.
.
Ku beranjak melangkah sambil meneteskan air bening yang selalu aku tahan saat berada di depan mama. Tak ku sadari dia seperti itu, dia kembali melampiaskan amarahnya padaku. Ku menatapnya lekat dengan balasannya yang sangat tajam. Ku tak tega saat melihat mama menangis melihatku seperti ini. Disiksa bagaikan anak tirinya. Tak pernah berpikir bagaimana perasaan mama saat dia selalu bersifat kekanak-Kanakan. Membuat semua menjadi dingin bagaikan es yang tak akan mudah cair. Dia juga baikan api yang selalu membara.

Saat keuangan menurun dia selalu saja menyakiti seisi rumah dengan amarahnya. Marah dan melampar barang apa saja yang berada di dekatnya. Tanpa ia sadari mama selalu saja menangis dalam diam. Menyembunyikan lukanya, berpura-pura selalu terlihat baik di depan banyak orang.

Aku selalu berusah menahan semua masalahku, selalu tersenyum dalam luka batin yang selalu tertekan. Kadang ku berpikir bahwa dia sebenarnya menyayangiku atau tidak. Hidupnya selalu terobsesi dengan harta.

Oh, iya aku lupa... Kenalkan namaku "Dinalia Assyifa S (Dina/Nana)". Aku anak pertama dari dua bersaudara. Umurku masih terbilang muda karena aku masih 16 tahun, yang duduk di kelas 10. Adikku masih kecil, dia bernama "Adi Amir Achmad S (Adi)". Aku tinggal di rumah sederhana di dekat persawahan. Tapi, aku menyukainya karena damai.

Aku hidup dengan tertekan. Selalu dicekam dalam diam. Membuatku terus menangis dalam sepi. Dia selalu membuatku seperti hewan peliharaannya. Dia tak pernah memberiku sedikit kebebasan, bergaul dengan teman sebayaku. Ku selalu dicekal, diterkam diam-diam. Seakan dia akan menguburku hidup-hidup.

Ku juga selalu diancam dengan kata-kata yang mungkin akan membuat orang yang mendengarnya bisa mati seketika. Membuatku selalu frustasi. Dia tak pernah menghargai betapa lelahnya aku berusaha untuk memberinya balasan tetes keringatnya. Tapi, dia tak pernah memikirkan itu.

Ku kembali teringat dimana pada waktu ia memukuliku di depan orang banyak. Menyiksaku sampai tak berdaya.

Flashback on

Aku di jemput di sekolah lalu aku dipanggil dengan kasar saat ulangan berlangsung di kelas. Sesampai di dekat pintu, aku langsung ditampar dengan keras. Ku tak tahu apa yang ada di dalam otaknya itu.

Dia juga membawaku pulang ke rumah dengan paksa. Setiba di rumah aku langsung dilempar ke tanah. Ku dipukul tanpa henti menyisakan banyak bekas kemerahan.

Air mataku tak usah ditanya lagi, seperti air terjun yang mengalir dengan deras.

Flashback off

Walking To The FUTURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang