Chapter 1

8K 172 4
                                    

Kecupan bibir yang mendarat di pipi membuatku mematung memandangi punggungnya yang semakin menjauh, dan seketika gejolak aneh menyelimuti diriku. Jantung berdetak keras dan logika ini mulai bertarung dengan perasaan yang tidak kukenal sebelumnya.

***
Dinginnya pagi subuh yang menusuk membuatku sedikit menyesal datang terlalu awal ke sekolah. Kulangkahkan kaki menyelusuri koridor sekolah yang masih sepi, dan senyap pagi membuat derap langkah kakiku semakin jelas terdengar di sepanjang koridor. Aku suka rasa sepi ini, tanpa pemberian surat atau hadiah dan tatapan mata yang selalu menggangguku. Mereka, wanita - wanita di sekolah ini, memberikan surat karena tidak ada satu pun yang mengetahui nomor ponselku, dan kebanyakan gadis di sekolah ini menyukaiku namun mungkin tidak berani mengatakan secara langsung. Lalu akhirnya aku selalu menerima hadiah dan surat. Mereka menunjukan rasa sukanya dengan bertingkah memberi perhatian berlebihan terhadapku, namun belum ada satu pun yang kubaca sejak pertama kali aku menerima surat. Waktuku terlalu sayang untuk dibuang hanya dengan membaca surat yang bahkan aku tidak kenal siapa pengirimnya. Ini yang membuatku membiarkan dingin menyelimuti tubuhku. Aku memang tidak terlalu bisa bergaul. Karena risih akan tatapan mata dan pemberian dari para wanita di sekolah ini, aku memilih datang lebih awal agar bisa semakin tenang berkutat dengan buku-buku yang sedang kubaca.
   Langkahku mengarah ke kantin yang terletak di samping gedung sekolah.
   "Eh, Den Ali, kopi panas ekstrak krim, Den?" sapa ibu kantin yang sudah terbiasa melihat kehadiranku sepagi ini.
   "Iya, Bu" jawabku singkat sambil merogoh kantong untuk mengambil beberapa lembar uang.
   "Tunggu sebentar ya, Den" ujarnya ramah.
   Aku ingin melontarkan senyuman, tapi entah mengapa bibirku kaku. Aku hanya bisa diam, mengambil buku dari atas dan mulai ke dunia kertas yang membuatku tertarik ke dalamnya. Aku sedang membaca biografi Abraham Lincoln, yang mampu menjadi presiden pertama di Amerika Serikat. Aku kagum akan kegigihannya memperjuangkan kebebasan hidup. Mataku menyusuri baris demi baris tulisan bercetak hitam itu, hingga satu kata mampu membuat mataku berhenti sesaat... "love".
   Aku berpikir sejenak dengan seribu logika di dalam kepala, membuatku bertanya mengapa seorang sehebat Abraham Lincoln bisa membutuhkan cinta?
   "Den, ini kopi panasnya".
   Dan aku langsung menerima kopi yang sudah dibuat oleh ibu kantin.
   "Iya, makasih bu" jawabku sebelum kembali memperpanjang langkah untuk berlalu....
   Aku melintasi lagi koridor sekolah. Matahari mulai timbul sinarnya dan beberapa siswa pun sudah tiba di sekolah. Tangan kiriku yang memegang kopi sudah mulai terasa panas, kuteguk kopi itu hingga setengahnya dan aku rasa aku tidak akan meminumnya lagi. Aku langsung mencari tong sampah terdekat, tapi tidak ada tong sampah yang biasanya berada tepat di depan kelasku. Ah, aku lupa ini hari Senin. Semua tong sampah ditempatkan di dekat gerbang untuk dibuang isinya.
   Dan aku tidak bisa membuang sampah sembarangan. Maka aku melangkah cepat menuju gerbang sekolah untuk membuang sisa kopi ini... dan ...
   *BRUGH*
   Seseorang menabrakku, seketika aku merasakan cairan hangat yang tidak lain dan tidak bukan sisa kopiku.
   "Maaf, kak, maaf".
   Aku melihat bajuku yang sudah terkena kopi. Bagaimana ini? Gadis yang menabrakku langsung berlari. Bagaimana bisa ada gadis yang sudah menabrak dan tidak merasa bersalah? Kilihat sekilas punggungnya yang berlari menjauh. Larinya sangat cepat. Aku tidak melihat wajahnya tadi, tapi yang kutahu jika seseorang saat ini memakai rok biru dan rambut dikuci-kucir, pasti itu anak kelas satu yang akan mengikuti masa Orientasi siswa di sekolah ini. Dasar gadis menyebalkan.

   Bajuku benar-benar kotor dan lengket. Kenapa jadi seperti ini pagiku? Sambil memperhatikan baju yang kotor, aku melangkah ke toilet sekolah. Aku harus membersihkan ini segera. Seperti biasa, seluruh mata tertuju kepadaku dan beberapa gadis mendekat.
   "Ali, bajunya kenapa?"
   "Ali, bajunya aku bersihin ya"
   Mereka melontarkan banyak sekali pertanyaan seakan-akan aku baru mendapat masalah besar. Aku tidak bisa menjawab apa pun, hanya berlalu dan bergegas menuju wastafel dekat toilet untuk membersihkan bajuku yang mulai lengket.... dan lagi-lagi...
   *BRUGH*
   "Maaf, Kak," suara anak itu lagi, kali ini kutatap wajahnya.
   "Eg, lo, kalo jalan lihat-lihat dong, nabrak gua mulu, lo!" kataku sambil sedikit membentaknya.
   "Kakak ganteng banget"
   Seketika rasa marahku berubah menjadi heran. Kulihat matanya tidak berkedip sedikit pun menatapku. "Aneh, lo!" ketusku meninggalkan dia yang masih berdiri menatapku.
   Aku sudah sangat sering mendengar kata-kata wanita yang memujiku, namun itu hanya di belakangku, seperti bisikan atau teriakan dari jauh. Tapi gadis itu begitu terang-terangan mengatakan aku ganteng di hadapanku. Bukankah gadis zaman sekarang harusnya memiliki gengsi yang tinggi ya? Sesegera mungkin kubersihkan noda kopi di bajuku dengan air.
   "Kak, aku minta maaf ya, aku gk sengaja nabrak Kakak. Kakak yang tadi di gerbang kan, aku bantuin bersihin ya," dia mulai mau menyentuh bajuku.
   "Gak usah, Lo aneh, jauh-jauh dari gua," ketusku dan langsung meyingkirkan tangannya.
   "Ih, kenapa kak? Sensi amat sih, hehe..."
   Aku tak ingin melihat wajahnya lagi, tapi mendengar tawanya membuat mataku otomatis melihat ke arahnya. Tunggu! Dia tertawa? Bukannya merasa bersalah? Apa efek muka ini sudah semakin brutal, sehingga perempuan banyak yang tidak waras akibat melihatku? Aku hanya diam dan menganggap tidak ada yang berbicara padaku, dan akhirnya noda yang ada di bajuku agak pudar. Secepatnya aku beranjak memasuki kelas. Bergegas kurapikan sedikit kerutan di baju akibat terkena air. Ketika aku membalikkan tubuh untuk pergi, sebuah juluran tangan sudah berada tepat di hadapanku.
   "Prilly" gadis itu tersenyum sambil menjulurkan tangannya.
   Kuabaikan dia dan melangkah pergi, tapi langkahku terhenti karena gadis itu kembali menghadang.
   Tangannya kembali terjulur di hadapanku dan senyumannya menyapa mataku. Kutatap dia sekilas dan terus melangkah mengabaikannya, tapi aku kembali terhenti.
   "Nama Kakak siapa?" Juluran tangan dan senyuman itu lagi.
   Anak ini sudah benar benar gila, gerutuku. Aku memilih tetap mengabaikannya dan melangkah berlalu, tapi tertahan oleh tarikan tangannya di lenganku.
   "Aku ingin tau nama Kakak, dan aku tidak akan berhenti sampai aku tau." Gadis ini benar benar gigih.
  Biasanya gadis yang selalu kuabaikan akan takut mendekat lagi, tapi kenapa dia tidak? Kutatap matanya yang menunggu jawabanku, kulepaskan tangannya dari lenganku. "Ali" Jawabku singkat dan pergi meninggalkannya. Gadis yang aneh, sebaiknya aku jaga jarak dengan dia....
   Memasuki pelajaran pak Suwodo, aku menghentikan aktivitas membaca buku. "Selamat pagi, anak-anak," sapa guru paruh baya berambut tipis itu.
   "Pagii, Pakk!" Seru teman sekelasku. Kenapa mereka harus seberisik itu
  "Pagi, Ali" Pak Suwodo mengulang sapaannya.
   "Pagi, Pak," kataku sedikit kaget karena sapaannya kepadaku.
Tampaknya seluruh teman wanita sekelas memandangku. karena aku merasa seperti sedang di lihat oleh belasan tatapan mata.
   "Sudah, sudah ngeliat Ali-nya! Tiap pagi mata kalian hanya di Ali, sekarang liat papan tulis!"
   "Ya siapa sih pak yang gak terpesona melihat Ali? Hahaha...." lanjut para perempuanyang berada di kelas. Suasana semakin heboh dengan suara mereka yang memujiku. Aku hanya diam dan menatap Pak Suwodo datar.
   "Sudah, sudah kalian tenang semuanya! Pusing kepala saya kalau setiap pagi seperti ini," ujar Pak Suwodo sembari mengusap rambut tipisnya.
   "Buka matematika bab tujuh," lanjutnya lagi dan kembali membahas pelajaran minggu lalu.
   Aku membuka lembar demi lembar buku matematika yang sudah kukuasai seluruhnya. Mataku kembali menyusuri tulisan dan angka bercetak biru, membaca ulang beberapa rumus di sana.
   *Tok-tok*
   Telingaku menangkap suara ketukan di pintu. mataku masih tertuju di buku matematika.
   "Permisi, Pak" Mataku yang tengah asik membaca terhenti seketika mendengar suara tersebut.
   Itu suara gadis aneh itu kan? Aku tetep melihat buku.
   "Masuk," ujar Pak Suwodo ramah.
   "Pak, saya disuruh wali kelas meminta tanda tangan Bapak untuk absen resmi kelas yang baru." Aku tidak mengalihkan pandangan dari buku, namun tetap saja aku mendengar suaranya.
   "Ya sudah, mana absennya," kata Pak Suwodo.
Aku kembali tidak peduli dengan sekitarku dan fokus pada pelajaran.
"Kak Ali!!" teriak gadis itu yang membuat seisi kelas melihat kepadaku. Saat dialihkan pandangan ke arahnya, kutatap dia datar, dia tersenyum dan melambaikan tangan. Apa maksud gadis ini?,
   "Wuih, Ali pesonanya parah ya. Bahkan anak kelas satu sudah ada yang menggilainya," seru fartan, teman sebangku sekaligus sahabat dekatku.
   Kualihkan kembali pandangan ke buku matematika, mengabaikan segala kehebohan mereka dan tentu saja mengabaikan gadis aneh itu.
   "Siapa nama kamu?" tanya Pak Suwodo.
   "Prilly, Pak" jawab gadis itu.
   "Kalo saya bertanya, lihat ke arah saya dong," seru Pak Suwodo.
  Dia tidak melihat Pak Suwodo? Lalu? Kulirik sekitar gadis itu, dia langsung melambaikan tangannya ke arahku. Dan aku kembali melihat bukuku.
  "Prilly!" panggil Pak Suwodo lagi.
   "Maaf, Pak, habis Kak Ali ganteng," ceplosnya dan langsung satu kelas tertawa. Gadis ini mudah sekali mengatakan hal itu di depan orang banyak, berisik sekali kelas jadinya.
  "Anak kelas satu yang berani ya," kata Pak Suwodo heran.
  "Saya hanya berkata jujur Pak," lanjut gadis itu, dan kembali membuat kelas terbahak dengan perkataannya.
   "Ya sudah, Prilly, ini absennya. kamu boleh kembali." dan ketenangan pun ikut kembali.
   Seusai jam sekolah, aku melangkah ke luar kelas sambil tetap membaca buku. judulnya logika dunia. Tetapi saat mataku menyusuri beberapa kata yang terdapat pada buku itu, kembali pikiranku bertanya tentang satu kalimat yang menurutku tidak ada logikanya.
   "World need love."
   Saat aku masih berpikir tentang kalimat tersebut, mataku menatap sepasang sepatu tepat di depanku. Aku ingin melihat siapa yang berada di depanku itu, ternyata dia gadis bernama Prilly.
   *cup*
   Dia mengecup pipiku cepat.
   "Maaf, Kak," ujarnya singkat dan berlari cepat. Apa itu tadi? Bekas basah bibirnya masih menapak jelas di pipiku. Aku terdiam menatap punggungnya yang semakin menjauh. Banyak gadis yang memujaku, menyukaiku, bahkan mencari tahu apa pun tentangku. Tapi kecupan ini? Belum pernah ada yang melakukannya. Aneh, perlahan jantungku berdetak lebih cepat.... Aku mengusap pipi. Aku tidak mau larut dengan perasaan aneh ini. Aku harus bergegas pulang dan menetralkan detak jantung ini, dan hariku ditutup dengan perasaan yang sangat asing.

AJARI AKU MENGENAL DUNIAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang