TIGA

41 5 10
                                        

Angin yang berembus terasa dingin, merayap di tengkuk sampai meremangkan anak rambut. Gisha melirik ragu, buliran keringat di dahinya mengintip sedikit dari balik pori-pori.

Matii! Mati gue!

"Sya?"

Ngeles, Sya, ngeles! Apa, kek, salto, jungkir balik, senam ibu hamil! Buruan!!

Niko makin memandang curiga. "Itu obat buat kuping budek, ya?"

"Hah?" Cewek itu menatap keki.

Cowok dengan jas lab putih bersih itu hanya angkat bahu. "Bener, toh."

"Maksudnya ini tablet disumpelin ke kuping gue gitu?" Gisha berkacak pinggang. "Makin budek, dong!"

"Terus?"

Lagi, tangan Gisha bergetar hebat. Sendi-sendi kakinya seakan kaku. Ototnya mengejang kuat, mengikat erat tulang-tulang yang ada. Mungkin saja itu adalah gejala kejang akut stadium empat.

"Hmm ... anu, Nik ...."

"Anu?"

"Gue ... itu ...."

"Anu lo kenapa?"

PLAK.

Jitakan telak mendarat di dahi Niko. Dengan wajah keki, cowok itu mengusap kepalanya kasar. "Apaan, sih? Nggak jelas banget."

"Duh, pokoknya lo janji nggak bilang-bilang dulu, deh!"

"Bilang-bilang?" Alis Niko terangkat sebelah. "Ke siapa?"

Gisha menghela napas panjang. Bola matanya berputar malas. "Ke siapa, kek, ke semua orang, ibu kantin, kucing buduk, ayam encok, emang harus banget gue jelasin satu-satu?"

"Iya, deh," sahut cowok itu pasrah. "Jadi?"

Untuk kesekian kalinya Gisha menatap Niko ragu. Pikirannya berkecamuk. Jujur? Masalah! Bohong? Masalah banget!

"Hmm ... sebenernya gue sendiri nggak tahu ini obat apaan."

"Hah?" Dengan cepat Niko merampas tabung kecil di genggaman Raisha. "Nyolong dari lab, ya?!"

"Hah?" Gisha balas melotot. "Itu obat gue! Nyokap yang ngasih, tapi dia nggak bilang obat apaan. Jangan teriakin gue maling, dong!"

Cowok di hadapan Gisha tertegun. Untuk beberapa detik ekspresinya tidak berubah. "Lo ... sakit?"

Eh? Mampus! Bohongin calon suami! Dosa besarrr!

"Duh ... itu kayaknya cuma vitamin, deh."

Tengkorak putih di depan Gisha bergerak pelan. Niko berjalan perlahan menyusuri koridor lab yang sunyi. Napas beratnya sesekali terdengar. Tabung berisi obat misterius itu pun masih digenggamnya kuat-kuat.

Gue tahu lo bohong. Tapi gue nggak tahu di bagian mana tepatnya.

"Obatnya boleh gue uji di lab? Tenang aja, pulang sekolah gue balikin, kok."

"Eh?" Gisha buru-buru mengejar Niko yang hampir mencapai pintu lab. Rambut buntut kudanya bergoncang-goncang. Rok selututnya pun terkibas angin sebentar. "Itu cuma vitamin kok, Nik."

"Bohong."

Gisha mematung. Dadanya langsung terasa sesak. "Lo ... tahu?"

"Buat apa lo jauh-jauh ke Singapura cuma untuk beli vitamin?"

HAH?

"Jadi kali ini lo mau apa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi kali ini lo mau apa?"

Empat lelaki berbadan kurus tertawa gamang. Satu yang paling mendominasi sesekali tersenyum sinis. Potongan rambut cepak, postur tubuh seperti tiang listrik, kalau saja matanya tidak cekung dan badannya sedikit berisi, mungkin wajahnya bisa diacungi empat jempol, alias cakep abis!

"Gue cuma mau ngajak lo balikan, kok. Gue tahu lo nggak bisa lupain gue."

Idih! Cewek yang bersandar di gerbang belakang sekolah mendelik jijik. "Plis jangan mengacau di area sekolah gue."

"Sip," kata cowok tinggi itu tersenyum gamang. "Sesuai dugaan gue, Miss. Perfectionist emang nggak pernah berubah. Selalu berdedikasi untuk kesejahteraan sekolahnya."

Cewek bersurai panjang itu masih memandang jijik. "Gue udah turutin perintah lo semua. Sekarang apa lagi? Gue udah nggak sudi berurusan sama geng sampah kayak kalian."

Cowok tadi makin tergelak mengerikan. Wajahnya ia dekatkan sampai hampir mengenai wajah cewek di depannya. "Menarik. Gue curiga sekarang lo menggaet cowok alim calon pemimpin yang juga sama berdedikasinya seperti elo."

"Apa urusannya?"

"Yah." Cowok itu bangkit, melipat tangannya di dada. "Omongan lo makin sok aja. Padahal dulunya junkies. Eh, sekarang juga masih, sih."

Cewek itu semakin keki. Tangannya mengepal kuat. "Cepet bilang kalian mau apa, hah? Gue nggak ada waktu main-main."

"Oke, oke, Nona yang nggak sabaran," ujar cowok itu seraya membalik badan. "Kalo lo nggak mau jadi pacar gue lagi ...."

"Apa?"

"Bawa cowok baru lo gabung ke geng gue."

"Fix," sahut cewek itu bangkit dari sandarannya. "Gue pergi."

"Gisha Juliashavina."

Cewek bersurai panjang itu menghentikan langkahnya.

"Tomboy sih, tapi boleh juga."

Bel tanda pulang sekolah berdentang beberapa kali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Bel tanda pulang sekolah berdentang beberapa kali. Langkah kaki pecandu suasana rumah bersahutan memenuhi rongga telinga Gisha. Cewek itu menyampirkan tasnya di bahu kanan. Langkahnya tampak terseok lemah. Sesekali napasnya juga terdengar berat. Koridor di depan kelasnya tampak panjang seakan tak berujung. Dari belakang, seseorang menepuk pundaknya pelan.

"Sesuai janji, gue balikin sepulang sekolah."

Gisha menoleh. Tahu-tahu saja tangannya sudah tersumpal tabung kecil berisi butiran tablet.

"Niko?" Cewek itu menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba gatal. "Eh, bener kan ini cuma vitamin?"

Bukannya menjawab, Niko malah melenggang pergi. Ekspresinya dingin dan datar, seperti bukan Niko yang biasanya. Gisha hanya memandang nanar. Dalam hati bertanya-tanya, seberapa parah kebohongan yang telah dibuatnya?

"Freak!"

"Freak!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perfectly ImperfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang