Senin pagi tampak cerah. Burung-burung kecil berkicau di balkon depan kamar Gisha. Sinar hangat mengintip dari sela-sela gorden yang tersibak karena angin, membuat mata Gisha bergerak-gerak kecil merasakan sensasi hangatnya mentari pagi.
Inilah hari di mana anak-anak sekolahan malas untuk berangkat menimba ilmu. Kalau saja upacara hari senin itu hanya sekadar menaikkan bendera sambil menyanyikan lagu kebangsaan, Gisha tidak akan repot-repot memberi sumpah serapah yang, sialnya, membuat kerongkongan cewek itu kerontang seketika.
"Gue harus mencantumkan "Kepala Sekolah" di list cita-cita gue," katanya begitu membayangkan pidato kepala sekolah yang terdiri dari berbelas-belas lembar folio, ditambah jilid dan daftar pustaka.
Serius.
Gisha mengulet sebentar. Sebelum selimut tebalnya sempat menutup wajah, cahaya matahari berhasil menerobos dan menancap tepat di bola mata cewek itu, membuatnya tidak berselera lagi untuk melanjutkan tidurnya.
"Nice try, sun, nice try."
Dengan berat ia beranjak dari tempat tidur. Entah apa yang dilakukan, hanya butuh waktu sepuluh menit bagi cewek itu untuk mandi. Seragam kucal, tatanan rambut buntut kuda, buku-buku tipis yang dimasukkannya asal ke dalam tas, Gisha merasa puas saat mematut dirinya di cermin.
"Baju disetrika itu hanya untuk orang lemah."
Kakinya yang telah dibalut kaos kaki putih bersih, melangkah turun. Di antara semua barang dekil yang dimiliki Gisha, hanya kaos kakinya yang bersih bersinar. Usut punya usut, cewek itu katanya tidak ingin menambah dosa karena mengganggu ibadah orang lain lantaran kakinya bau setengah mati.
Jam besar di ruang makan menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas. Dengan gontai Gisha menyambut roti tawar di atas meja. Seperti biasa, di meja itu selalu hanya ada dirinya. Raisha memang tidak sudi makan dengan adiknya itu. Lagi pun cewek itu memang menyukai lingkungan sekolah di pagi hari, di mana suasananya masih sangat asri, makmur, sentosa, sejahtera, bahagia selama-lamanya.
Atau memang ada maksud lain?
SRAK.
Terdengar langkah kaki terseok di beranda rumah itu. Gisha menoleh bingung. Kunyahan di mulutnya seketika berhenti. Seingatnya, sopir yang biasa mengantar jemput Raisha ke sekolah akan langsung pulang ke rumahnya setelah mengembalikan mobil ke dalam garasi. Dan, harusnya, sopir itu sudah pulang sejak setengah tujuh pagi--mengingat jarak rumah ke sekolah hanya butuh lima belas menit, dan Gisha berani bertaruh, kakaknya pasti sudah berangkat sejak pukul enam pagi.
SRAK.
Gisha merasa tak berselera lagi untuk melahap roti tawarnya. Dengan langkah pongah, cewek itu memberanikan diri mengintip dari lubang kunci. Sesosok pria berbadan tegap tampak mondar-mandir di beranda rumah Gisha. Yang ia tahu, sopirnya itu berpostur seperti manekin tengkorak yang ada di lab biologi. Jadi bisa dipastikan bahwa orang itu adalah orang asing.
Penguntit! Ada fans yang menguntit gue!
Meski pemegang sabuk merah dalam karate, Gisha tetap merasa ketar-ketir. Pasalnya, cewek itu memang belum pernah berurusan dengan para penjahat yang memang harus diberi satu-dua jurus agar jera.
Akhirnya, setelah berpikir matang-matang mengenai baik-buruknya memberi jurus pada orang jahat, sekaligus memikirkan nasib kesejahteraan keluarga si penjahat itu,--kalau-kalau ia menghajarnya sampai mati--Gisha memasang kuda-kuda terbaiknya seraya membuka pintu rumahnya pelan-pelan.
Penjahat itu menoleh ke arahnya. Tanpa pikir panjang, Gisha melepaskan tendangan pamungkasnya pada lelaki misterius itu.
Peduli setan sama kesejahteraan keluarganya! Kesejahteraan hidup gue jauh lebih penting!
![](https://img.wattpad.com/cover/107087624-288-k975342.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfectly Imperfect
Fiksi RemajaGisha muak dengan Raisha, kakak kembarnya yang perfeksionis dan angkuh. Selalu juara olimpiade, populer, disegani banyak orang, disayangi Mama Papa, Gisha butuh itu semua! Apalagi Niko, ketua OSIS yang begitu ditaksirnya juga menaruh hati pada Raish...