Hey Refi, kutulis tulisan ini di ruangan dengan tembok putih berlampukan cerah menerangiku yang duduk menghadap sebuah laptop yang juga putih. Aku duduk sambil memikirkan dirimu yang sedang tersenyum dengan kerudung dari sorban bercorak kecoklatan. Yang kemudian beberapa bayangan wajahmu yang lain dengan pakaian berbeda datang memenuhi pikiranku malam ini, satu persatu, menjadikanmu jadi banyak di kepala.
Sedang apa kamu sekarang, Fi? Sudah tidur? Atau baru selesai cuci muka dengan bioderma? Ataukah sedang asyik memainkan smartphone untuk melihat timeline di instagram?
Aku menuliskan ini, dengan tangan yang sedang digerakan oleh hati untuk menyusun kata, memilih diksi seolah sedang ingin memeluk dirimu dari jauh dengan sederhana, dengan kata-kata. Bila ini rasanya seolah berlebihan, mohon untuk dianggap wajar, sebab rindu ini, Fi, diam-diam sudah menjalar ke semua anggota badan. Dia masuk, untuk berkonspirasi menjadi kesatuan untuk membuat tulisan ini.
Aku ingin menulis ini perlahan-lahan, Fi. Seperti malam ini yang sedang bergulir bersama gemerlapnya bintang. Ada langit yang tak bisa kulihat di sini, karena aku sedang berada di dalam ruangan. Tapi aku tahu, langit malam ini sedang cerah, angkasanya sedang indah. Kutahu itu ketika tadi sebelum menulis ini, aku keluar untuk menatapnya sebentar membuatku jadi ingin melihat indahnya malam ini dengan kamu di sampingku. Indahnya malam, seperti halnya dirimu, yang malam ini tak bisa aku lihat secara langsung namun aku tahu, kamu di sana sedang indah, memesona.
Sementara aku menulis ini, di ruang sebelah ada yang sedang berdiskusi sambil meneyeruput kopi, ada yang sedang membuat laporan, satu orang masuk ke dalam wc untuk membuang sesuatu yang tak penting, juga ada Farhan dengan handphonenya yang baru sedang menelpon-yang entah itu adalah siapa.
Refi tercinta, aku berharap malam ini kamu merasa baik-baik saja kemudian bisa menjadi lebih baik. Bila tadi merasa pusing karena perjalanan, mudah-mudahan bisa mereda dengan tidur yang nyenyak dan berkualitas ditambah dengan esok pagi dengan suasana Bandung yang bagus. Juga air di kosanmu yang menyegarkan ketika itu dipakai untuk mengguyur badan ketika wudlu atau mandi. Oh, wudu, aku jadi ingin mengimamimu.
Refi, kamu tahu kenapa aku menulis ini? Padahal aku sebenarnya bisa membuat video, voicenote atau bahkan meneleponmu? Aku bisa saja begitu, tanpa harus takut habis kuota tanpa harus takut kehabisan kata. Namun, aku merasa dengan menulis di sini seolah aku bisa mencurahkan dengan jujur dan bisa menghempaskan segalanya. Yang kemudian siapa tahu dengan kusimpan jejak di sini, ini bisa menjadi abadi. Tak apa kan bila aku berharap untuk hal ini menjadi sesuatu yang bisa ada hingga kapan saja? Sebagaimana kita berharap untuk banyak hal kecil dan sederhana yang bisa memeriahkan dan menambah baik hari-hari kita. Atau layaknya aku berharap untuk kita yang bisa hidup bersama selamanya.
Sebentar, Fi, aku mau diam sejenak. Aku jadi makin terbayang kamu. Jadi gimana ya... aku jadi makin rindu begitu. Dan, ya, aku juga jadi ingat dengan saat kemarin kamu merasa penasaran mengapa aku menyukaimu dan menyayangimu dengan terlalu.
Jadi begini, Fi, aku mau bilang bahwa bila aku bilang bahwa kamu cantik, maka kamu harus tahu bahwa itu adalah sebuah kenyataan yang tak sedang kubuat-buat. Sehingga bila aku menyukaimu, atau sesiapa saja suka dengan bagaimana bagusnya senyummu, itu adalah sesuatu yang wajar, sesuatu yang bisa disetujui bersama.
Begitulah aku ketika pertama kali menemukanmu, yaitu di bagian bumi yang sejuk saat itu. Dengan sentuhan matahari dan hangat agak condong sedikit menyengat, aku melihatmu yang saat itu masih terlalu muda untuk kenal dengan cinta. Aku juga saat itu lebih muda dari ini, dengan sedikit pengalaman, dengan lebih banyak ketidakmampuan. Saat itu aku melihatmu sebagai sosok perempuan yang cantik yang sama halnya sebagaimana aku melihat perempuan cantik lainnya. Ya, begitu. Biasa saja. Sepertimu padaku, aku tak jatuh cinta padamu pada pandangan yang pertama. Jadi, kukira, cantik bukanlah hal utama mengapa aku menyangimu Fi, karena nyatanya banyak yang cantik namun aku malah lebih ingin kamu.
Ada pesan chat masuk melalui aplikasi line. Ada kenangan masuk juga melalui jalur lain: yaitu saat kita berdua untuk pertama kalinya berjalan bersama dan bersua. Dengan suasana kebun mawar dengan bunganya yang cantik. Aku tahu bagaimana caramu bicara juga caramu untuk tertawa. Ah, ya itu, satu hal lagi kutemukan mengapa aku menyayangimu: senyummu itu menyenangkan, senyummu menenangkan. Aku sudah sering bilang ini, kan?
Bila kemudian, aku adalah lelaki yang ketika malam larut malah sulit tidur dan ketika bertemu denganmu aku malah menjadi tenang-bahkan malah ngantuk, maka mungkin itulah dirimu. Menenangkan dan bisa membuatku bisa merasa bahwa aku baik-baik saja, bahwa banyak hal di dunia ini, oleh banyak sesuatu yang jahat, banyak sesuatu yang harus dikerjakan dan diselesaikan, itu adalah seolah bisa menjadi lebih mudah ketika aku ada didekatmu. Ya, kutemukan kenyamanan ketika denganmu, yang itu adalah sesuatu yang tak kudapatkan dengan mudah. Yang itu tak bisa aku capai dengan siapa saja. Kamu adalah kenyamanan bagiku, muda-mudahan kamu juga merasa begitu denganku.
Refi yang kucinta, yang selalu kucinta, bila aku mengingat kebahagiaan apa yang bisa aku ingat dari banyak kebahagiaan yang kudapat. Aku akan ingat dengan perasaan saat kita berdua di atas kereta pada suatu pagi menjelang siang itu. Kereta menuju Jakarta di kelas eksekutif dengan kamu ada di sebelahku. Saat itu, aku melihatmu dari jarak yang sangat dekat dengan kamu yang mengulum senyum dengan sedikit malu-malu, dan secara tiba-tiba, aku jadi merasa ada sesuatu masuk ke dalam dada menggerakan hati dan rasa bahagia yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku ingat hari itu, aku ingat rasanya, dan itu menyenangkan. Maka bila aku menyayangimu, barangkali kamu harus tahu bahwa kamu adalah bahagiaku yang paling mewah, yang tiada duanya. Bahagia, yang bahkan ketika aku makan bersamamu, dengan apa saja, aku merasa ada kenikmatan tersendiri, ada kebahagian di sana.
Aku punya cukup banyak kenalan perempuan, Fi, namun rasa-rasanya, kamu adalah satu dari sekian banyak yang bisa aku ajak bercanda-yang bisa diajak tertawa bersama. Jujur saja, Fi, aku sangat jatuh cinta padamu yaitu bukan saat kamu berada duduk di jok motorku atau saat aku menggenggam tanganmu. Aku jatuh cinta padamu, saat aku lebih mengenal bagaimana karaktermu. Yang ketika aku bercanda, kamu bisa juga. Yang ketika aku melakukan sesuatu, kamu menghargainya dengan setara. Yang ketika aku salah kamu bisa memakluminya, atau bahkan ketika aku putus asa kamu bisa membantuku untuk kembali semangat. Bila ada hal yang kurang dari dirimu, Fi, maka aku akan merasa maklum dengan hal itu, karena aku tahu kita adalah sama-sama manusia.
Refi sayang, aku ingin menulis banyak hal tentangmu di sini sebanyak-banyaknya. Tapi aku juga sudah janji bahwa ketika bertemu kita akan berbincang banyak juga. Jadi, terima kasih bila kamu sudah bersedia untuk membaca tulisan ini walau ini sederhana.
Jadi, inilah tulisannya Fi, di malam yang dingin yang aku sedang merindukanmu. Terima kasih untuk banyak hal yang membuat hariku semakin indah dan semakin berwarna. Aku sayang kamu. Pokoknya aku sayang kamu, bila kamu masih panasaran mengapa aku sayang padamu, nanti kita bisa berbicara empat mata, sambil makan solero, atau coklat, atau apa saja dengan sesuatu yang kamu mau.
Sekarang malam sudah makin larut, orang-orang sudah mulai mau tidur, sudah ada yang mau pulang. Begitu juga aku, bersama rindu, dan tulisan di sini, aku mau istirahat. Sampai jumpa di dunia nyata ya. Sekali lagi: aku sayang kamu... terima kasih.
YOU ARE READING
Dear Refi Meidy
PoetryBila aku rindu, dan tak bisa menemuimu, maka aku menulis di sini. Anggap saja sebagai pengganti, anggap saja sebagai terapi.