2

2 1 0
                                    

***
“Selamat pagi, Aleece!” kata Eneas.
“pagi juga!” kataku sambil melemparkan senyum.
“kau sudah sarapan atau belum? Mau aku belikan makanan?” kata Benedicte.
“tidak perlu, Benedicte. Aku sudah kenyang! Ehehehe” kataku.
“eh? Baiklah! Kalau kau lapar lagi, katakan saja, ya!” kata Benedicte. Aku menganggukan kepalaku untuk mengiyakan.
“by the way, aku ingin tanya sesuatu pada kalian, boleh kan?” kataku.
“mau tanya apa?” kata Erass.
“dia... siapa namanya?” kataku sambil menunjuk si laki-laki pendiam dan misterius itu. Mereka melihat ke arah orang yang aku tunjuk, lalu melihat ke arahku lagi.
“ahh, itu Dacio. Memangnya kenapa dengan dia?” kata Benedicte dengan ekspresi jealous miliknya yang menurutku sangatlah lucu.
“ah? Tidak! Hei, Ben, kau cemburu, hm? Katakan saja! Ekspresimu lucu sekali! Utututu!” kataku yang sambil mencubit pipinya Benedicte.
“tidak! Kalau kau mau bersamanya juga tidak apa-apa, aku kan bukan siapa-siapa dirimu!” kata Benedicte.
“uh, baper mode on!” kataku yang menjahilinya.
***
Dari semenjak aku mengetahui tentang lelaki yang berpawakan misterius itu, aku jadi lumayan dekat dengannya. Dia menyukai film-film horror. Bahkan, setiap hari Sabtu, aku, Eneas, Erass, Benedicte, juga Addison pergi ke rumah Dacio dan menonton bersama. Semua teman-teman Addison sangat akrab denganku. Tak jarang Addison tidak di anggap saat acara nonton bersama kami berlangsung. Sedangkan, hampir tidak ada kata damai di antara aku dan Addison. Terkadang filmnya tak tertonton karena pertengkaran aku dan Addison. Ke empat cowok tampan itu mungkin sudah muak untuk memisahkan kami agar tak bertengkar.
“arrgghhh...i’m late!” kataku setelah melihat jam tangan digital berwarna black-sapphire blue dope milikku yang di berikan padaku dari temanku di kampusku sebelumnya sebagai kenang-kenangan. Aku setengah berlari setelah melihat angka yang menunjukkan menit 00 menjadi 02.
Salahku bangun terlambat. Aku baru ingat kalau hal yang membuatku jadi tambah terlambat adalah lift yang berada di lantai yang jauh dari tempat parkir. Ah, bodohnya aku.
TING! Bel lift berbunyi. Aku langsung memasuki liftnya tanpa melihat lantai berapa yang selanjutnya di datangi.
TING! Bel lift berbunyi lagi.
“what? Basement?” kataku saat melihat layar yang menunjukkan lantai. Aku hanya bisa pasrah. Siap-siap di marahi Dosen. Dan siapa yang ada di depan lift? Ya, itu adalah Addison, si lelaki tengil.
Mendadak seperti ada suara jangkrik di dalam lift. Si cowok tengil ini mendadak menjadi seorang yang pendiam. Apa yang membuatnya jadi pendiam? Tapi, untuk apa aku peduli padanya?
‘ada apa dengannya hari ini? Kenapa menjadi pendiam sekali? Biasanya kan dia menggangguku sampai aku marah padanya.. he is very calm today! Very cute, right? What? Hell no! Dia ga lucu sama sekali! Lucuan juga Eneas sama Erass’ pikiranku terus berbicara membuat ekspresiku berubah-ubah.
“what happen to you?” kata Benedicte yang membuatku terkejut dan menutup seluruh wajahku.
“ahh!! No, nothing! Ada apa, Ben?” kataku yang masih menutup wajahku.
“hey, kenapa kau? Buka! Buka!” kata Benedicte sambil menarik tanganku.
“malu tau! Ekspresi aku jelek banget tadi...” kataku.
“mau gimanapun ekspresi kamu, kamu di mata aku tetaplah Aleece ku yang cantik!” katanya. Aku diam sejenak dan lalu tertawa besar.
“hahahahaha!”
“hey. Kenapa kamu? Apa kata-kataku salah? Haha!” kata Benedicte sambil ikut tertawa.
“kau sangat pintar gombal. Hahaha!” kataku.
“gombal? Aku tidak gombal. Memang kau cantik, kok!” katanya.
“terima kasih, ya?” kataku lagi.
“aleece?” panggilnya.
“hmm?” kataku sambil menoleh untuk menatapnya
“aku suka sama kamu!” kata Benedicte dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Kata-kata yang barusan ia katakan membuatku sangat terkejut.
“a-apa? Kau suka padaku?” kataku. Dia menganggukan kepalanya.
“iya. Kau mau kan jadi kekasihku?” kata Benedicte.
“eum... ah... aduh... bagaimana ya?” kataku yang sangat bingung.
“kamu ga suka ya sama aku? No problem kok! Aku tau aku ini playboy. Aku mau ke perpus dulu ya?” katanya yang langsung pergi meninggalkan aku di kelas.
‘aku kan tidak berkata aku menolaknya karena dia playboy. Ya sudahlah, aku biarkan saja dulu. Mungkin dia juga butuh waktu untuk sendiri’
***
“Benedicte menyatakan cinta pada Aleece?” kata Addison yang terlihat sangat terkejut. Semua temannya melihat dirinya dengan keheranan. ‘sejak kapan seorang Addison begitu peduli dengan gadis bernama Aleece itu?’
“Addison, sejak kapan kau peduli tentang...” kata Erass yang terpotong.
“tidak! Aku tak peduli pada Aleece! Maksudku, Benedict menyatakan cinta ke banyak wanita, iya kan? Mau berapa banyak lagi wanita yang di kecewakan oleh anak itu?” kata Addison yang terlihat sekali kalau dia salah tingkah.
“Addison, kau menyukai Aleece, iya kan?” kata Eneas serius.
“tidak!” kata Addison.
“kau tak bisa bohong kepada kami, Add. Terlihat sekali kalau kamu cemburu saat mendengar aku mengatakan Ben menyatakan cinta pada Aleece. Kami tahu itu! Kamu adalah sahabat kami sejak kanak-kanak, jadi kami tahu siapa kamu.” Kata Erass.
“iya, aku setuju padanya!” kata Dacio yang di ikuti anggukan dari Eneas. “aku bisa membaca dari matamu kalau kau menyukai Aleece!” kata Dacio lagi. Kalau seperti ini, Addison merasa terpojok dan tak dapat berbohong pada teman-temannya lagi.
“baiklah! Aku akan mengakui sesuatu. Aku sebenarnya menyukai Aleece. Aku cemburu karena kalian dekat sekali dengannya, terutama Ben. Aku menyukai Aleece sejak aku melihat kalau dia satu-satunya yang berbeda saat berada di dekatku. Aleece tak seperti gadis lain yang selalu harus aku hindari karena mereka menjadikan aku sebagai idola mereka. Yea, she is different, very different!” kata Addison.
“kalau begitu katakan saja padanya kalau kau menyukainya, Add!” kata Benedicte yang tiba-tiba saja datang ke hadapan empat kawannya itu.
“Ben?”
“Kelihatannya ada yang menyukaimu juga, Add!” kata Benedicte yang sambil menepuk pundak kawannya itu.
“siapa? Aleece?” kata Addison.
“tentu saja! Dia tidak menerimaku. Dia sedang memikirkan seseorang tadi. Dan aku sangat yakin kalau dia memikirkan dirimu, Add!” kata Benedicte.
“Ben, kau mempunyai hati yang kuat ternyata!” kata Eneas.
“tentu saja! Mana ada seorang playboy itu lemah?” kata Benedicte.
PLETAAKK!!!
“aduh, sakit tau!” jerit Benedicte saat seseorang menyentil kepalanya.
“kau ini! Masih saja bangga dengan predikat playboy itu?” kata Dacio, si pelaku utama yang menyentil kepala Benedicte.
“iya, iya, maaf!” kata Benedicte.
***

popular loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang