10 Januari 2011
Kau kira hanya kau yang kehilangan?
Dasar manusia tolol. Kau tolol.***
"CUL, boleh ngomong?" setelah menimbang beberapa kali Rarae akhirnya memutuskan untuk bicara dengan Acul. Pasalnya, kali ini Acul bukan hanya mengiriminya susu strawberry-yang rasanya yaiks- tapi ia juga menyertakan balon warna-warni jumbo percis kayak di film Thailand yang judulnya demi Tuhan Rarae lupa. Jadi menurutnya, mungkin ini waktu yang tepat untuk jujur kalau sebenernya Rarae risih dengan hal-hal itu.Apalagi balon!
Dari kecil Rarae takut balon. Alasannya klasik sih, waktu itu tetangganya dengan kurang ajar meletuskan balon tepat di depan wajah Rarae. Jadi, sampai sekarang Rarae masih sangat terganggu dengan hal itu.
Acul yang tadinya menunduk dalam, sedikit-sedikit melirik kearah Rarae yang berdiri di hadapannya. "Ke-kenapa?" ucapnya terbata. Tangannya bertaut satu sama lain. Rarae jadi deg-degan sendiri. Ini mungkin pertama kalinya Rarae mengajak Acul bicara.
"Err... Gu-gue sebenernya agak terganggu dengan apa yang sering lo kasih ke gue. Mungkin lo enggak tahu sih, tapi gue gak suka susu strawberry dan balon," Rarae mengambil napas sebelum melanjutkan lagi, "Itu...itu masalah surat itu..." Rarae malah gagap, "Gue enggak terlalu suka. Hehe." ia menggaruk-garuk belakang kepalanya sambil terkekeh salah tingkah. Acul yang duduk dihadapannya membenarkan kacamatanya. Tampaknya ia susah payah untuk mengatur napasnya sendiri. "So-sori Rae."
Cuman itu.
Rarae menghela napas. "Enggak apa-apa, Cul. Gue cuman pingin jujur aja, sih," ia terkekeh lagi. "Yaudah gue duluan ya."
"Rae!" Ailsha, teman sebangku gadis pemilik netra coklat terang itu memanggilnya. Ailsha terbengong sebentar melihat pemandangan balon besar di hadapannya. Tapi sedetik kemudian ia menyadari, pasti Acul-lah pelakunya. "Ai!" Rarae menghampiri sahabatnya itu. Ia menggembungkan pipinya sambil menunjuk kesal balon-balon didepannya, mengadu. "Buat lo aja."
Ailsha mengerutkan dahinya. "Ogah! Mau gue apain?" katanya sambil menaruh tas ransel ke bangku dan mulai mengeluarkan buku. "Lo udah biologi? Liat dong," meski gadis berambut sebahu itu tahu bahwa Rae kemungkinan besar akan menggeleng, ia tetap bertanya. Formalitas aja.
Rarae menggeleng. Benar 'kan.
"Jam terakhir ini 'kan?" Rae mengedikkan bahunya tidak peduli, "Ai! Gimana gue mau duduk kalau ada balon?" Rarae kini monyong-monyong. Abisan Ailsha ngeselin parah. Ia padahal tahu kalau Rarae takut balon, tapi enggak ada niat banget cewek itu mau nyingkirin balon-balon ini.
"Wah ada balon!" teriak senang Rikat. Entah bagaimana tiba-tiba cowok itu sudah ada dibelakang Rarae. Rikat memang suka muncul tiba-tiba. Matanya berbinar-binar melihat balon. "Buat Riri sama Acen aja ya?" tanya Rikat pada Rae dengan wajah sok imut. Kelopak matanya dilebar-lebarkan. Rarae segera menaikkan bibirnya keatas. Geli banget ngedenger Rikat nyebut dirinya dengan sebutan 'Riri' dan Jasen dengan 'Acen'.
"Bawa jauh-jauh, gih," jawab Rae asal sambil mengobrak-abrik isi tas nya. Ia sedang sibuk mencari topi karena hari ini adalah Hari Senin.
"ACEN!" Rikat menjerit heboh kala melihat kedatangan Jasen. Rarae sempat mendecak sebal ditengah aktivitasnya. "Acen liat deh Riri punya balon. Pecahin yuk, Cen!"
Ini baru namanya pertanda buruk.
Rae langsung panik. Sedangkan Jasen yang tadinya hendak memukul Rikat karena memanggilnya 'Acen' mengurungkan niatnya langsung. Jiwa kejahilannya langsung terangsang. Ia lalu merogoh saku tas nya untuk mengambil sesuatu. "Look! how lucky we are!"