11 Januari 2011
Aku membenci kau sampai rasanya ingin mati.
Tapi kau saja duluan yang mati.
Aku nanti. Tunggu kau mati.***
RAE kira bicara sekali sama Acul akan mempan. Nyatanya tidak, susu strawberry segar dan surat warna magenta masih bertengger manis di meja Rae. Rae hanya bisa menghela napas.Dipikir-pikir mana punya hak ia membatasi seseorang untuk menyukainya? Rae harusnya bersyukur dengan wajah super biasanya seseorang masih menaruh hati padanya.
"Gue kesiangan nggak sih?"
Belum saja sampai di tempat duduknya, Ailsha sudah mulai mengoceh. "Tapi belum dihukum, tuh gue," lanjutnya lagi sambil berpikir, "tapi ... kok lo udah dateng?"
Nah, sekarang ia sedang menyindir Rarae yang hobi telat.
"Tadi malem sibuk nyari drakor yang enak. Eh ketiduran," aku Rarae. "Jadi kebangunnya cepet."
Ailsha menaik turunkan kepalanya, mengangguk mengerti dengan penjelasan Rae.
"Pas nih. Buat gue, ya."
Tanpa persetujuan, Ailsha merampas susu strawberry yang ada di genggaman Rae. Lalu dalam sekali tegukkan susu strawberry tersebut pun lenyap. Rae mendecakkan lidahnya kagum. Padahal yang barusan adalah pemandangan yang setiap hari terjadi.
"Pagi, Nona!"
Tahu-tahu Jasen sudah merebut kertas dari tangan Rae. Tampaknya ia akan memulai melakukan rutinitasnya setiap pagi, yaitu membacakan isi surat tersebut.
"Ba-li-kin sekarang," Rae memenggal setiap suku katanya bermaksud menggeretak Jasen.
Tapi cowok itu sendiri malah tertawa melihat respon lucu Rae. "Gak-mau," Jasen ikut-ikut menekan kalimatnya. Dan Rae hanya bisa mendengus sambil berusaha menggapai-gapai surat tersebut.
"Selamat pagi, Nona!" Jasen mulai membaca.
Sepertinya, usaha Rae merebut surat tersebut tidak membuat Jasen terganggu sama sekali. Tinggi badan Rae yang hanya mencapai bahu Jasen lah penyebab utamanya. Jasen yang jangkung tentu merasa Rae bukanlah hambatan.
"Hari ini aku tak tahu harus menulis apa," Rae mengatur napasnya. Lelah karena usaha loncat-loncatannya tak membuahkan hasil. "Padahal biasanya selancar membaca," baca Jasen seraya menyingkirkan tangan Rae dari telinganya.
Cewek itu tak kehilangan akal rupanya. Kaki pendek Rae kini sudah ada diatas kursi. Ia lalu menarik telinga Jasen kuat-kuat membuat sang pemilik mengaduh kesakitan. "AW!"
Namun, dalam satu sentakkan, tangan kecil Rae berhasil disingkirkan.
Jasen berpindah tempat. "Kalau begitu hari ini aku tak akan menyampaikan apa-apa," ocehnya. "Aku hanya akan menitip salam pada Jasen."
Lalu semua diam. Baik Jasen, maupun Rae dan seluruh isi kelas yang menyaksikan seketika membisu. Hanya mata mereka yang seolah-olah berbicara 'cepet lanjutin.'
Jasen berdeham sebentar. "Jadi, Jasen aku tahu kau membaca ini. Kuperingatkan kau untuk menjauh dari surat-surat ini. Dan aku tidak bodoh atau pengecut seperti pikiran kotormu itu," suara Jasen memelan, "bangsat...," lanjut Jasen pelan.