Aku melangkah terburu-buru menyusuri koridor halte busway yang dipenuhi berbagai jenis manusia. Jakarta sedang hujan sore ini, tepatnya sedari pagi. Tak ada matahari yang menyengat kala siang bahkan tak ada senja yang kemerahan. Langit begitu sendu, dijatuhkannya air mata semesta satu demi satu. Tidak terlalu besar pun tidak kecil, tapi cukup untuk membawa kenangan meluruh bersama rintiknya.
Aku mempercepat langkah agar segera tiba dikamar kostku. Dingin menelusup hingga ke pori, jaket yang ku gunakan nampaknya tak bisa menyesap hembus angin. Aku memeluk diriku sendiri sambil berjalan, menggosokan telapak tangan pada lengan mencari kehangatan.
Hangat?
Ah betapa aku merindukan perlakuan hangat dari seseorang. Bahkan aku hampir lupa kapan terakhir kali ia bersikap hangat padaku? 3 bulan yang lalu kah? Mungkin.Pertanyaan-pertanyaan itu kembali bermunculan di kepalaku. Pertanyaan yang belum menjumpai jawaban. Pertanyaan yang lama kelamaan menjadi fikiran negatif tentang dia yang menjadi asing untukku.
Berapa banyak pesanku yang tak dibalasnya? Berapa banyak panggilan dariku yang tak diindahkannya? Berapa banyak rasaku yang menanti sebuah sapa darinya? Berapa banyak rinduku yang menggebu, yang pada akhirnya hanya menjadi sebuah belenggu? Jawabanya adalah banyak. Terlalu banyak!
Ada pepatah yang mengatakan tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban. Tapi itu tidak berlaku untukku. Bagiku, semua tanya berhak memiliki jawaban. Aku bertanya untuk menemukan jawaban bukan untuk membuat pertanyaanku menggantung yang pada akhirnya hilang tersapu udara. Tapi nyatanya, pertanyaan-pertanyaan yang selalu bermunculan dikepalaku tentangnya tak satupun menemui jawaban. Miris.
Aku menghempaskan tubuhku diatas ranjang. Menatap langit-langit kamar yang seperti sama sendunya denganku. Aku berdiri lalu melangkahkan kakiku ke kamar mandi, berniat untuk mengguyur seluruh badanku dengan air dingin demi mengusir kegusaran dalam hati.
Ritual mandiku telah selesai. Ku tatap benda kecil persegi yang berada diatas nakasku. Seperti layaknya botol dalam permainan truth or dare, benda persegi tersebut terus ku putar diatas nakas. Satu jam lebih aku memperhatikan benda itu namun tidak juga berdering tanda adanya kehidupan disana. Telah berkali-kali ku kirimkan pesan pada seseorang diseberang sana, tapi tak satupun dibalasnya. Aku mulai pasrah, entah lupa atau sengaja dilupa-lupakan, rasanya aku mulai jengah.
Kring kring
Telepon genggamku berbunyi. Buru -buru aku meraihnya berharap itu adalah panggilan masuk darinya. Namun ternyata aku salah. Aku kecewa."Ya Bel?"
........................................................
"Iya, besok pulang kerjakan?"
.......................................................
"Iya"
.......................................................
"Gak papa, cuma capek aja"
.......................................................
"Iya, daaaah"Aku berniat untuk menaruh kembali telepon genggamku dan memilih untuk tidur.
Ya bagiku, tidur adalah satu-satunya cara untuk mendinginkan kepala. Namun, ku urungkan niatku tersebut karena tak sengaja aku melihat nama seseorang pada layar telepon genggamku.Ardiansyah Putra : Na..
Anastasya Bervita : kamu kemana aja?
Kring Kring telponku berbunyi
Ardiansyah Putra is calling...
"Halo"
"Hai" sapa seseorang di seberang sana. "Kamu sehat?" Lanjutnya
"Aku baik, kamu gimana? kemana aja? kenapa gak pernah balas chat aku atau angkat telpon aku? kamu tau i aku di sini khawatir.."
"Maaf"
KAMU SEDANG MEMBACA
JARAK (?)
Narrativa generaleAku mencintaimu Dulu hingga kini Tak peduli berapa ribu kilo meter jarak yang terbentang didepanku Tak peduli seberapa deret pulau memisahku denganmu Yang kutau, Bagiku Kamu selau dekat Di sini Di hatiku -Ana- *EDITED*