#Text Five

221 54 7
                                    

◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎

"Dandelion Kuning"

◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎◎

Don't Like Don't Read!

SORRY FOR TYPO

.

.

.

[BAGIAN 2]

Aku memperhatikannya, gadis itu. Ia yang tidak pernah berhenti mengisi mimpiku ditiap malam, gadis dengan rambut hitam panjang, mata dengan semburat emas, bibir merah penuh, dan semua hal yang membuatku selalu mengaguminya. Dia Aness.

Sudah terlalu lama aku menunggu. Untuk sekarang, aku harus menghampirinya.

"Hai!" kulihat seseorang memegang bahunya. "Kau sendirian?" jarak kami tidak terlalu jauh hingga aku dapat mendengar percakapan mereka, samar-samar.

"Kau gadis yang waktu itu bukan?" pria itu masih mencoba mengajak Aness berbicara. "Waktu kapan?" kali ini Aness yang bertanya balik, sepertinya ia sendiri tidak mengenal pria sok akrab disampinya tersebut.

"Eza!" Yola menghampiriku diikuti beberapa temannya. "Oh, hai." jawabku asal. "Pak Kepsek memanggilmu." kenapa harus sekarang? Sepertinya aku tidak bisa mengawasi Aness lagi.

"Za?!" Yola memukul lengan untuk mencoba menarik perhatianku padanya. "Ah, ya. Aku akan segera menemuinya."

Dengan berat hati, aku terpaksa meninggalkan Aness dan pria tadi. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat! Pikirku.

Sebagai ketua OSIS, malam ini aku berkewajiban memberikan sebuah pidato panjang kepada seluruh siswa yang hadir, seklaigus menyerahkan jabatanku kepada adik kelas yang beberapa waktu lalu sudah dipilih melalui pemungutan suara seluruh siswa siswi disekolah.

"..dan dengan ini saya menyerahkan jabatan sebagai ketua OSIS periode 201X/201X kepada.."

Beberapa murid yang lain sudah sibuk kembali dengan kegiatan masing-masing. Anggota OSIS linnya memberikan tepuk tangan meriah kepadaku dibelakan panggung, serta tidak lupa bersalaman dan berfoto bersama. Cukup alay memang, ya mereka memang seperti itu.

Untuk kedua kalinya aku mencari keberadaan Aness. Hanya kedua sahabatnya yang terlihat sedang bermesraan bersama pasangan masing-masing. "Apa kalian melihat Aness?" tanyaku. "Aness? Dia ada di.." salah satu sahabatnya bernama Tari masih menelisir kesegala arah, mencari Aness. "Tadi dia disana, kok nggak ada ya?" bodoh! Sahabat macam apa kau? Umpatku dalam hati. Baik kalau kalian tidak tahu, akan kutemukan sendiri.

"Iya, kok ada ya wanita yang masih bisa ditipu Lavi? Dia kan playboy akut!"

"Tapi cewek tadi bukannya murid Ipa pendiam itu ya? Aku bahkan tidak pernah mendengarnya berbicara kecuali sama Tari dan Ica."

Mendengar nama familiar itu, aku yakin bahwa gadis yang dimaksud adalah Aness dan parahnya ia sedang salam bahaya.

"Kalian lihat mereka pergi kearah mana?" tanyaku cepat.

"Eh, Eza. Udah selesai pidato—"

"Katakan kemana!" kesabaranku benar-benar diuji sekarang.

"Me..mereka pergi kesana." jawabnya, menunjuk area belakang sekolah. Kini yang bisa kulakukan hanya berlari, berlari secepat mungkin mencari Aness dan bajingan yang berani menggodanya.

Selain aula dan halaman sekolah, area lain disekolah ini hampir semuanya gelap, apalagi setelah masuk gedung paling belakang. Disana ada sebuah gedung olahraga indoor yang hampir tidak pernah terkunci. Entah kenapa aku yakin akan menemukannya disana.

"Ah! Lepas.." kakiku terpaksa berhenti mendengar suara gadis. "Tidak!" kali ini suara pria. "Aku.. Umn.. Lepaskan." untuk sejenak aku berkedip panik. Memperhatikan sekitar yang terlihat sepi. "Kau harus bertanggung jawab. Lihat yang kau lakukan padaku!" bentak pria tersebut. "Aku nggak tahan lagi—" setelah mengumpukan keberanian, kuputuskan membuka kasar pintu didepanku.

"Apa yang kau lakukan?!" teriakku marah, aku sudah kalap, memukul pria itu. Kulihat ia sudah tidak memakai bajunya.

"Shit!" kuhantam dagunya tanpa ampun, perutnya kutendang keras. "Tidak seharusnya kau menyentuh milikku!" umpatan-umpatan kasar keluar dari mulutku. Amarah telah berkuasa kali ini, hingga aku kalap.

"Aness, kau tak apa?" setalah amarahku reda, aku memastikan keadaan Aness. "Heh?"  dia sedang terduduk tanpa luka, tapi..

"Aku sudah nggwak twahwan—Hueekkk!!"

Sebenarnya apa yang terjadi? Aku masih belum mengerti.

"Apa tang terjadi?" tanyaku setelah Aness selesai dengan acara mual-mualnya.

"A-aku..dia terus mendekati dan menggodaku." tunjuknya pada pria yang kini telah terkapar tak berdaya. "Karena gugup, tanpa sadar aku meminum jus alpukat yang ada dimeja. Sementara aku alergi buah itu." sesekali Aness menutup mulutnya sembari meneruskan ceritanya. "Dia ingin membawaku ketoilet, tapi karena sudah tidak tahan..aku berlali tanpa arah, dan berakhir disini."

"Tapi mengapa dia membuka bajunya?" bisikku pelan, namun terdengar oleh Aness.

"Aku em..aku..dibajunya." kali ini ada nada bersalah yang ia tunjukkan. Kini aku sudah paham apa yang terjadi. Aku terlalu kalap dan bersalah hingga memukul pria itu. Tapi aku tidak akan meminta maaf, salahnya sendiri berani menggoda gadisku. Eh? Sejak kapan aku mengklaim bahwa Annes adalah milikku? Sepertinya aku mulai gila. Memang aku sufah gila, tergila-gila pada Aness tepatnya.

"Apa kau akan membiarkannya lebih lama? Dia bisa mati." untuk sekarang, mungkin lebih baik aku mengurus kekacauan yang kubuat.

...

"Aku suka padamu Aness! Kau milikku, dan selamanya adalah milikku!" ucapku menekankan kata 'milik' padanya.

"Ya ya, terserah kau saja!"

Setelah insiden yang terjadi pada perta plepasan. Kami berada divakultas yang sama, tepatnya aku yang selalu menguntitnya. Kali ini, tak akan kubiarkan ia lolos, dan aku tidak akan merasa malu lagi untuk menyatakan bahwa aku teramat mencintainya.

Walaupun dia selalu bersikap dingin padaku, seperti saat ini.

"Eza, please.. Jangan mengikutiku!" protesnya kesal. "No! Kemanapun kau pergi, aku akan selalu ada disampingmu sayang." jawabku dengan senyum lima jari. "Dasar pemaksa!" ucapnya lalu meninggalkanku. "Itu karena aku mencintaimu.." teriaku padanya. Aku tidak perduli dengan orang-orang yang menatap kami. Hanya saja, terlalu mencintai seseorang dapat merubahmu menjadi lebih..Gila!

Akan kugunakan semua waktuku untuk meyakinkan Aness bahwa ia hanya milikku, bahwa Eza hanya mencintainya, bahwa sampai berapa lama pun aku akan mencuri hatinya. Pasti! Walaupun aku harus berubah menjadi psycopat mungkin, selama aku bisa bersama dengan Aness, Cintaku.

"Itu kan namanya CINTA?"

-End-

Unrequited Love : 2017Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang