Love ain't simple.
***
"Lo sama mas Prima, pacaran gak sih Nay?"
Blaass.
Ini nih, pertanyaan terlarang yang harusnya dimusnahkan sebelum bom lipstik atau tusuk konde diciptakan. Berbahaya, berpotensi merusak Bumi. Pertanyaan beracun dari mulut manis rekan kantorku tercinta yang bernama Tiara, mungkin akan sekedar pertanyaan bagi cewek manapun. Tapi tidak bagiku.
Pertanyaan itu lebih horor ketimbang pertanyaan ayah di meja makan saat sarapan, "kamu kapan ngenalin calon, Dek?" atau pertanyaan bude Lastri di acara kawinan saudara, "Naya kapan nyusul?"
Tapi pertanyaan Tiara barusan juga sebagai pemicu khayalan gila, imajinasi tingkat tinggi ala Kanaya. Dalam sepuluh detik, benakku melayang, tentang seorang pria berwajah tampan nan manis (uhuk) dengan tahi lalat di dagu sebagai pengalih rindu. (Stigma tentang tahi lalat di wajah menghilangkan pesona sudah kuubah menjadi, tahi lalat di wajah bagian dari keindahan semesta-fyi). Duduk berdua di sebuah beranda, aku mengelus perutku yang membuncit, mengandung buah cinta kami berdua. Menjadi sepasang suami istri paling bahagia sedunia.
Pluk!
Sebuah gumpalan kertas melayang mengenai kepalaku, menghancurkan khayalanku.
"Ditanya begitu doang langsung ngayal jorok!" Tiara dan Sissy sukses tertawa.
Aku mendengus kasar dan seketika menoleh ke arah pintu masuk saat terdengar suara ribut-ribut. Bahaya mulai terendus, hawa neraka sebentar lagi akan memasuki kantor kami.
Dan di sanalah dia, makhluk tengil berambut keriting kemerahan, gondrong, pecah-pecah dan tak terawat, nyengir menampakkan gigi-giginya yang (sialnya) rapi. Seolah tanpa dosa berjoget-joget sambil melambai-lambaikan dua buah bingkisan dalam paper bag.
Tapi fokusku beralih dari makhluk ajaib itu, ke sosok yang berjalan di belakangnya. Pria yang sedang menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah aneh Kafka yang terus-terusan menggoda kami (Aku, Tiara, Sissy) dengan bingkisan yang entah apa itu aku gak mau tahu. Aku hanya ingin memandangi pria di belakang monyet keriting itu lebih lama. Bahkan rasanya, aku ingin memohon agar waktu dapat berhenti sebentar saja.
Dia lah mas Prima, tokoh dalam khayalan gilaku. Sosok yang teramat dekat namun tak terjangkau. Wajahnya yang tampan dan bersinar, tersenyum ke arahku. Gusti, kenapa pria tampan nan mapan seperti mas Prima harus menjadi magamon alias manusia gagal move on.
Aku membalas senyum mas Prima sebelum pandanganku terhalang oleh badan tinggi kurus monyet ajaib bernama Kafka. Wajah tengilnya tersenyum tanpa dosa, "chocodot, siapa mau?" cicitnya sambil menari-nari kecil di depan hidungku.
"Minggir lo ah! Ngerusak syaraf mata gue aja." Aku menepis tangannya.
"Eh gue tahu tatapan nista lo barusan, pasti langsung ngayal mesum kan lo. Tuh muka senyum-senyum najis gitu." Kafka menunjuk-nunjuk wajahku, untungnya mas Prima sudah berlalu ke mejanya yang agak jauh dari tempatku.
"Sialan tuh mulut, minta dirukiyah banget ya!"
"Cipok aja deh, Abang rela. Mumumu." Kafka memonyongkan bibirnya, secepat kilat kuhantam dengan binder besar.
Buk!
"Aw, fak! Jontor bibir gue nih, Kuya!" Serunya sambil meringis.
"Sokoorr, makanya jauh-jauhin bibir nista lo dari muka gue."
Sissy yang tertawa-tawa menghampiri Kafka, bergelayut manja pada lengannya.
"Aduh duh duh, ketempelan badak Jawa bisa encok gue Sy!" Kafka mengaduh sambil pundak kirinya diturunkan dengan sengaja. Sissy menghadiahinya dengan cubitan di perut. "Adoohh, baru dateng udah dianiaya gue sama kalian. Gue kasih satpam nih chocodot-nya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema
ChickLitLima tahun memendam perasaan sendiri, membuat Naya cukup puas terjebak dalam bos-karyawan-zone. Alih-alih menarik perhatian pria pujaannya, Naya lebih suka menikmati perasaannya dalam diam. Tapi tentu rasa sukanya terhadap Prima tidak luput dari per...