- 2 -

27.8K 3.5K 262
                                    

Karena gue sadar, ganteng aja gak cukup buat masuk Surga.
- Kafka

~~~

Nasi goreng buatanku sudah tersedia di meja makan, tapi para penghuninya malah belum pada nongol. Mentang-mentang weekend.

Sejak Bunda meninggal karena kecelakaan Pesawat saat aku masih duduk di bangku SMP, mau tidak mau akulah yang menggantikan tugas Bunda sebagai koki dan pengurus rumah. Karena aku satu-satunya perempuan di rumah. Ayah memilih untuk tidak menikah lagi, dan kedua kakakku semuanya laki-laki.

Dalam setahun, aku pasti berziarah beberapa kali ke makam Bunda dengan ayah dan bang Tegar. Sedangkan Bang Ricky biasa bergabung saat moment-moment tertentu, misal menjelang puasa atau sehabis Lebaran. Bang Ricky sudah menikah dan tinggal terpisah dengan kami.

"Dek, ini apaan sih?" Ayah keluar dari kamar membawa ponselnya. Kacamata kotaknya melorot dan bertengger manis di hidung mancungnya.

"Apa itu?" Aku menuangkan nasi goreng ke piring ayah dan aku.

"Ini di grup WA rame banget, ngomongin Bigo. Apaan sih dek?"

"Ya Allah, jangan ikut-ikutan yah!"

"Emang apaan? Kok Arul semangat banget ngomongnya dari kemarin." Ayah masih sibuk membaca chat di ponselnya.

"Aplikasi gitu, ada video streaming-nya. Banyak yang aneh-aneh. Jangan download pokoknya."

"Kamu ngomong gitu ayah malah makin penasaran sih."

Aku segera merebut ponsel ayah, "heehh, gak boleh. Banyak yang joget-joget gak pake baju. Nanti ayah eneg."

"Enak kali!" Bang Tegar menyambung, turun dari tangga masih dengan kaos u can see basket-nya dan celana pantai. Belum mandi.

"Heh abang! Jangan yah pokoknya. Mending download catur aja, mau? Biar bisa main catur di hape." Aku menawarkan solusi.

"Mainnya sama siapa?" Kini ayah duduk di kursi kebesarannya, meniup-niup kopi yang sudah aku hidangkan.

"Sama mesin." Bang Tegar lagi nyamber.

"Gak apa-apa, ada lawannya nanti otomatis."

"Gak deh, mending konvensional. Lawannya manusia, kalau lawan mesin mana tahu dia curang." Deuh polosnya ayahku. Aku mengecup pipinya yang masih kencang.

"Sudah sarapan dulu." Aku meletakkan ponsel ayah di meja.

"Bilangin Kafka nanti futsal di lapangan Futsal punya Agung."

Aku menatap bang Tegar. "Dih kok futsal sih? Dia ada janji sama aku ke Next!, ketemu Oryza."

"Malem, abis Isya."

"Ooh. Iya aku bilangin." Jawabku.

"Prima lama gak main kesini, kemarin antar Naya doang terus langsung pulang. Udah jago belum main caturnya?" Ayah bertanya ke bang Tegar. Hatiku bergetar hanya mendengar namanya dari mulut ayah coba. Aneh.

"Haha lagi sibuk, abis ekspansi car wash. Sekarang buka bengkel juga dia digabungin sama car wash-nya. Sukses banget dia." Bang Tegar menjawab, ada nada bangga dalam suaranya. Apalagi aku, ehem, idolaku.

Aku belum bilang ya, mas Prima punya Car Wash selama dia kuliah. Dibantu modal oleh Bapaknya, dan usaha car wash-nya berhasil. Bahkan saat baru merintis CRAP, usaha mas Prima itu yang back up keuangan CRAP. Tapi dia jarang berbagi denganku soal usahanya itu, jelas lah ya siapa aku gitu kan. Senang mendengarnya ekspansi usaha begitu. Pokoknya aku senang segala tentang mas Prima yang berjalan lancar.

DilemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang