Lo mau tahu kenapa lo masih jomblo? Karena mata lo cuma melihat satu titik yang gak bergerak. Sedangkan di sekitar lo, banyak titik-titik bergerak yang meminta perhatian lo.
- Kafka
||
||
||Aku terbangun, dengan lengan besar memelukku. Yaa Allah! Mas Prima. Aku bangkit pelan-pelan, tak ingin membangunkannya yang sedang terlelap. Kami masih berpakaian lengkap, tentu saja. Emang mau ngapain mas Prima, dalam kondisi tubuh yang sedang tidak sehat begitu.
Aku merasakan hawa dingin AC menerpa kulitku. Pasti mas Prima yang menyalakannya, tidak ingin membuat kami kepanasan. Ya ampun, wajahku memanas. Baru juga jadian, sudah ada adegan bobok bareng di ranjang. Astaga!
Kurapatkan selimut hingga ke dada bidang mas Prima. Aku amati wajahnya yang damai dalam lelap. Bayangan jenggot tipis dan sedikit brewok menghiasi rahang tegas itu. Waktunya bercukur, huh? Hidung mancungnya yang memerah sudah bernapas dengan lancar, flunya tidak parah. Aku bersyukur. Bulu mata panjangnya membuat bayangan di kedua pipi mas Prima.
Iya, aku menyayangi pria ini. Aku mencintainya. Meski aku tahu, dia belum bisa memberikan hatinya untukku. Tapi aku akan membuat mas Prima mencintaiku, hanya aku. Tidak masalah jika mas Prima ingin melupakan mantannya denganku, mas Prima harus melupakan siapa tadi? Anggora? Aurelia atau, aah Aurora. Aku akan bersabar untuk membuat mas Prima melihatku dan mencintaiku. Entah keyakinan darimana, aku tahu suatu saat nanti mas Prima benar-benar mencintaiku.
***
Aku baru saja selesai shalat maghrib saat mendengar suara pintu di lantai 1. Ada seseorang datang dan derap langkahnya kini menaiki tangga. Aku berbalik untuk melihat, siapakah yang akan menemani mas Prima malam ini.
Kafka berdiri di ujung tangga, sama kagetnya melihatku. Seketika seringai jahil menghiasi wajah jahanamnya.
Kenapa harus dia sih yang datang?
"Ciieee lembur, atau sengaja melemburkan diri?" Ocehnya.
Aku malas menanggapi dan memilih menaiki tangga ke lantai 3. Kafka mengikuti di belakangku.
"Mas, punya karyawan rajin begini. Enaknya dinaikin gaji. Tapi kalau Naya sih--"
Aku memberinya tatapan maut yang siap merontokkan seluruh rambut keriting gondrongnya yang memuakkan.
Kafka makin melebarkan cengirannya dan melanjutkan celetukkan laknat-nya "dinaikkin aja statusnya dari karyawan-bos-zone jadi, abang-adek-zone.. Bhuahahahaahahaha." Setan itu terpingkal-pingkal sekarang.
"Berisik lo Kaf! Yang gue minta dibawa gak?" Mas Prima juga enggan menanggapi ocehan Kafka.
"Bawa dong. Nih!" Kafka mengulurkan flashdisk dengan karakter Bumblebee.
Tapi tunggu, mas Prima tidak mencoba memberitahu Kafka tentang hubungan kami yang baru? Dia mau backstreet? Okay, aku ikuti saja maunya.
"Mau pulang sekarang? Diantar Kafka ya?" Mas Prima melihatku yang berdiri di pintu, aku mengangguk.
"Naik ojek aja deh, daripada tersiksa batin sama dia." Aku meraih tas dan pashmina yang tadi kubawa ziarah.
"Hujan tuh, gue bawa mobil lho." Kafka menunjuk jendela yang tirainya kini tertutup. Aku tahu hujan dari sore tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilema
ChickLitLima tahun memendam perasaan sendiri, membuat Naya cukup puas terjebak dalam bos-karyawan-zone. Alih-alih menarik perhatian pria pujaannya, Naya lebih suka menikmati perasaannya dalam diam. Tapi tentu rasa sukanya terhadap Prima tidak luput dari per...