- 5 -

19.6K 3.2K 218
                                    

Laki - laki itu kalau punya masalah gak kayak perempuan yang curhat sana curhat sini.

- Tegar

***



Pukul lima sore mas Prima kembali. Wajahnya kusut, menampakkan kelelahan yang sangat. Sweater tanpa lengannya sudah tidak ada, hanya kemeja marun yang sudah digulung lengannya hingga siku. Dan kancing yang terbuka dua dari atas. Kafka masih asyik memainkan rambutku saat mas Prima melewati kami menuju mejanya. Aku baru menyadari saat mas Prima menghempaskan diri di kursi.

Apakah dia akan baik-baik saja melihat Kafka yang duduk terlalu dekat denganku?

Kafka bangkit dan menghampiri mas Prima, pasti dia sedang bertanya soal tadi.

"Beres. Clear masalah tadi." Jawab mas Prima, aku bisa mendengarnya samar-samar. Belum melihatku, atau menyapaku.

Ini beneran mas Prima yang kemarin menciumku kah? Hatiku seperti diremas-remas melihat sikapnya yang masih acuh tak acuh.

Aku memutuskan berselancar di dunia maya, membaca berita untuk mengalihkan pikiranku. Tapi sungguh, rasanya, jika kemarin tidak seperti itu aku akan jauh lebih baik. Pikiranku akan tenang.

Sabar Naya, sabar.

"Gue mandi dulu."

Mas Prima beranjak dan terus berjalan ke atas, sambil melihat ponselnya. Tidak menoleh atau menyapa kami, seperti biasa. Kafka sekarang duduk di sebelah Tiara, mengepang rambutnya.

"Lo gak punya karet kecil apa Ra?"

"Napa dah?" Tiara menatap Kafka dengan sinis.

"Gue kepangin nanti diiket gitu, rambut lo licin banget cepet lepas kepangannya."

Si monyet itu, ada aja kelakuannya.

"Lo ngelamar di salon aja sih Kaf, cocok!" Aku menyela.

"Pasti tuh salon laris manis kalau gue jadi hair stylish-nya." Kafka merapikan kerahnya dengan sombong.

"Pede mampus anjirrr!" Aku meraih rambut keritingnya dan menjambak.

"Aaawwww. Gila kdrt banget lo Nay."

Kafka misuh-misuh, aku tertawa. Kekesalanku terlampiaskan. Sorry Kaf.

***

Sejak pagi perutku mulas, hari pertama periodeku selalu menyiksa. Aku, Tiara dan Sissy sudah memesan makanan delivery. Terlalu sakit untuk keluar. Dan sejak semalam perasaanku jadi super sensitif. Ditambah mas Prima yang masih bersikap tidak ada apa-apa. Tidak membantuku dengan menjelaskan soal kemarin, Aurora dan segalanya.

Soal TRAP katanya sudah clear, tadi aku cek web itu sudah tidak ada. Aku menatap ponsel dengan nanar, tidak satupun pesan dari mas Prima untuk menenangkanku. Bahkan dalam grup chat. Aku merasakan airmata di pipiku yang segera kuhapus.

"Nay, eh, kok nangis?" Tiara menghampiriku.

"Lagi sensitif banget Ra, dari kemarin."

"Lo lagi ada masalah?"

Bisakah aku menyebutnya masalah, soal kami?

Aku menggeleng, "nggak Ra, gak ngerti tiap liat yang sedih-sedih jadi cengeng gini deh."

Tiara mengusap-usap punggungku, "masih sakit perutnya? Minum Kiranti udah?"

"Iya udah, tadi nitip Sissy."

DilemaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang