satu

188K 11.8K 255
                                    

Semua orang yang berada di dalam ruang rapat itu mengeluarkan aura yang begitu tegang. Tidak ada yang berani berbicara ataupun berbisik. Bahkan kalau bisa, mereka akan menahan napas agar lebih khusuk untuk menghadapi sang Bos besar.

"Bagaimana pembangunan Hotel yang di tangani Pak Abduh?" sang Bos mulai mengabsen.

"Sudah berjalan lima puluh persen Pak, dan nggak ada kendala apapun."

"Pembangunan Resort di Lombok?"

"Sudah delapan puluh persen, dan berjalan lancar."

"Andi, kemarin jam setengah tiga, ngapain kamu di kafe JS padahal masih jam kerja. Dan Cakra, saya sudah bilang kan kalau kamu mau telponan sama pacar kamu, kamu hanya perlu mengudurkan diri dari kantor dan kamu punya waktu banyak urusin pacar kamu." matanya seolah menancap tanpa ampun kearah orang-orang yang tadi disebutkan namanya.

Ketegangan semakin terlihat nyata sekarang. Bagaimana tidak, sang bos besar bahkan tahu jika karyawannya mangkir dari tugas kantor meskipun hanya beberapa menit saja.

Laki-laki yang menggunakan kemeja warna biru dengan setelan jas hitam itu menumpukan tangannya diatas meja, terlihat mengintimidasi. Tidak menunggu jawaban dari karyawannya, dia melanjutkan membolak-balikkan dokumen yang dibacanya.

"Raya, kamu tahu kan kalau ini kantor?" karyawan yang dipanggil Raya itu mengangguk dengan wajah pias. "Kamu tahu kan fungsi dari kantor?" Raya lagi-lagi mengangguk. "Bagus, lalu kenapa kantor kamu alih fungsikan menjadi studio infotainment?" pucat, itulah yang terlihat dari wajah Raya. Apalagi bosnya sekarang langsung memandangnya dengan tatapan tidak bersahabat.

"Apa kalian sudah merasa hebat sudah membawa perusahaan ini menjadi lebih sukses?" big bos seolah benar-benar akan menjadikan karyawannya penghuni rumah sakit sepertinya. Karena tidak ada tanda dia akan berhenti mengintimidasi wajah-wajah yang benar-benar pucat itu.

"Apa ada diantara kalian yang ingin memberi surat resign ke saya sekarang?" pertanyaan itu membuat semua kepala yang ada disana menggeleng kompak.

"Gila aja, gue dapet kerja disini aja barokah banget, gimana mau resign."

"Mending gue di larang nggak ngomong selama kerja deh dibanding harus resign."

"Mending gue putusin cewek gue deh dibanding keluar dari sini."

Itu adalah isi pikiran dari kepala-kepala yang tadi sedang menggeleng tanda tak setuju. Bagaimana tidak, bekerja di perusahaan ini harus melewati masa-masa sulit sebelum benar-benar di terima sebagai pegawai tetap dan yang pasti gajinya juga sangat menggiurkan.

"Jadi tidak akan ada yang resign?" pertanyaannya lagi-lagi diulang membuat semua kepala menggeleng dengan cepat.

"Kalau begitu, kalian bisa kan lebih baik dalam bekerja? Dan ini yang terakhir kali saya dapati kalian membuat kesalahan." mata tajamnya langsung menghunus semua orang yang ada disana.

Ya, itulah kegiatan di ruang rapat setiap satu minggu sekali. Sang bos besar akan mereview semua kegiatan yang dilakukan karyawannya yang baginya sangat tidak pantas. Di luar sana banyak orang yang kurang beruntung tidak bisa mendapatkan pekerjaan, dan di sini saat mereka memiliki pekerjaan malah seenaknya sendiri.

"Saya punya sedikit proyek pribadi untuk kalian." semua mata masih fokus dengan bos mereka dan menunggu kalimat lain yang akan keluar dari bibir yang 'sialan seksi' sang bos.

"Saya menginginkan desain rumah mewah." semua orang yang ada disana masih mendengarkan dengan seksama. Menunggu. Rumah seperti apa yang diinginkan.

"Kalian hanya perlu memberikan kepada saya desain rumah mewah bayangan kalian." laki-laki dengan tinggi 178 cm itu berdiri dan merapikan jasnya yang membut karyawan perempuannya menahan napas.

"Rapat selesai." dia berjalan diikuti oleh asisten pribadinya dengan langkah lebar.

*#*#*#*

Malam yang sepi, seperti malam-malam sebelumnya. Daka berdiri di ruang kerjanya menghadap ke arah foto yang terpajang rapi di dinding.

Kedua tangannya dia masukkan kedalam saku celana pendek yang di pakainya. Matanya memandang foto kedua orang tuanya dengan sayang.

Foto, hanya media itu yang bisa digunakan untuk menyalurkan rindu yang selalu bergemuruh di dalam hatinya.

"Ma, Pa.....

Diam sejenak, entah kenapa dia masih belum terbiasa akan apa yang telah terjadi padannya. Padahal kedua orang tuanya sudah meninggalkannya sangat lama sekali.

"Aku ngerasa kalau aku selalu ingin bisa segera menyusul kalian. Disini, sepi dan kosong." Daka menyentuh hatinya. Dia bisa menutup wajahnya dengan topeng yang menakutkan, tapi dia bisa kembali menjadi anak yang selalu menginginkan kehadiran orang tuanya meskipun tidak mungkin.

"Mama tahu, hidupku sekarang seperti robot. Nggak ada kebahagiaan yang bisa masuk meskipun hanya sedikit." air matanya sudah keluar, Daka membiarkan saja tanpa berniat menghapusnya.

"Papa...., aku selalu ingat apa yang papa bilang ke aku. Aku harus menjadi laki-laki tangguh, laki-laki yang bisa menjadi kebanggan kalian berdua, laki-laki yang bisa lebih hebat dari Papa, laki-laki yang....
Daka meluruh di lantai dengan lutut yang tertekuk, menangis, air matanya sudah memenuhi wajah tampannya.

Inilah wajah asli Aldaka Ganendra, rapuh. Tapi dia tidak akan terlihat lemah di depan semua karyawannya.

"...bisa menjadi penerus perusahaan yang Papa bangun dari perjuangan panjang. Papa....., sekarang aku udah jadi penerus yang hebat kan Pa? Aku udah bisa bangun anak perusahaan di beberapa kota. Tapi Ma, Pa, aku sama sekali nggak bahagia. Yang aku butuhin sebenarnya adalah pelukan kalian." Daka meringkuk di bawah foto kedua orang tuanya dengan mengenaskan. Sampai kesadarannya menghilang tertelan oleh gelapnya alam mimpi.

*#*#*#*

Aldaka terbangun saat waktu masih menunjukkan pukul 3 pagi. Dia duduk dengan kepala yang pusing karena tertidur tanpa alas. Keadaan seperti ini memang sering terjadi.

Dia berjalan kearah pintu yang menghubungkan dengan kamarnya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan mengambil wudhu untuk melakukan sholat malam, sampai nanti adzan subuh berkumandang dan melakukan sholat subuh. Dia baru akan beranjak dari sajadah yang di gunakan alas untuknya berdoa.

"Mas Daka." ketukan pintu membuat Aldaka berjalan kearah pintu dan membukanya. Matahari sudah menyapa bumi Jakarta, kehangatan mentari pagi juga menelusup kedalam kamar bernuansa coklat itu.

"Ya Bik."

"Mas Daka mau sarapan apa pagi ini?"

Daka berpikir sejenak sampai dia meminta sesuatu untuknya sarapan. Bik Na, pergi untuk membuatkannya sarapan yang dimintanya. Sedangkan dia harus bersiap-siap untuk pergi ke kantor.

Menjalani aktifitas yang sama memang tidak membuat Daka lelah, karena saat dia merasa putus asa hanya orang tuanyalah yang selalu ia ingat.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Daka pergi ke kantor dengan mobil sport warna putihnya. Mobil kesayangannya. Dia memang tidak meminta supir untuk mengantarnya, selagi dia tidak terlalu lelah, dia akan menyetir sendiri.

**#*#**

Untuk reader yang nemuin ini cerita, happy reading. Semoga suka. Kalau bisa di vote, atau nggak, bisa di komen. Baca juga ceritaku yang lain 😊😊

Thankyu
Yoelfu 230517 - Revisi 161017

Devil (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang