"Pergi ya ma.." ku langkahkan kaki ku meninggalkan rumah dan menuju kantor, tak terasa sudah hampir 2 tahun hal ini ku lakukan setiap pagi. Selesai menempuh gelar sarjana di Kota Kembang, Tuhan mengizinkan aku mendapatkan pekerjaan disini, kembali ke Kota asal dan dekat dengan kedua orang tua ku.
Ku tatap jam digital di sudut kanan komputer bertuliskan 16:50, hati ku bahagia karena sebentar lagi aku akan pulang. Tiba-tiba Nimta memanggil ku dan meminta ku masuk ke dalam ruang rapat. Di dalam ruang rapat sudah duduk Saida. Nimta adalah asisten manajer dan Saida adalah manajer ku.
Air mata ku menetes ketika surat pemberhentian ku sampai di hadapan ku, ku tanyakan alasannya, tapi tak ku dapat, omongan klise yang tak jelas mengarah kemana, ku kuatkan hati ku dan ku tanda tangani berkas yang dihadapan ku. Hari ini hari kamis, dan aku hanya memiliki waktu bekerja 2 hari lagi, karna di hari selasa aku sudah efektif tidak bekerja.
Bagaimana dengan kuliah ku? Bagaimana dengan orang tua ku? Bagaimana dengan masa depan ku yang sudah ku rancangkan? Bagaimana dengan semuanya? Segala pikiran berkecamuk dalam otak ku, aku kuliah S2 dengan dana pribadi ku yang ku peroleh dari bekerja di kantor ini, orang tua ku pasti akan terkejut jika aku pulang membawa berita ini. Air mata ku menetes terus dan terus sehingga panas pun ku rasakan dalam mata ku.
Ku ingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu, dan tanpa ku sadari air mata ku kembali menetes.
"Kenapa sedih?" suara Eka membuyarkan lamunan ku."Tidak kak, aku hanya berpikir seandainya aku tidak diberhentikan, mungkin saat ini aku tidak akan bingung memikirkan dana kuliah ku." jawaban yang keluar dari mulutku membuat air mata ku kembali menetes.
"Orang tua bilang apa de?"
"Mereka bilang cuti dulu kak, sampai aku kerja dan ada biaya lagi."
"Trus, menurut kamu gimana?"
"Sena ga tau kak harus gimana, kalau cuti berarti Sena ga bisa wisuda tahun depan. Sena juga ga akan bisa satu kelas sama teman yang sama lagi. Tapi kalau Sena ga cuti, biaya kuliah Sena ambil dari mana?" tangisan ku kembali memenuhi ruang tamu Eka.
Eka sahabat ku sejak bekerja di kantor ini, rumahnya selalu terbuka untuk menampung seluruh curhatan ku.
"Jangan nangis terus de, coba hubungi teman sekelas kamu, mana tau ada lowongan kerja di kantornya." Eka mengucapkan kalimat dengan wajah penuh harapan dan menguatkan ku kembali.
***
Bugh
Tatapan tajam melirik ku dan ku lihat seluruh bajunya kini kotor terkena minuman ku.
"Kalau jalan lihat ke depan non, jangan melamun." Dengan nada tenang tapi sangat menakutkan. "Melamun lagi?" Dikibas kibaskannya tangannya di depan wajah ku, dan secara bersamaan ku mulai minta maaf.
"Maaf saja tidak cukup, ikut aku!"
Tangan ku di genggam erat dan aku dibawa menuju lokasi parkir mobil, suara alarm mobil bunyi dan pintu dibuka dan aku di dorong ke dalam. Entah kenapa sepanjang perjalanan tidak ada perlawanan dari ku, hati ku hanya bergetar, aku tidak tau perasaan takut macam apa ini, aku wanita tomboy dan tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya.
Kini dia duduk disebelah ku didalam mobilnya, dia buka bajunya, dan melemparkannya kewajahku.
"Bersihkan sebersih bersihnya!"
Dengan cepat ku ambil tisu dalam tas ku, lalu ku bersihkan, aku tak berani menatap wajahnya. 60 detik sudah berlalu, tak ada hasil yang memuaskan, ku angkat kepala ku, ku beranikan menatapnya memasang wajah sedih berharap dia kasihan dan menyuruhku pergi.
"Ini." Pria itu memegang tisu basah, dan menyuruhku membersihkan bajunya dengan tisu tersebut.
Hasilnya jauh lebih baik, tapi tetap saja terlihat kotor, karena kemejanya bewarna biru muda, ku tatap kembali pria yang menggunakan kaos putih ketat dihadapan ku. Cakep, ganteng, tapi sayangnya judes. Ketika ku coba membuang pikiran ku dia kembali bicara dengan dana yang sangat ditekan seperti sudah tidak sabar ingin melahap ku.
"Kamu masih sempat melamun dalam keadaan seperti ini?"
"Maaf, bagaimana jika baju anda saya bawa pulang, saya cuci sampai bersih, dan saya janji akan mengantarkannya ke rumah anda besok sore."
"Hmm..." pria tersebut diam sejenak dan berpikir.
"Oke. Ini kartu nama ku, ada alamat rumah dibelakangnya, tapi tidak besok sore. Aku mau besok sebelum jam 7 pagi kamu sudah ada di depan rumah saya. Mengerti nona?"
"Baiklah." secepat mungkin ku katakan itu, berharap aku segera dikeluarkan dari mobilnya dan terlepas dari keadaan ini. Keinginan ku menghibur diri, mengunjungi mall ini, malah membawa petaka bagiku.
Ku simpan baju dan kartu namanya kedalam tas ku, ku buka pintu dan tas ku seperti tersangkut.
"Mau kemana?" Pria tersebut yang sampai detik ini ku tidak tau namanya menarik tas ku.
"Mau pulang." jawabku singkat.
"Mana KTP mu?"
Ku tatap dia bingung kenapa nanya KTP ku, dan kebingungan ku segera dijawabnya.
"Bagaimana aku tau besok kamu akan datang ke rumah ku dan membawa baju ku? KTP akan ku sita sebagai jaminannya." jawaban yang masuk diakal dituturkan pria ini. Tapi sedikit kecewa karena ku merasa tidak terdapat kepercayaan terhadap diriku. Mungkin karena zaman memang sudah berubah, sulit untuk mempercayai orang baru, apalagi memiliki wajah seperti ku, tidak ada cantiknya sama sekali.
"Kok melamun lagi? Cepat keluarkan KTP mu kalau kamu ingin segera pulang.
"Tere Shena Pradifta. Nama yang cukup bagus bahkan terlalu bagus untuk wajah seperti mu."
Untuk pertama kalinya kalimat menyakitkan diucapkan pria tersebut, ku tetap diam tanpa menyanggah perkataannya. Aku sadar disini aku yang salah, sebagai orang yang telah salah tidak ada hak untuk membela diri. Aku takut keadaan akan semakin buruk.
"1993, masih 24 tahun ternyata."
"Aku sudah boleh pulang?" Ku hentikan kalimatnya yang tatapan matanya yang terus melihat KTP ku.
"Oke. Besok sebelum jam 7 pagi, sampai ketemu besok."
***
YOU ARE READING
Lebih dari yang ku harapkan
RandomMenjadi wanita yang terlahir dari keluarga yang berkecukupan membuat ku lupa untuk bermimpi, karena tanpa ku impikan akan segera ku dapatkan. Tapi sesuatu terjadi sehingga ku menjadi seorang pemimpi, bahkan sering dikatakan penghayal oleh seluruh te...