Prolog

62 3 0
                                    

Sindoro, 16 Mei 2017

"Hay non, apa kabar, lama tak jumpa, aku merindukanmu yang selalu membelenggu semesta pikiranku". Begitulah kalimat yang selalu ada dalam pikiranku, entah dimanapun aku berada. Pagi ini cerah, pagi ini awan bergulung seperti ombak di lautan. Puncak gunung memanglah indah, tapi dalam batinku tak ada yang lebih indah dari dirimu. Aku merenung sendiri di puncak ini, ditemani angin puncak yang berhembus dan edelweiss yang belum bermekaran. Kuputuskan untuk menuliskan sepucuk surat rindu, berharap kau kan membacanya...

"Hay Nona, apa kabar? Aku merindukanmu. Tak usah kemana mana, Tak perlu pergi ke tempat mewah atau pergi ke gedung yang tinggi. Disini saja, kita nikmati sunyi dan sejuknya angin puncak, lalu kita lihat cantiknya edelweiss yang bermekaran. Ya edelweiss, yang katanya bunga keabadian.

Kau tahu nona, gunung dan edelweiss adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan bukan? Seperti malam dengan bulan, seperti kumbang dengan bunga, dan juga seperti aku dengan kamu suatu saat nanti, Semoga
Tapi nona, kali ini edelweiss belum mau menampakkan paras cantiknya, mungkin masih malu karna kalah cantik dengan dirimu dan ia lebih memilih menutup diri.

Tapi jangan sedih nona, suatu saat nanti kau kan melihat mekarnya edelweiss di puncak itu, diatas awan, dengan hembusan angin puncak. Namun kau tak sendiri nona, ada aku yang menemani langkahmu, setelah itu, kita rajut sebuah cerita yang akan kita ceritakan saat tua nanti, kepada anak dan cucu kita, sampai bertemu kembali"

-Aku yang merindukanmu-

Jingga di Ujung SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang