Udin

114 11 4
                                    

Tidak ada dusta diantara laut dan rumahku, coba masuki dan selami, kau akan paham apa maknanya.

Tengah senja yang terpotong itu menyelimuti kegelisahan para pasir yang bersemayam di tepi pantai, berteman dengan pohon yang berbuah kelapa, mereka terus mendesir mengusir para burung untuk kembali pada huniannya. Suara ombak tak membangunkan udin yang terlelap bersandar diatas kayu, entah mengapa dia begitu lesu menunggu diiringi mengantuk setelah mendengar kabar bahwa para nelayan akan pulang setelah senja tertutup.

" Din... udinn... dinn... bangun liat tuh bapakku sudah datang " suara yang setengah terengah-engah itu datang dengan melambai-lambaikan tangan berlari pelan membangunkan udin yang terlelap menganga. " mana.. mana.. " setengah sadar udin langsung terbangun dan berdiri berlari meninggalkan karno yang tetap berdiri di tempat semula. "Dimana mereka no.. " sebelum melanjutkan pembicaraan, karno menyeka udin untuk berhenti bicara.

"Din..."
"Apa no, dimana mereka"
"Coba lihat aku"
"Apaan sih, dimana no aku harus segera membawa ikan pada emak"
"Ilermu din sampai nempel noh di pipi"
"Ah iya, makasih, ayo no pergi" Udin membersihkan pipi sebelah kanan
" Bukan din, yang kiri. Ah yaudahlah ayo din hahahah"

Dengan tertawa Karno meninggalkan Udin yang tengah membersihkan sisa iler di pipinya. Udin pun menyusul Karno sambil berlari dan pergi ke tempat para nelayan berlabuh.

Dengan melewati pasir putih yang sedikit demi sedikit terhempas angin senja, sementara suara adzan memanggil mereka untuk segera bergesah pulang ke rumah.

"Paman, apakah dapat banyak hari ini ikannya ?" Udin membantu ayah Karno beserta nelayan lainnya untuk menurunkan keranjang ikan hasil tangkapan. "Lumayan din, di keranjang yang itu untuk emakmu yang akan di jual ke pasar besok, sisanya milik pak Darma, Mpok Ati dan nelayan lainnya. Bilang ke emakmu ikannya ditimbang sendiri, aku sudah memperkirakannya." Pak Karso menurunkan keranjang ikan milik Udin dari perahu. " Baiklah terimakasih Pak, aku pulang ya No, selamat bekerja keras pak." Para nelayan berbalik menjawab salam Udin yang begitu lantang.

Udin telah dikenal sebagai anak yang ramah. Dia tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa sejak kecil dia tidak pernah bisa melihat bagaimana wajah, bentuk tubuh, bahkan sifat bapaknya. Seluruh warga mengetahuinya diiringi rasa iba kepada Sri yang tidak tahu berstatus janda atau istri yang ditinggal pergi.

Udin melewati lorong disekitar rumahnya yang sempit dan gelap, seakan matahari telah benar-benar pergi. Dia mencari sebuah lilin di saku celana yang biasa dibawanya jika hendak pulang setelah senja terbenam. Penerangan di desa slopeng memang kurang merata, hanya beberapa rumah penduduk yang lumayan berkecukupan terpasang lampu. Terkadang untuk sekedar mencari hiburan, warga sekitar masih bergantung pada rumah-rumah yang yang terdapat tv dari saluran antena, tentu saja itu rumah pak RT dan kepala desa. Jarak yang cukup jauh dari kota, desa ini memang sudah terbiasa menjadi terabaikan.

Dari sudut kegelapan, Sri mendengar suara kaki Udin yang telah pulang. Dia melongokkan kepalanya di ambang pintu, dan berjalan keluar rumahnya.

"Assalamualaikum" Udin berjalan masuk dan meletakkan keranjang ikan yang dibawanya ke dalam dapur.

"Waalaikumsalam, gimana din ikannya dapet banyak dari pak Karso?" Sarah memberikan segelas air minum pada Udin yang meletakkan tubuhnya bersandar pada kursi.

"Alhamdulillah mak lumayan, kata paman emak timbang sendiri ikannya, paman sudah memperkirakannya, sebelum dijual ke pasar besok. Tapi besok perpisahan sekolah Udin mak, emak gak mau datang?" Sri hanya tersenyum dan duduk kembali di atas sajadah putih untuk meneruskan zikirnya.

Udin selalu berusaha melakukan hal-hal yang terbaik untuk emaknya. Meskipun dia tahu bahwa emaknyalah yang menyembunyikan semua tentang bapaknya, hingga Udin memilih diam dan berhenti bertanya.

"Kamu sudah berhenti sholat din, sudah jadi orang sombong?" Mata Sri yang cokelat bening penuh tatapan megah memandang Udin yang sengaja berbaring melepas lelah. Udin terkejut dan berdiri menuju kamar mandi sambil bergumam pelan dalam hatinya, "emak sudah terbiasa mengolok-olokku seperti ini, hanya sebentar saja berbaring masak tidak boleh.

Udin terus berjalan menuruni lorong yang gelap untuk bertemu dengan kamar mandi di pojok kanan luar rumahnya.

Gimana ceritanya? Suka gak? Disini bukan hanya cinta nih ntar, ada kisah hidupnya juga loh.

Jangan lupa untuk follow penulis yahhh

Oh ya sebelum dibaca, boleh dong diberi suara dulu, di komen juga monggo, di share juga monggo, minta suaranya yah
Biar bisa lanjut

Terimakasih banyak :);)

Menggapai LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang