Bagian Kedua

6.7K 555 21
                                    

"Malam tidak pernah egois saat mencintai cahaya, selama memberi, segalanya akan menjadi mudah. Jangan menuntut balasan, cinta adalah suatu keikhlasan."

🎭🎭🎭🎭

PUNCAK kesenangan Deora sampai pada malam ini. Satu jam yang lalu, Daniel mengetuk rumahnya, memakai masker dan bersikap seperti pengantar makanan begitu tahu yang membukakan pintu untuknya adalah Afnamra, mama Deora.

Laki-laki itu sempat dipukuli oleh Afnam karena dianggap lancang. Jelas saja. Kalau Deora tadi yang membukakan pintu, dia akan melakukan hal yang sama. Coba tebak, pengantar makanan mana yang seenaknya masuk ke rumah pelanggannya dengan santai seolah Ia sudah melakukannya ribuan kali?

“Ra?” Daniel yang sedang memperhatikannya membersihkan piring kotor, memanggil.

“Kenapa?”

“Setelah berpikir cukup keras soal yang tadi, gue mendapat sebuah ilham.” Daniel memasang wajah serius, matanya tidak memunculkan binar humor yang biasa terlihat.

“Bukannya lo emang udah dapatin Ilham sebagai temen lo, ya?” Deora memasang wajah meremehkan.

“Gue dapat hidayah,” ralat Daniel, masih mempertahankan nada seriusnya.

“Sekarang lo selingkuh sama Hidayah adik kelas sepuluh IPA dua?” Deora selalu senang melihat wajah sebal Daniel.

“Sayang, kenapa sih cewek nggak pernah mau dengerin apa kata cowok?”

Mendengar nada yang tidak ada seriusnya sama sekali, raut wajah Daniel yang tertekuk, bibir mencebik, sementara rambut pomade dan jaket yang digulung sampai lengan, Deora tertawa keras-keras.

“Gue belum ngelawak,” rengek Daniel. “Padahal yang tadi itu lucu loh, Ra.”

“Selucu apa sih? Sini-sini cerita sama gue lo mau ngomong apa tadi?” Di sela-sela kalimatnya, Deora masih berusaha sekeras mungkin menahan tawanya.

“Bodo ah.” Daniel segera beranjak dari pintu halaman belakang, menutupnya, lalu duduk di meja makan. “Eh iya, besok lo ada tugas nggak?”

Menuangkan sabun cuci piring pada mangkoknya, Deora menyempatkan diri mengingat-ingat. “Cuman tugas matematika, dua soal pula. Besok aja nyalin di sekolah.”

“Heran terkadang gue. Dimana-mana itu, cewek yang nanyain cowoknya udah selesai tugas apa belum, nah di sini-sini, malah gue yang nanyain lo—“

“Daniel ganteng deh kalo nggak cerewet,” potong Deora, tersenyum lebar meletakkan semua piringnya yang sudah selesai dibasuh. Dia bergerak, memasukkan makanan yang dibawa Daniel.

“Muji kalo ada maunya doang,” cebik Daniel, kesal.

“Udah jam sembilan, lo nggak pulang?”

“Lupa ya, Ra?” Daniel malah bertanya balik.

“Lupa apa?”

“Malam ini kan malam jumat, gue perlu bantuan lo buat jaga lilin,” jawab Daniel. Gentian dia yang memasang senyum lebar.

“Gue masih mau ngurusin lekong-lekong gue yang mau nyetor.” Deora menampilkan wajah menyesal. “Ngepet sendiri aja, ya?”

“Babinya kan nggak ada, mana bisa gue ngepet,” ucap Daniel, sedih.

Segera, Deora menjitak kepala kekasihnya itu. “Kemarin bilang gue Gajah, terus tapir, terus bagong, terus tadi babu, sekarang jadi babi?”

“Jujur itu indah, Ra,” kata Deora, merasa tidak bersalah sama sekali.
Deora memegangi dagunya, sok mengelus seolah ia punya jenggot. “Selera lo rendah banget dong bisa suka sama binatang-binatang itu.”

Devolution GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang