PROLOG

17.2K 889 120
                                    

"Deora ... Gue boleh jujur?"

Saat itu kamu bicara padaku. Terdengar begitu manis karena matamu hanya mengedip sesekali. Kelereng cokelatmu itu menatapku intens. Aku ingin bertanya kenapa kamu melakukannya, tetapi hari itu, yang ada di pikiranku hanyalah menjawab semua pertanyaan dari kamu.

"Jujur aja, Dan. Biar dapet pahala." Aku tersenyum, apalagi kamu. Aku tidak tahu seberapa pentingnya obrolan ini. Tetapi, kamu tengah serius dan aku berusaha juga untuk serius.

"Gue ... mau dong jadi pacar lo, Ra. Daripada lo jomlo terus," katamu, tanpa tahu seberapa besar dampak kalimatmu barusan pada jantungku.

Dia berdetak aneh, Dan.

"Kenapa kamu mau?" Pertanyaan bodoh itu mengalir begitu saja dari mulutku. Asal kamu tahu, tadinya aku ingin mengatakan kalau aku tidak mau. Jadi pacar seseorang yang terkenal di sekolah benar-benar bukan impianku, Dan.

"Karena gue suka lo. Lo baik, cantik, selalu ada buat gue. Akhir akhir ini banyak kebetulan yang ngebuat gue deket sama lo, dan selama itu ... gue nyaman tuh sama lo." Kamu menatapku lebih dekat lagi. Membuatku sedikit ketakutan akan jarak kita yang tidak bisa dikatakan sedepa lagi. "Gue tau kok, dari pertama masuk lo naksir gue. Dari awal MOS, kan? Bahkan, waktu gue lupa bawa topi pas upacara lo rela ngasihin topi lo ke gue, supaya gue nggak dihukum, meski lo harus ambil resiko lo yang bakal dihukum."

Kamu tahu kabar itu darimana, Dan? Aku bahkan tidak ingat sama sekali aku memberitahunya kepada siapa saja. Yang jelas hari MOS itu aku menyelamatkanmu. Itu saja.

"Jangan sok jual mahal. Kalo lo suka sama gue, ayo barengan." Kamu masih berusaha, tidak jera meski harga dirimu sebagai cowok populer sekolah sudah runtuh karena menyatakan perasaan pada perempuan biasa sepertiku.

"Aku nggak suka sama kamu. Jangan besar kepala," elakku sambil memalingkan wajah. Gerogi karena kamu makin mendekat ke arahku.

"Kalau nanti cowok yang lo suka ini sedih karena ditolak sama lo, gimana?" Kamu menaikkan sebelah alismu. Menantangku untuk terus menjawab detail setiap pertanyaanmu. "Bukannya lo bilang, Cinta itu bukan perasaan. Dia simbolis. Saat lo suka sama seseorang dan nggak pengen liat dia nangis, itu simbol kalau lo cinta ke dia."

Bahkan, itu adalah status Facebook-ku beberapa tahun lalu. Saat aku duduk di kelas tujuh dan mencoba keahlian sastraku yang ternyata payah.

Untuk yang kesekian kalinya, Dan. Kamu tau itu darimana?

"Jadi, lo mau jadi pacar gue?"

Kalau kamu tau perasaanku saat itu. Berbohong bukanlah pilihan yang wajar. Aku sudah sering mendengar curhatan teman-temanku tentang seberapa menyesalnya mereka menolak seseorang. Aku ... aku juga tidak ingin menolak.

Maka hari itu, mempertaruhkan semuanya, aku tersenyum. "Aku mau jadi pacar kamu."

Mendadak, senyum kamu memudar. Aku tidak tahu kenapa. Seharusnya kamu senang karena kita resmi berpacaran hari itu. Harusnya kamu senang karena kamu tidak akan ditolak olehku.

Tetapi, belum selesai aku berpikir tentang perubahan ekspresimu, tahu-tahu saja kamu memelukku.

Membuat aku terkejut.

Lalu kamu berbisik lirih. "Tapi, gue punya satu permintaan."

"Apa?"

"Meskipun kita pacaran, gue bohong. Gue nggak suka sama lo. Gue nggak cinta sama lo. Gue cuma butuh status. Gue punya pacar lain, dia lagi koma dan nggak tau kapan sadar. Dan menjelang dia sembuh, lo ... pelarian gue. Gue minta lo ikut ekskul cheers dan gue minta jangan pernah bahas ini. Lo nggak boleh selingkuh dari gue."

"Kamu ... punya pacar lain? Aku cuma pelampiasan? Untuk berapa lama?"

"Sampai Devita sembuh."

"Aku jadi selingkuhan kamu berarti?"

"Kenapa? Emang lo cantik buat dijadiin pacar pertama?"

Lucu ya, Dan. Bodohnya hari itu, aku mencintai kamu. Aku memberikan hati pada orang yang jelas-jelas mengatakan bahwa dia tak suka aku. Kamu memberi aku harapan lalu setelahnya memberitahu kalau aku hanyalah sebuah pelampiasan.

Sejauh apapun kamu nanti berjalan, tujuanmu bukanlah aku.

Kamu cinta Devita.

Aku ... cinta kamu.

Devita? Cinta kamu juga, kan?

Dan, Tuhan?

Takdir lucu Dan. Selucu perasaan bodohku padamu.

Devolution GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang