Bagian Ketiga

5.4K 504 22
                                    

"Meski bukan aku, tolong berbahagialah selalu. Sebab senyummu, penawar patah hatiku."

🎭🎭🎭🎭

PAPAN tulis yang kini penuh dengan aritmatika stoikometri kimia yang baru saja dijelaskan oleh bu Jus seharusnya tampak jelas untuk pandangan mata Deora yang masih sehat walafiat.

Sama sekali, tidak ada cacat atau rabun yang menyerang matanya sejak terakhir kali dicek tiga bulan yang lalu. Deora sangat yakin itu. Tetapi, hari ini, tubuhnya didera demam dan pandangan matanya berkunang-kunang.

Mungkin ini efek dari tubuhnya yang terlalu letih, dipaksakan bekerja, dilanjutkan dengan begadang. Seharusnya Deora tidak menganiaya tubuhnya sendiri.

Aurel yang duduk di sampingnya segera merapatkan wajah. Tangannya terulur memeriksa suhu tubuh Deora. “Ish, Ra. Ini udah panas banget, gue nggak mau jadi tersangka yang dituduh bunuh lo karena nggak cepet-cepet bawa lo ke UKS. Lagian, lagi demam kenapa maksain ke sekolah, sih?”

Deora menenggelamkan kepalanya. “Nanti kan ada matematika, Rel.”

Masih tidak bisa tenang, Aurel berbisik pada Frans yang sedang fokus pada penjelasan guru di depan. “Pssttt.”

“Apa?” tanya Frans, menaikkan alis.

“Pinjem jaket, dong.” Aurel memasang wajah memohon, agar pacarnya itu mengabulkan keinginannya.

Setelah memastikan bahwa bu Jus tidak akan melihat kelakuannya, Frans segera melempar jaket itu. Untungnya langsung ditangkap oleh Aurel.

“Pake jaket dulu, Ra. Badan lo panas tapi bulu kuduk lo naik-naik,” komentar Aurel pada keadaan Deora. Dengan bantuannya, Deora mengenakan pelan-pelan jaket milik Frans itu.

“Aurellia? Deora?” Suara Bu Jus yang memanggil membuat Aurel segera berseru ‘mampus’ sambil memejamkan mata.

“I-iya, Bu?” sahut Aurel takut-takut. Beberapa meter, Frans yang memperhatikan hanya mampu cekikikan melihat pacarnya itu dalam bahaya besar.

“Saya baru saja menyuruh kamu menyalin apa yang saya jelaskan ke catatan, sudah kamu lakukan?”

Aurel meneguk ludah. Catatannya masih kosong melompong karena sejak tadi ia tidak fokus. Hawa panas dari tubuh Deora cukup membuatnya gelisah. “A-a-nu, Bu. Deora badannya panas banget, jadi saya mau nyariin kompres gitu, jadi belum sempet nyalin—“

Pandangan bu Jus langsung beralih pada Deora yang sudah menegakkan kepala. Wanita galak itu langsung memegangi kening Deora.

“Kamu mau bunuh temen kamu ya, Aurellia?” Nada bu Jus naik dua oktaf. “Kenapa nggak kamu anterin ke UKS daritadi?!”

Aurel menggigit bibir. Terpaksa dia harus menjawab seadanya. “Kan ibu yang bilang selama pelajaran Kimia dilarang permisi.”

“Ini beda permasalahan, teman kamu sedang sakit.” Bu Jus geleng-geleng kepala. “Cepat, bawa dia ke UKS.”

Aurel mengangguk. “Permisi, Bu.”

Ketika keluar dari keras, Aurel mulai melakukan celotehan panjangnya.

“Dasar ibu-ibu kekenyangan atom, maksudnya tuh apa coba nyalah-nyalahin gue? Waktu itu dia yang bilang kalau selama pelajaran dia dilarang permisi apapun itu kepentingannya. Bahkan waktu gue sama Frans dulu mau permisi sebentar buat ngumpul masalah taekwondo, dia nggak ngebolehin. Atau si Geska deh, yang bocor di kelas terus mau beli pembalut di koperasi, juga nggak dibolehin sama dia.

“Ha, Ra? Lo juga ingat kan pas yang kita ada seminar mendadak terus anak kelas dua belas IPA pada disuruh ngumpul di lapangan? Lo ingat dia ngelarang kita buat ikut seminar. Itu padahal amandat langsung dari kepala sekolah. Dan alhasil dari sepuluh lokal anak IPA, cuman kelas kita yang tetap belajar. Terus tadi dia bilang kalau gue yang salah nggak mau permisi?

Devolution GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang