ENDING

7K 384 17
                                    


Munich, Awal Februari....

Langit di luar sana begitu kelabu. Suhu di bawah 0 derajat membuat suasana terasa membeku.

Kalau sudah begini, sudah hampir dapat dipastikan semua orang akan lebih merasa nyaman jika meringkuk di dekat pemanas ruangan.

Begitupun Daffa, darah tropisnya yang terbiasa hangat harus mencoba beradaptasi di negeri orang tempat ia menimba ilmu. Malah dulu ia sempat mimisan karena belum terbiasa dengan cuaca se-ekstrem itu.

Sambil membungkus tubuhnya dengan selimut tebal, ia menatap ke luar jendela apartemennya.

Salju kembali turun. Menari-nari bak kapas putih yang akan membeku di permukaan bumi.

Lapisan tipis salju itu menutupi atap-atap gedung dan bangunan lainnya bagaikan glasur di atas cake.

Sesekali dihembus dan digosok-gosokkannya kedua telapak tangan agar kembali hangat. Secangkir cappuccino hangat pun sudah habis direguknya tadi.

Sejurus kemudian ia merasa beruntung, dalam kondisi tubuh yang kurang fit hari itu ia sedang tak ada kuliah.

Ia tak perlu repot-repot melewati jalanan bersalju yang licin dan sulit dilewati kendaraan.

Bahkan Karl, teman satu apartemen yang berasal dari Bremen dan sama-sama sedang menuntut ilmu di sebuah universitas teknik terkemuka di kota itu harus menggunakan papan ski.

Alasannya agar bisa lebih praktis dan cepat sampai di kampus. Tapi tidak dengan Ahmed, teman satu apartemennya yang lain.

Anak pedagang dari Turki itu lebih memilih ber-jogging, agar badannya lebih terasa hangat ketika tiba di kampus nanti.

Kadang Daffa hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum geli melihat tingkah polah teman-temannya yang unik-unik.

Namun itulah perbedaan yang justru membuat mereka sudah seperti saudara satu dengan lainnya.

Daffa menepuk-nepuk perut. Sepertinya cacing-cacing di dalamnya sudah mulai paduan suara lagi.

Padahal, sejam sebelumnya sejenis hotdog dari daging sapi sudah habis dijejalnya ke dalam perut.

Winter memang selalu membuat bobotnya bertambah. Karena udara yang dingin membuat napsu makannya jadi gila-gilaan.

Sepertinya ide kedua temannya untuk berselancar ataupun jogging menuju kampus bisa jadi solusi diet yang lumayan bagus. Lagi-lagi Daffa hanya mampu tersenyum geli dengan ide yang tiba-tiba muncul itu.

Belum lagi ia melangkah menuju dapur, bunyi bel membuatnya terpaksa menunda untuk merebus Mie Instan.

Hari ini ia memang sedang segan memasak lauk-laukan. Hanya ingin yang praktis berhubung tubuhnya pun sedang kurang fit.

Hmmm, mungkin itu Emma..., bisik batin Daffa. Emma adalah pacar Karl.

Gadis itu biasanya sering datang untuk mengambil pakaian kotor milik Karl yang akan dibawanya ke laundry.

Emma memang gadis yang baik hati dan ia juga sering memasakkan mereka makanan-makanan saat weekend.

Kadang-kadang Daffa sedikit iri melihat hubungan Karl dan Emma yang penuh pengertian dan cukup romantis.

Dalam lubuk hatinya yang terdalam, ia pun ingin sekali bisa menikmati segala keindahan itu dengan seseorang yang sampai detik ini masih terus menghiasi hati dan pikirannya....

Seseorang yang mungkin takkan pernah mengharapkan kehadirannya....

Daffa membuka daun pintu tanpa mengintip lagi siapa yang datang.

Namun... seketika itu juga, ia langsung terperanjat!

Seolah tak percaya pada pandangannya sendiri, hingga harus mengucek-ngucek mata.

Seorang wanita....
dan bukan sosok Emma seperti yang diperkirakannya..... Sontak jantungnya berdegup kencang dan berharap itu semua bukan mimpi....

"RIN...JANI...?!!" ucapnya lebih serupa desisan.

Bibirnya terasa bergetar saat mengucapkannya. Sebagai gambaran rasa, betapa ia tak menyangka seseorang yang diidamkannya barusan telah muncul di depan mata.

"A.... apa aku gak sedang bermimpi?"

Gadis itu tersenyum lembut. Manis sekali. Senyum yang masih selalu dirindukannya karena telah lama tak bersua. Membuat gejolak di dada Daffa semakin bergemuruh. Ia menjadi salah tingkah.

"Ini benar-benar aku, Mas.... Gimana kabar Mas Daffa? Mudah-mudahan Mas gak keberatan dengan kedatanganku ini....."

Rinjani tampak sedikit menunduk ketika mengucapkannya.

Ada semburat merona yang mewarnai pipinya. Bahkan matanya sedikit mulai berkaca-kaca. Itu semua membuatnya semakin cantik di mata Daffa.

Belum lagi sempat menjawab, sekilas mata Daffa menangkap sebuah benda yang menjuntai indah di leher jenjang gadis itu.

Benda yang beberapa waktu yang lalu ia berikan sebagai kado ulang tahun Rinjani.

Betapa Daffa benar-benar tak menyangka jika kini Rinjani benar-benar memakainya.....

"Rin... Kalung itu...."
Ucapan Daffa terpotong saat Rinjani menempelkan telunjuknya di bibir Daffa.

Selanjutnya Daffa semakin terperangah ketika tubuh Rinjani segera menghambur dalam pelukannya.

Membuncahkan tangis yang tak sanggup ia tahan lagi.

Daffa yang semula masih kebingungan, langsung membalas pelukan Rinjani dengan erat, seolah tak ingin dilepaskannya lagi.

Meski terbata-bata, sebuah bisikan lembut Rinjani pun terasa begitu syahdu menyapa pendengarannya...

"Hanya satu kalimat.... dalam bahasa Jerman ini yang kuketahui.... dan hanya ingin kuucapkan untukmu, Mas.... ICH LIEBE DICH....."

Tak pelak, seketika itu juga, airmata 'bodoh' itu mulai menetes kembali di pipi Daffa, yang membuat seluruh sel-sel di tubuhnya serasa 'hidup' kembali.

Bahkan hawa dingin kota Munich yang menggigit siang itu pun tak mampu lagi menembus kehangatan jiwanya saat memeluk Rinjani....




- TAMAT -

Rinjani (cerpen )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang