5

4.6K 253 1
                                    




Hati Daffa benar-benar tak tenang. Beberapa mobil di depannya berhasil disalip. Bahkan, ia sudah tak peduli dengan nyawanya sendiri. Walaupun tadi ia terpaksa keluar lewat gerbang belakang untuk menghindari para pemburu berita, ia harus segera menemukan sang istri. Firasatnya buruk!

Sesaat kemudian, matanya tertuju pada sebuah kerumunan orang-orang di pinggir jalan kecil. Dengan rasa penasaran ia menepikan mobilnya, lalu ikut mendekati kerumunan orang-orang yang riuh rendah di sekitar tempat itu.

"Ada apa, Pak? Kok rame banget?" tanyanya pada seorang laki-laki setengah baya.

"Barusan ada cewek ditikam, Mas.... Kejadiannya cepet banget!" Dengan penuh semangat laki-laki itu bercerita. Belum lagi usai penjelasan si bapak, Daffa langsung menerobos kerumunan di depannya. Pikirannya semakin tak menentu. Apalagi ketika matanya menangkap sosok seorang perempuan yang tergeletak tak berdaya, bersimbah darah di atas trotoar. Sosok yang sangat ia kenali.... Rinjani, istrinya!

"Ya Tuhan!!! Rinjaniiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!!!!...!" pekiknya.

Refleks Daffa segera mendekap tubuh perempuan itu dengan panik. Tangan Daffa mengusap-usap wajah istrinya yang memucat. Rinjani tampak sudah hampir tak sadarkan diri. Matanya semakin sayu dan nafasnya satu-satu.

"Rin.... kenapa bisa begini?"

Bibir Rinjani yang terkatup sedikit bergerak. Seperti ada yang ingin diucapkannya. Daffa mendekatkan telinganya ke bibir istrinya.

"Mas.....," bisik perempuan itu hampir serupa desisan. "Ma...afin aku...."

"Rin... kamu harus kuat... kita ke rumah sakit sekarang!" seru Daffa semakin panik melihat mata Rinjani yang hampir mengatup. Ia sudah tak peduli pakaian dan tangannya ikut berlumuran darah sang istri.

Suasana kerumunan itu semakin riuh saja. Namun tak ada satupun orang yang berani mendekati, mereka hanya berdiri dan menonton di sekitar TKP. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara sirine ambulans meraung-raung menembus kelabunya langit sore hari.


**

Laki-laki itu menyandarkan tubuh jangkungnya pada dinding rumah sakit yang dingin. Pikirannya sedang tak menentu.

Firasat buruknya benar-benar menjadi kenyataan tadi!

Saat ini ia masih terus menanti keterangan dokter mengenai kondisi istrinya. Tak terpikirkan sama sekali untuk menyalin pakaiannya yang penuh noda darah.

Sesaat kemudian, tampak seorang gadis mendekatinya sambil mengangsurkan segelas kopi hangat.

"Minum dulu, Mas Daffa..."

"Makasi ya, Diz....," ucap laki-laki itu tersenyum tulus. Sejenak Daffa menghirup kopi itu, coba menikmati hangat yang mengalir perlahan menyentuh biru hatinya.

Diza mengangguk pelan. Ia merasa bodoh. Sebagai sahabat Rinjani ia merasa tak mampu berbuat sesuatu yang berguna saat itu.

Dipandanginya sekilas laki-laki di sampingnya. Sebenarnya ia sangat iba melihat suami sahabatnya itu. Daffa tampak lusuh. Wajah tampannya tak bersinar seperti biasa.

Menyiratkan kedukaan yang dalam meski tak terucap di bibirnya. Namun Diza sendiri tak mengerti harus melakukan apalagi selain ikut menunggu dengan berjuta resah.

"Mas belum makan malam kan? Mas Daffa kelihatan lemas banget.... Apalagi tadi udah ngedonor darah untuk Rinjani.... Aku belikan makanan sebentar ya...?" tawar Diza sambil bangkit dari duduknya.

Daffa menggeleng pelan. "Makasiii, Diz... Tapi kebetulan aku belum lapar..."

"Hmmm... baiklah... kalau gitu aku bawakan baju salin aja ya? Aku mau sekalian pulang ke rumah sebentar. Oh ya, tante dan om Rizal kira-kira kapan tibanya ya Mas?"

"Mungkin besok pagi, Diz. Penerbangan dari Vancouver tertunda beberapa jam karena cuaca buruk," sahut Daffa pelan.

Wajah laki-laki itu tampak semakin muram. Entah mengapa, selintas saja Diza bisa langsung merasakan, sesuatu yang lebih berat akan segera terjadi!


***


Plakkk!!!

Tamparan keras itu membuat Daffa terperangah. Wajah laki-laki setengah baya di hadapannya itu memerah padam. Begitu buas seolah siap menerkam. Namun Daffa tak mampu bereaksi apapun, selain terdiam. Ayah mertuanya bagai ayah kandungnya sendiri. Maka apapun yang dilakukan Papi, ia rela menerimanya dengan lapang dada.

"Papi! Cukup, Pi...." Mami segera menahan lengan Papi. Sambil menangis sesunggukan, wanita itu berusaha memujuk suaminya untuk duduk kembali. "Ingat hipertensimu, Pi...."

Pujukan Mami terlihat sedikit membuahkan hasil. Laki-laki itu berusaha menahan emosinya yang meledak-ledak sambil menghempaskan tubuhnya di bangku rumah sakit. Mami pun menyusutkan air matanya dengan sehelai tisu.

"Rinjani koma....," lanjut Papi dengan suara lebih tenang. "Kau tahu kan betapa berharganya dia buat kami? Gimana mungkin seorang penggemar fanatik Robby bisa dengan leluasa menikam anakku? Seharusnya kau tak membiarkan ini terjadi, Daffa! Gosip affair itu dan insiden penikaman kemarin menunjukkan bahwa kau tak mampu menjaga Rinjani dengan baik. Di mana tanggungjawabmu sebagai seorang suami?"

"Maafkan saya, Pi... Ini memang kelalaian saya menjaga Rinjani..."

 Daffa hanya mampu tertunduk pilu. Namun ia lebih tak menyangka lagi ketika kalimat Papi selanjutnya justru kian menghujam jantungnya, detik itu juga.

"Papi sudah dengar tentang keluhan Rinjani pada Mami beberapa hari yang lalu. Kemungkinan besar setelah Rinjani tersadar dari komanya nanti, kami akan membawanya ke Canada. Pengacaraku akan segera mengurusi perceraian kalian!!!"

Bagai tersambar petir, sontak tubuh Daffa bak kehilangan daya. Perlahan ia mengangkat wajah, menatap ke manik mata ayah mertuanya. Seolah mencari kepastian apakah ia tak salah mendengar.

"Papi!! Apa-apaan ini?" seru Mami tak kalah kaget.

Saat itu juga, Daffa merasa telah berada di ujung asa. Namun tiba-tiba saja, sebuah kalimat terlontar begitu saja dari bibirnya yang gemetar menahan huru-hara di jiwa.

"Saya mohon, Pi, berikan saya kesempatan sekali lagi untuk membuktikan bahwa saya mampu membahagiakan Rinjani....."

****

Tbc

Rinjani (cerpen )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang