1

15.5K 383 0
                                    

Hingar-bingar, kepulan asap rokok, gerak-gerak tubuh bergelora seirama hentakan cepat musik sang DJ menyatu padu dalam ruangan itu. Suasana remang-remang yang ditaburi kilatan cahaya warna-warni dari lampu bak bola kristal memacu setiap orang terhanyut untuk melepas segala penatnya di lantai dansa. Semua berpesta menjelang dini hari tiba.

Di satu sisi ruangan, seorang wanita cantik tampak terkulai di meja bar. Sebelah tangannya masih menimang-nimang segelas cairan beralkohol. Lalu dicecapnya kembali cairan itu dengan sekali teguk. Rasanya memang getir, namun mampu membuatnya merasa terbang melayang seperti tak berpijak di bumi, meninggalkan semua kekalutan pikirannya yang terasa membelit berhari-hari.

"Tambahin lagi, Mas.....," Gadis itu menyorongkan gelas kosongnya ke arah seorang bartender pria. Namun sang bartender tersebut tampak ragu. Ini sudah entah ke berapa kalinya si gadis cantik minta gelasnya kembali diisi.

Tiba-tiba seorang wanita menyambar gelas kosong itu. "Rin, cukup!! Loe udah terlalu mabuk.... Ayo, gue antar loe pulang sekarang!"

"Hah? Pulang? Hahahaha... seharusnya loe ngerti kalo gue lebih suka di sini daripada pulang.... Gue cuma pengen hepi-hepi all nite long, Diza......." Gadis itu kembali meracau. Sesekali ia cegukan, sesekali ia tertawa-tawa sendiri.

Wanita yang dipanggil Diza itu menatap sahabatnya dengan prihatin. Ada rasa penyesalan terbit di benaknya. "Tapi Rinjani.... , ini udah hampir dini hari. Suamimu...."

"Ssssttt... No.. Nooo....," potong gadis itu cepat. Ia mengibas-ngibaskan telunjuknya di depan wajah Diza "Gak ada tapi-tapi, Dizaaaa...... gak ada suami-suamian.... Gue gak pernah cinta dia.... hiks"

Diza menghela napas panjang. Berkali-kali sudah bibir Rinjani mengatakan bahwa ia tak pernah mencintai suaminya, bahkan dalam kondisi mabuk seperti itu. Sekilas sudut mata Diza menangkap kelap-kelip layar ponsel Rinjani yang tergeletak di atas meja bar. Dering ponsel itu tak kedengaran karena tertelan kebisingan suasana diskotik.

DAFFA calling...

Diza menggigit bibirnya. Bimbang. Haruskah panggilan itu dijawabnya? Setelah berpikir sejenak, Diza memutuskan untuk mengangkatnya, mengabarkan apa yang sedang terjadi....

*

Sinar mentari menembus kisi-kisi jendela kamar. Rinjani merasakan tubuhnya masih lemas dan kepala berat seperti habis dipukul godam. Sepertinya sisa-sisa mabuk semalam masih membuat kesadarannya belum pulih benar pagi itu.

Setelah beberapa menit kemudian, baru ia tersadar kalau tubuhnya sudah berada di atas tempat tidur empuk di dalam kamarnya. Aaaah, apa yang terjadi semalam? Rinjani memutar otak, berusaha mengingat-ingat semua kejadian semalam. Namun tampaknya sia-sia. Yang ia ingat hanya ia dijemput Diza untuk datang ke pesta ulang tahun Vita, teman kuliah mereka, di sebuah tempat clubbing terkenal. Meski tampak keberatan, Daffa, suaminya tetap mengizinkan.

Huuuu, salah sendiri gak gaul...!! Rinjani melengos saat terlintas wajah suaminya dipikirannya. Hanya buku-buku tebal, laptop, dan catur-lah yang mungkin menjadi minat Daffa. Huuftt... benar-benar membosankan orang itu! rutuk Rinjani. Ia sendiri bingung mengapa kedua orangtuanya rela menjodohkan dan menikahkannya dua bulan yang lalu, dengan pria yang lebih tua 8 tahun darinya itu. Ia masih sangat muda, masih 20 tahun dan tentu saja masih kuliah. Ia masih ingin hepi-hepi, foya-foya sesukanya.

"Papi dan mami udah lelah rasanya melihat tingkah manja dan keras kepalamu itu, Rin! Papi gak setuju kalau kamu masih juga berhubungan dengan Robby. Dia bukan laki-laki yang baik untukmu!!! Kalau kamu masih tetap gak mau ikut ke Canada, kamu harus menikah dengan seseorang yang telah papi pilihkan. Namanya Daffa!!!" Doktrin papi saat itu masih terngiang-ngiang di kupingnya. Sesak darahnya sudah hampir mencapai ubun-ubun! Ia merasa tak terima dengan keotoriteran papi. Ingin sekali ia segera melesat jauh entah kemana meninggalkan kedua orangtuanya detik itu juga. Namun tangis mami memasung langkahnya.

Mami jatuh sakit melihat perseteruan ayah dan anak semata wayangnya. Rinjani begitu menyesal. Demi memenuhi permintaan mami, terpaksa ia berusaha melumpuhkan egonya dan akhirnya bersedia menikah dengan Daffa. "Daffa itu anak asuh mami dan papi, Sayang. Kami sudah mengenalnya sejak dulu. Ia anak yang baik dan bertanggungjawab. Kami akan merasa tenang bila menyerahkanmu padanya." Itulah sebaris kalimat ampuh mami yang mampu melunakkan karang di hati Rinjani.

So what??? Apa lantas sekarang laki-laki membosankan itu yang berhak mengatur hidupku? NO....!!! Rinjani menggeleng-geleng kepalanya berusaha menepis bayangan laki-laki itu. Tapiii... hei... siapa yang mengganti pakaianku? Jelas-jelas ia sudah berbalut piyama, pasti ada seseorang yang menggantikan pakaiannya semalam! Rinjani langsung meraba tubuhnya dengan panik. Cepat-cepat diangkatnya selimut dengan wajah cemas. Baru sejenak kemudian Rinjani mampu bernapas lega. Tak ada noda darah tercecer di pakaian dan di seprai. Sontak semburat merah meronai pipinya. Ia malu hati karena telah berprasangka. Ternyata laki-laki itu masih memegang janji untuk tidak 'menyentuhnya'....

**

Rinjani tahu Diza sedang berjuang menahan tawa. Memang ada hal tak biasa yang terjadi pada diri Rinjani siang itu. Kotak bekal. Ya, Rinjani mengeluarkan sebuah kotak bekal dari dalam tasnya. Sekotak nasi goreng sosis dengan telur dadar berhias 'Love' dari saus sambel tersaji di atas meja kantin kampus.

"Pasti bukan loe yang masak!" tuduh Diza kejam. Senyum geli masih tergambar di wajahnya.

"Memang bukan... Seperti hari-hari kemarin... laki-laki itu yang memasakkan..." jawab Rinjani seenak udelnya.

"Hey... laki-laki itu suami loe, Say! Dan dia punya nama. Daffa.... Dasarr loe istri gak sopan!" Diza menuding telunjuknya di dahi sahabatnya. "Bukannya bersyukur punya suami sebaik Daffa... ck.ck.ck.. kalo bukan dia yang semalem ngegendong loe yang lagi mabok, udah gue seret loe keluar dari diskotek..."

Rinjani memutar bola matanya. "Toh, gue gak pernah tuh minta dia ngelakuin ini-itu buat gue. Bangun tidur udah ada aja sarapan terhidang manis di atas meja makan. Tadi udah telat, makanya gue jadiin bekel aja. Lagian dianya sih yang mau repot. Padahal kan bisa aja bayar pembokat buat ngurusin rumah... But, bentar, Diz...! Apa bener semalem dia jemput gue pulang?"

"Ya iyalah... siapa lagi? Loe pikir gue bakal nelepon Robby? Oh, Nooo.... gue gak jamin loe bakal dianter utuh sampe di rumah, yang ada loe digiringnya ke hotel..." sahut Diza sambil menyeruput jus alpukatnya.

Bibir Rinjani langsung merengut. "Gilingan loe! Gak mungkin juga kaleee Robby ngelakuin itu ke gue! Selama ini dia gak pernah berbuat yang aneh-aneh ama gue..."

"Heh, Non! Siapa sih yang gak kenal Robby Jayadi? Cinta pertama loe itu punya track record yang gak bagus! Lho kan tau kehidupan seleb gimana?"

"Kan gak semua seleb kehidupannya glamour, Diz?"

"He-eh, kita aja yang bukan seleb tapi punya kehidupan glamour. Clubbing, shopping... Gitu kan?"

"Dizaaaaa..... maksud gue... semua itu kan hanya isu yang dihembuskan oleh orang-orang yang sirik ama kariernya..."

"Yeee... cowok gitu masih aja loe bela!" Diza melempar senyum separuh. Kemudian bibirnya menuding ke arah kotak bekal Rinjani yang belum terjamah. "Kayaknya nasgor loe memanggil-manggil gue juga tuh. Yuuuk... kita rayakan ke-tumben-an loe membawa bekal ke kampus... hehehe"

"Eitttsss... bentar dulu, Buuuk....." Rinjani menyilangkan sendoknya di depan Diza, menghambat sebentar napsu sahabatnya itu yang sudah siap 'menghajar' bekal nasgornya. "Loe harus janji temenin gue ketemu Robby di Cozy Caffe ntar sore ya.... Robby baru pulang tur ama band-nya, Diz. Dia bener-bener nyediain waktu khusus untuk ketemu gue... "

Kontan mata Diza membelalak. "Gila loe, Rin! Loe udah istri orang! Masa masih mau ketemu mantan? Waaaah, gue gak berani deeeeh..."

"Diz.... pliiiizzz.... masa loe tega sih? Kan lebih baek bertiga ama loe, daripada berduaan aja dengan Robby..." Rinjani menggelayut manja di lengan Diza. Merayu sahabatnya sekuat tenaga. "Ya..? Ya..? Ya...?"

"Ya tapi kan tetep aja judulnya ketemu mantan... gimana perasaan Mas Daffa kalo tau istrinya sengaja datang ke Cafe untuk nge-date ama mantannya? Bahkan tanpa sepengetahuan dia pula.... Oh, Noooo....," sahut Diza cepat. "Gue gak mau terlibat ama cinta segitiga ini, Rin. Gue cuma mendoakan semoga Tuhan membukakan mata hati loe supaya nyadar betapa beruntungnya loe ngedapatin suami sesabar dan sepengertian Mas Daffa.... "

Rinjani sontak terhenyak. Selera makannya lenyap seketika. Ia merasa sedang berdiri di sebuah persimpangan. Menjaga hati pada sang suami yang tak dicintai, ataukah harus menjemput cintanya pada Robby yang tak pernah direstui? Rinjani pun hanya mampu terdiam....

Tbc.

Rinjani (cerpen )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang