Tujuh.

18 1 0
                                    

Padahal, Putri sudah memutuskan untuk tidak ikut campur lagi kedalam urusan yang rumit ini. Tapi kenapa tiba-tiba Kak Tari mengajak ke rumahnya untuk mengetahui suatu hal? Apa itu bukan paksaan untuk membuka kembali pintu penasaran putri terhadap masalah ini? Yasudah, mau diapakan. Lagian, Putri juga sebenarnya masih ingin benar-benar tahu semuanya. Sore itupun dia memutuskan untuk ke rumah Kak Tari. Belum terlalu sore sih, sekitar jam empat, selesai ia mengerjakan tugas kelompok dengan Rena. Ia pun berangkat ke rumah kak Tari dengan menggunakan ojek online. Sendirian. Dan sebelumnya, Putri sudah meminta alamat Kak Tari, supaya gak nyasar.

Pukul empat lima belas menit, ia sudah tiba di depan rumah kak Tari. Rumah yang bisa dibilang sedang ukurannya. Terlihat rapih dengan taman kecil yang diisi berbagai macam jenis tanaman bunga di depan rumahnya. Berpagar besi berwarna hitam, lumayan tinggi. Terdapat bel kecil di tembok pagar sebelah kanan. Tak perlu menunggu, Putri langsung menekan tombol itu. Kak Tari langsung menyambut dengan antusias. Ia sudah menunggu tamu satu-satunya disore itu.

"Bentar, aku buka pagar dulu." Kata Kak Tari sumringah

"Hehe, iya kak." Balas Putri. Pagar pun berdenyit pelan.

Pagar sudah terbuka, Kak Tari memunculkan seluruh badannya dari balik pagar. "Ku kira kamu bakal kesini agak siangan. Aku nungguin kamu tahu."

"Hehe, oh iya, maaf kak. Tadi ada tugas kelompok, mangkanya agak Sorean pulangnya." Balas Putri yang masih berdiri di depan lintasan pagar.

"Oh yaudah gapapa, yuk masuk." Kata Kak Tari yang langsung menggiring Putri. Digenggam pula tangannya. Iapun mengekor.

Sebelum masuk ke dalam rumah, fokus putri berpindah karena seekor kucing berbulu abu-abu tebal yang melesat ke salah satu ruangan.

"Itu kucingku, pemalu. Biasanya dia langsung lari ke kamar."

Putri langsung tersenyum. Lalu tanpa basa-basi lagi, mereka pun beranjak ke kamar. Putri masih mengekor.

Sesampainya di kamar, Kak Tari mempersilahkan Putri untuk duduk dimanapun ia suka. Asalkan jangan diatas lemari. Sebab Bisa rubuh.

Kamar kak Tari bisa dibilang rapih. Seperti kamar perempuan pada umumnya. Hanya saja, temboknya hanya berwarna putih. Bukan pink ataupun merah kuning hijau. Sepertinya Kak Tari memang lebih suka suasana yang terkesan natural.

Putri memilih duduk di lantai kamar. Letaknya diantara kasur dan meja belajar. Tak jauh dari situ juga ada rak buku koleksi Kak Tari. Jumlahnya lumayan banyak, yaa walaupun masih belum sebanyak koleksi putri. Kak Tari juga duduk disampingnya.

"Kak Tari, ada apa? Tumben, kakak nyuruh aku main kesini."

"Hehe, ya iseng aja. Supaya kamu tahu rumah aku." Kak Tari balas bercanda.

"Dih Kakakkk..." Balas gemas Putri sembari melotot.

"Hehehe." Balas Kak Tari, "Kamu itu orangnya pengen tahu banget ya, baru juga nyampe, langsung nanya beginian hehehe."

"Eh? Aku salah ya? Maaf-maaf kak.."

"Enggak kok, gapapa." Balas Kak Tari dengan senyum. "Kayaknya aku emang harus nyeritain ini deh, Put."

"Nyertain apa kak?" Putri langsung penasaran. Apalagi Kak Tari memasang gimik wajah seperti itu.

"Soal Sabtu kemarin. Rasanya, kamu emang harus tahu banyak hal soal ini. Aku tahu kamu itu penasaran. Tapi ya kamu malu buat nyari tahu, kan?"

Putri mati kutu. Apa yang dibilang Kak Tari benar. Tapi ia sudah berjanji untuk tidak ikut campur lagi masalah ini. Tapi apakah dalam kondisi seperti ini ia bisa mempertahankan janjinya untuk tidak ikut campur?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Don't Look BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang