PROLOG

14 1 0
                                    


Langit masih tetap kelabu, tak  peduli berapa lama pun ia menangis. Angin tetap bersiul kencang menempa tubuhku yang bahkan sudah  tak sanggup untuk bertahan. Batu besar sewarna langit kelabu di depanku pun demikian. Batu  itu tetap terukir seperti sebelumnya. Meski sangat aku berharap, nama yang terukir di batu itu dapat berubah. Kematian tetaplah kematian, dan perpisahan tetaplah perpisahan.

Berbeda dengan cahaya yang memperlukan kegelapan untuk keberadaanya, pertemuan tidaklah begitu. Ia tak memperlukan perpisahaan agar ada. Tanpa adanya perpisahanpun, pertemuan akan  tetap ada. Lalu, mengapa harus ada perpisahan? Jika pertemuan bisa berdiri sendiri?

Bagaimana mungkin dia berani meninggalkan aku? Kenapa dia bisa meninggalkan aku?

Pertanyaan semacam  itu terasa terus saja mengalir di pikiranku, berputar – putar di benakku, seperti dengan kuat meminta jawabanya. Tapi inilah aku, yang hanya bisa menerka tanpa mendapat jawaban.

Aku tak peduli jika tubuhku mengigil. Aku juga tak peduli jika satu persatu orang mulai meninggalkanku. Dan aku tahu, seberapa lama pun aku berdiam disini, kenyataan tidak akan bisa berubah. Tapi itu tak apa, lagipula aku sudah tak peduli pada kenyataanku. Kenyataanku telah terkoyak, hancur, menghilang. Tak ada lagi yang namanya kenyataan, yang tersisa hanyalah mimpi buruk, mimpi buruk, dan mimpi buruk.

“Caryssa!” seru orang di belakangku. Aku terlalu malas untuk berbalik. Bahkan sepertinya aku pun malas untuk melanjutkan hidupku. “Rys! Kenapa kau masih disini? Ini hujan dan kau akan sakit jika kau terus disini!” lanjut nya.

Aku menarik nafas berat, lalu orang itu ikut berjongkok di sampingku sambil memayungi ku. Mata coklat ke-ibuan nya kini secoklat rambut nya yang basah. Dia Liz, sahabatku. Aku memandanginya tanpa mau repot menghapus air mataku, aku cukup yakin bahwa air hujan mampu menyamarkanya.

“Aku juga menyesal atas pergi nya Jeff, tapi Rys.. jangan seperti ini..” rintihnya membalas tatapan ku

“Tolong.. ayo kita pulang.” Lanjutnya.
Aku menyembur dalam tangis sambil memeluk Liz. Dan barulah aku merasakan kehangatan di tubuhku. Tak ku sangka ternyata udara dingin di tambah guyuran air hujan dapat membuatku tak bisa merasakan ujung jari kakiku sendiri. Liz menyambut pelukan ku dan mengelus punggungku lembut.
Aku merasakan tubuhku bergetar hebat dalam pelukanya. Dan Liz masih terus menenangkanku, memeluku, menjaga ku agar tetap hangat. Setelah beberapa saat, barulah Liz mengajaku untuk berdiri, dan aku sadar ada sesuatu yang berkelebat di otaku. Ketakutan. Aku takut jika berfikir aku harus menjalani hidupku sendiri, tanpa Jeff.

Dan yang ku tahu, saat itu Liz langsung membawaku pulang.

***

Sudah ratusan kali aku melakukan hal ini. Mungkin ribuan.
Tepat pukul enam sore, aku dan Jeff selalu berada di tempat ini. Menghitung detik demi detik yang kami lewati bersama. Langit berwarnakan merah yang berangsur menjadi gelap adalah latarnya.

Mataku masih mengamati beberapa mobil yang melintas cepat, sebelum akhirnya terfokus pada barisan lampu jalan. Tiga… dua… satu… Seiringan dengan hitungan,  barisan lampu jalan di hadapan kami pun menyala satu per satu, seperti barisan domino yang terjatuh kepada yang lain dan menyebabkan yang lainya jatuh pula. Dan aku selalu menikmati saat – saat ini berlangsung, di tempat ini. Padang rumput yang sebenarnya adalah pinggiran jalan tol. 

“Apa kau menikmati nya?” tanya Jeff manis kepadaku. Aku memandangnya dengan senyum lalu mengangguk.

“Bagaimana jika itu akan membuat mu terluka. Kau tahu kan, cepat atau lambat aku pasti akan meninggalkan mu.” Lanjutnya, mata nya melemah, namun tetap menatap ku.

Aku menarik nafas untuk menahan air mata yang menggenang di mata ku. “Aku menikmati setiap detik bersamamu. Dan jika tiap detik ku bersamamu itu akan membunuh ku, aku akan tetap memilih untuk tetap bersamamu.”

Caryssa The Series 1: Let Me Home (Bahasa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang