Kok, Cute?

90 1 0
                                    

Kriiiiiiiiing!
Kriiiiiiiiiig!

    Pelita membuka matanya.

     "Astaga, pukul 17.00." Seandainya ia masih di London tentu dengan damai Pelita akan menutup mata kembali. Tapi ia sudah lulus, dan tak lagi menginjakkan kaki di Negeri Paman Sam sejak dua tahun yang lalu.
    
      Dengan pelan, Pelita beranjak. Bisa dipecat Tuhan kalau ia belum salat Asar. Ditendangnya novel Heidi yang dibacanya semalam. Baju kotor bergelimpangan di mana-mana. Ada piza yang hampir berjamur di bawah kasurnya. Sampah, entah beberapa hari yang lalu terlempar di sana-sini. Rumah kontrakan 2 tingkat itu seolah hanya terpusat di kamarnya.
    
     "Hoaaaam," dengan terhuyung Pelita menarik pintu kamar mandi. Wudu, lalu salat dengan serampangan. Entah apa doa yang telah dibacanya, ia pun lupa.
  
      "Halo?" Ia mengangkat handphone.
  
      "Hmmmm, iya. Sudah. Sudah. Semalam Pelita coba memadukan rempah Korea dengan Adas dan bawang. Enak kan?" Pelita menceritakan cara ia menemukan resep terbarunya. Ibunya memiliki bisnis restoran di beberapa kota juga di dua negara lain: Dubai dan Singapura. Pelita yang hobi bereksperimen kerap mengirimkan hasil karyanya ke ibunya itu. Sebagai gantinya, ibunya akan mengirimkan sejumlah uang.
   
     "Jangan lupa transferannya, hehe." Hidung Pelita menajam. Bau busuk entah apa. Namun, seperti biasa. Hidungnya cepat beradaptasi. Senyumnya terkembang.
   
      Tawa renyah ibunya terdengar di seberang.
   
     "Iya, Sayang. Jangan lupa mandi. Ingat, jaga sikap. Jangan berkata yang bukan-bukan ke orang lain ya Sayang." Pelita memang terkenal cerewet dan mengatakan kejujuran apa adanya. Ibunya seringkali khawatir. Takut-takut jika ada yang tersinggung dengan ucapan anaknya.       
  
     Pernah dulu pedagang di pinggir jalan, paruh baya, ia protes,"Pak, jangan berjualan di sini. Di sini lokasinya tidak strategis. Kunci keberhasilan perdagangan adalah lokasi yang tepat, barang sesuai kebutuhan dan--" Ibu Pelita langsung menyeret anaknya menjauh. Sementara orang-orang memandang aneh ke mereka, seolah mengatakan jika anak perempuan itu tak punya belas kasih.
   
     Pernah pula Pelita memergoki teman ayahnya yang sedang berkencan dengan perempuan yang bukan istri rekan ayahnya itu. Sepulang sekolah, Pelita langsung menemui istri rekan ayahnya itu dan memberitahukan segalanya. Hubungan ayah Pelita dan temannya itu pun sempat renggang.
  
      Insting Pelita sangat bagus. Ia mampu menebak yang tersembunyi. Hanya saja, kebiasaan dirinya untuk mengucapkan keseluruhan perasaannya itu yang agak mengkhawatirkan.
  
      Sejak itu, ibu Pelita berusaha memberi perhatian lebih ke anaknya. Ia sering mengajak Pelita berdiskusi mengenai banyak hal agar apa pun yang dipikirkan anaknya itu tercurah padanya. Pelan-pelan, Pelita mulai terbiasa mengalihkan semua yang melintas di kepalanya ke sang Ibu.  Ibunya pulalah yang mengirimnya sekolah ke luar negeri. Sayangnya sang anak kepalang pintar dan keras kepala. Ia belajar siang malam hingga invitation letter dari Oxford University berhasil diperolah, padahal ibunya tak pernah berpikir sejauh itu. Apa pun itu, paling tidak, di luar negeri, Pelita bisa agak bebas berbicara. Orang-orang di sana lebih terbuka. Dan memang, terbukti. Dalam setahun kuliah, tulisan Pelita sudah dimuat di berbagai media, kampus hingga koran nasional, semisal The Telegraph.
   
      "Dada Mama. Pelita jogging dulu."
   
      "Dada, Sayang."

***
    
     Dua tahun sudah Pelita hidup menyendiri. Ia tahu ia tak akan mati. Warisan ayahnya bahkan mampu memenuhi kebutuhan hingga 27 turunan berikutnya. Serius. Pelita tak pernah dituntut macam-macam oleh kedua orang tuanya. Pesan mereka hanya satu: jaga nama baik keluarga.
  
      Dan saat ini Pelita sedang melaksanakannya. Ia menjauh dari hingar bingar. Mengontrak sebuah rumah di Kompleks Perumahan Orchid. Sejujurnya, bagian rumah yang ia gunakan hanya bagian bawah. Ia tak pernah disorot media akibat tindakan kriminal. Dan, selalu  rapi apabila ke luar rumah.
   
     Pelita sudah terbiasa hidup berkecukupan, fasih berbahasa Inggris, lulus kuliah di luar negeri. Ia tidak ingin apa-apa lagi. Baginya hidup begini cukup. Ibu dan ayahnya pun tak hendak memaksanya.

      "Selesai." Ia menggoyang-goyang sepatu pink-nya. Bila honor resep terbarunya sudah turun, Pelita berencana hendak membeli setumpuk buku puisi, kumpulan karya Hans Anderson, dan The Little Prince edisi Bahasa Indonesia.
  
     "Okay, and this is for my shoulders," ucap Pelita kala pemanasan.
   
    "Hmmmmmmmmmmm," ia menghirup nafas dalam-dalam. Lalu mulai berlari kecil.
   
     Dua kali putaran. Senja menjelang. Pelita memperlambat langkah. Matanya terhenti ketika menatap seorang lelaki di teras rumah yang terpisah oleh dua rumah dari tetangga, di seberang tempat tinggalnya. Tangan lelaki itu agak terangkat, menutupi sedikit wajahnya. Pelita menatap semakin panjang. Di tangan lelaki itu ada buku The Little Prince yang baru akan ia beli. Tapi, bukan-bukan itu. Cara tangan pria itu mengenggam buku. Dan wajahnya, dan matanya yang tersuruk di balik buku. Semuanya adalah penyamaran. Lelaki itu tidak sedang membaca. Tetapi, tengah berupaya membendung sedikit kesedihan, sambil membaca barangkali. Naluri Pelita yang terlatih sejak kecil bekerja kembali.
    
     Pelita telah menyaksikan banyak pria membaca buku. Pelita juga tak terlalu tertarik, pun tak mengerti, soal hubungan pria dan wanita. Hal seperti itu tidak penting baginya. Akan tetapi, lelaki yang tengah memikirkan hal berat sambil membaca, kok, sepertinya cute, ya?

KOKI HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang