KEGADUHAN

32 1 0
                                    

Bayu Ananda Putra membuka lembar-lembar novel The Little Prince di depannya dengan pelan. Seolah-olah membaca. Gadis yang sedari tadi berputar-putar seolah-olah tengah melakukan gerakan olahraga masih di depan. Ia mencuri-curi pandang dari balik lembaran buku.

Sial!

Ia pun berdiri sambil tetap membaca buku lalu melarikan tubuhnya ke balik pintu. Baru 2 hari yang lalu Bayu menyatakan bahwa keputusan berpindah tempat tinggal adalah keputusan tepat, kini ia sepertinya harus merevisinya. Bayu menjatuhkan novel itu ke lantai. Untung ia menemukan benda itu di rak mungil meja teras. Ia menyeka wajahnya. Ia tak menangis tidak. Pantang baginya. Namun, kalau ada orang yang memergokinya tanpa penghalang apa pun, pasti orang tahu ia tengah gelisah.

Bayu jelas tidak nyaman. Ia tidak terbiasa berbagi masalah kehidupan pribadi dengan siapa pun. Ia menatap ke luar. Untunglah sosok itu sudah hilang.

"Orang aneh," dumalnya.
****

"Halo Mamaaaaaaaa!"

"Halo....!"

Bu Sindy memasang sinyal waspada. Intonasi di kalimat anaknya merupakan pertanda bahwa Pelita telah menemukan misi baru. Artinya, apa pun hal aneh yang terlintas di benak anak keduanya itu dipastikan harus terwujud 100%. Semua hal, gantungan kunci bergambar kelinci, payung transparan yang dilihat di toko online berbahasa Jepang, berkunjung ke rumah penyair favoritnya, Sapardi Djoko Damono--Bu Sindy masih tak bisa mengerti mengapa anaknya sangat suka puisi dan novel anak-anak. Pernah pula Pelita berkeinginan mengelus perut ibu hamil yang ia temui saat berlibur ke Jepang.

Selama keinginan Pelita bisa diatasi, Bu Sindy tidak keberatan. Yang kerap membuatnya jantungan adalah jika keinginannya mulai merepotkan orang lain.

"Ya, Sayang. Jangan berteriak-teriak. Ada apa? Kamu menemukan puisi baru? Atau novel baru?"

"Atau ada video tentang pembacaan puisikah? Atau resep masakan baru?" Perempuan berusia 40 tahun itu coba menebak.

"Aduuh! Bukan Mama. Bukan. Aaaaaaak, di dekat kontrakan Pelita ada orang baru. Dan dia cute." Pelita mengentak-entakkan kakinya di kasur. Ia mengambil sepotong pizza yang baru dipesan.

Jantung Bu Sindy berhenti sejenak. Sudah 27 tahun ia menjaga buah hatinya dengan baik. Ia bersabar, berdoa setiap salat untuk kebahagiaan apa pun. Bahkan, ketika Pelita tidak menunjukkan keinginan untuk hidup seperti orang kebanyakan, ia tak mempermasalahkannya. Asal anak itu bahagia. Dan yang sebenarnya ia takutkan, Pelita selalu memancing keributan apabila berurusan dengan orang lain dan sama sekali tidak berpengalaman tentang hubungan perempuan dan laki-laki. Atau mungkin ini saatnya? Sebagai ibu, kegelisahan selalu muncul. Ia berusaha menenangkan batinnya. Toh, selama ini anak gadisnya tidak pernah berhasil menjalin hubungan pertemanan yang agak awet. Bisa jadi yang ini juga akan gagal seperti yang sudah-sudah. Bu Sindy mencoba mengatur nada suaranya.

"Wah, bagus ya he he. Lalu?"
Ia coba memancing.

"Pelita besok pagi mau jadi teman dia. Hahahaha. Pelita mau simpan foto dia yang banyak. Pelita mau--"

"Pelita, Sayang. Iya, Pelita boleh berteman. Tapi, ingat kalau ada apa-apa jangan langsung dikeluarkan. Rekam di handphone atau tulis. Nanti pelita bisa dengarkan kembali atau beri tahu Mama ya Sayang." Meski perempuan itu percaya bahwa nasihatnya tak akan terlalu didengar anak, ia sedikit lega karena anaknya akhinya tertarik untuk berteman.

"Pelita, dengar Sayang. Lakukan semua dengan santai. Jangan terburu-buru. Jangan lakukan hal-hal yang aneh. Besok mama ke Singapura untuk evaluasi kerja. Kemungkinan akan sibuk dan sulit dihubungi. Kamu bisa kirim chat kalau ada apa-apa ya."

"Easy moms. Okay. Everything will be allright. Yeay hahahaha. Hore. Tetangga baru."

Bu Sindy kembali mengambil napas dalam-dalam. Tugas seorang ibu memang tak pernah mudah. Ia tak habis pikir mengapa banyak orangtua membebaskan anak begitu saja dengan alasan sang anak sudah dewasa. Ia bahkan masih gamang melepas Pelita yang sudah 27 tahun. Bu Sindy hingga sekarang selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke psikolog guna mencari ilmu tentang kiat menjadi orang tua. Tak lupa setiap malam ia selipkan doa. Dan, perempuan itu cukup bangga. Wulan, kakak Pelita kini hidup bahagia dengan suaminya setelah mengikuti sekolah model di Australia. Jujur, Bu Sindy sempat takut anak-anak mereka akan seperti anak-anak rekan bisnisnya: terlibat obat-obatan atau suka hura-hura tak karuan. Ia juga akan menjaga Pelita dengan baik.

"Mama percaya sama kamu, Nak. Love you as always. Assalamualaikum."

"Walaikumsalaaaaaam muaaaaaah." Pelita menutup telepon.
Pelita berjingkat ke luar kamar.

"Aaaaah," kakinya menginjak potongan makanan basi. Pelita mengibas-ngibaskan makanan lengket itu lalu mengambil tisu. Ia menendang berbagai hal berserakan untuk membuka jalan.
Mata Pelita menatap tajam ke luar. Di tangannya telah ada kertas kosong berjudul:

Pengamatan terhadap Kehidupan Mas Kiyut (Nama belum diketahui)

Tujuan pengamatan: menjalin pertemanan.
08.00:
09.00:
......

KOKI HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang